29 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Prospek Politik 2011

Prospek Politik 2011

Tahun 2010 sebentar lagi akan kita tinggalkan. Sebuah harapan, tantangan, dan juga peluang akan kita jumpai di tahun 2011. Catatan-catatan penting hidup kita akan menjadi sebuah bahan evaluasi menyongsong tahun baru.
Dunia perpolitikan Tanah Air di tahun 2010, masih berkutat pada masalah distribusi kekuasaan, baik dalam arus pusaran Pusat maupun lokal. Kasus-kasus pemilu, pilkada, pergumulan dan konflik politik di ranah organisasi-organisasi kekuasaan, seperti DPR, DPRD, MK, MA, KPK, KY sampai dengan pergulatan di KPU menjadi santapan yang disajikan media hampir setiap waktu.
Perpolitikan Tanah Air juga tidak terlepas dari bumbu korupsi, kolusi, dan nepotisme yang marak terjadi dalam diri elite kuasa.
Tidak kalah menarik untuk disimak adalah percaturan politik lokal sebagai dampak dari otonomi daerah. Kemunculan raja-raja kecil di tingkat lokal tidak dapat dipungkiri akan menjadi sebuah gambaran tentang mekanisme kekuasaan yang juga terjadi di ranah Pusat. Politik oligarki yang kental saat ini menjadi sebuah permasalahan, walaupun dari sisi hak individu politik dalam kacamata demokrasi ala western sah-sah saja.
Sisi teori politik, oligarki politik menciptakan sebuah kondisi yang dapat menuju status quo dalam kekuasaan. Kuasa hanya berkutat dalam sebuah lingkaran yang sama, sehingga dikhawatirkan tidak ada mekanisme check and balance dalam menjalankan kuasa itu. Neo patrimonialisme begitu Crouch memberikan istilah, ditopang oleh elemen utama, yaitu homogenisasi elite dan depolitisasi massa. Kedua elemen ini berpeluang kembali terjadi di tahun 2011 mendatang.
Sepanjang tahun 2010, data Indonesia Corruption Watch (ICW) tercatat sembilan calon bupati memenangi pertarungan di ranah lokal (pilkada) dengan menumpang anggota keluarganya yang pernah dan tengah menjabat sebagai kepala daerah.
Homogenisasi elite juga merambah pada partai politik sebagai mesin utama pencari kekuasaan. Selain kental aroma keluarga, partai juga kental dengan nuansa sinkronisasi elite dan juga penyeragaman pandangan yang disesuaikan dengan keinginan ketua atau dewan pembina.
Massa yang di politisasi menjadikan pendidikan politik hambar dan budaya politik terkooptasi dengan cara money politic atau tekanan politik tertentu. Depolitisasi massa berpeluang menciptakan konflik di tataran grass root (akar rumput) publik, karena terciptanya kelas massa yang beragam, berbeda dan sarat kepentingan tertentu.
Penyeragaman cara berpikir tertentu sesuai dengan keinginan penguasa semakin kentara dan masih akan terjadi tahun 2011 nanti. Kasus perseteruan SBY dan Sultan menjadi contoh nyata. Dalih penyeragaman demokrasi ala SBY bahwa tidak ada sistem monarki dalam demokrasi setidaknya menunjukkan arogansi kekuasaan. Demokrasi harus melalui pemilu, demikian tesis utamanya.
Demokrasi ala Schumpeterian yang mewajibkan pemilu sebagai syarat prosedural tidak selamanya merupakan jalan terbaik. Pemilu dan pilkada dengan segala kemegahan demokrasinya, ternyata menyisakan banyak permasalahan, dimulai dari ongkos kampanye/biaya pemilu yang besar, angka golput yang semakin meningkat, korupsi jabatan, kolusi birokrasi, hingga faktor psikologis partai, kandidat dan pemilih.
Wacana bahwa pemilu gubernur akan dikembalikan ke DPRD agar lebih murah dan alasan bahwa gubernur adalah perpanjangan tangan kuasa Pemerintah Pusat tidak menjamin pemilu ala DPRD lepas dari masalah di atas.
Keistemewaan Yogyakarta yang telah diatur UU, dirasa perlu untuk diseragamkan dengan dalih demokrasi, padahal demokrasi juga menyangkut hak untuk menentukan nasib dan tujuan sendiri.
Prospek jumlah partai politik terlihat menggembirakan, karena dengan undang-undang yang baru jumlah partai di Indonesia akan semakin berkurang. Undang-undang Partai Politik (UU Parpol) No. 51 Tahun 2010 yang disahkan 16 Desember 2010 lalu memuat beberapa perubahan. UU yang merevisi UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, walaupun dinilai mempersulit partai kecil untuk lolos dalam Pemilu Legislatif 2014 mendatang, di sisi lain memiliki dampak baik bagi minimalisasi partai.
Kontrol akan kekuasaan idealnya adalah sistem dua partai atau sistem multipartai terbatas. Untuk kasus Indonesia, maksimal 4 atau 5 partai, dengan pembagian kamar yang jelas, partai berkuasa (pemerintah) dan partai oposisi. Bukan partai seperti saat ini yang tidak memosisikan dengan jelas di mana eksistensinya.
Prospek ke depan, politik tidak hanya berbicara tentang kuasa. Dalam pandangan klasik, politik berbicara tentang kuasa, negara dan lembaga penyelenggara negara/pemerintahan. Perkembangan selanjutnya politik memasuki ranah kebijakan publik, hukum, dan manajemen konflik. Berkembang lagi kemudian mengkaji masalah relasi, pengaruh, hubungan, evaluasi bahkan dampak antara penguasa dan yang dikuasai.
Aliran baru, ranah politik merambah kajian gender (wanita), HAM, bahkan lingkungan akibat pemanasan global dan juga ulah manusia yang tidak perduli dengan alam. Politik Indonesia 2011 sudah sepatutnya mengapresiasi politik lingkungan sebagai bagian dari program kebijakan pusat dan lokal.
Bencana alam, banir, tanah longsor, gempa, badai, tsunami walaupun faktor alam yang besar berpengaruh, campur tangan manusia juga berperan untuk mempercepat poses itu. Permasalahan lingkungan sehari-hari, misalnya tata ruang, ruang publik, sampah, kemacetan lalu lintas, pelayanan kesehatan semuanya berasal dari bagaimana menciptakan lingkungan yang baik, nyaman, dan ramah.
Semoga perpolitikan Tanah Air 2011 akan semakin lebih baik dan belajar dari kekurangan tahun 2010.

Opini Lampung Pos 30 Desember 2010