Bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus yang lalu. Kemerdekaan yang diperjuangkan oleh seluruh anak negeri tanpa memandang sekat-sekat suku, agama, ras dan lain sebagainya.
Jika hanya ingin mengetahui betapa Bhinneka Tunggal Ika berperan efektif mengusir penjajah dari bumi pertiwi, maka pergilah ke Taman Makam Pahlawan di daerah kita masing-masing. Lihatlah di sana keberagaman tersebut.
Jika kita sebagai masyarakat Indonesia, yang mengakui diri sebagai orang Indonesia dan bertanah air Indonesia, maka tidak selayaknya menodai sejarah perjuangan bangsa. Jika memang dalam diri telah tertanam ideologi lain atau ingin mengubah ideologi Pancasila, maka silakan keluar dari Indonesia! Dan jangan pernah mengusik Indonesia.
Karena ideologi ini yang membuat orang Indonesia tetap mencintai negaranya. Karena ideologi ini pulalah, bangsa-bangsa lain di dunia menaruh rasa segan terhadap Indonesia. Hal tersebut merupakan kenyataan sampai saat ini.
Pada masa Orde Baru, terjadi kekeliruan pembelajaran ideologi Pancasila karena menjurus kepada pemaksaan kehendak penguasa pada saat itu, sehingga Pancasila bukan justru dipahami dengan baik tetapi malah muncul ketidaksenangan terpendam dari beberapa elemen masyarakat. Sedangkan di lain sisi, kenyataan berbicara bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri dilanggar dalam bentuk paket bernama KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) pada tingkat yang sangat parah.
Rentang Agustus - September 2010
Di Amerika Serikat pada Agustus 2010 terbetik berita tentang rencana seorang pendeta dan beberapa pengikutnya membakar kitab suci Al-Quran pada peringatan 11 September 2010. Seiring dengan itu, beberapa negara mulai bereaksi. Mengecam dan memprotes keras rencana tersebut.
Selanjutnya, di Indonesia, langkah cepat dilakukan pemerintah dan seluruh pemuka agama dengan cara berkoordinasi, agar masyarakat tidak terpancing. Sementara itu, di Amerika Serikat sendiri, Barrack Obama mencegah dan membatalkan rencana tersebut. Pernyataan pers yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat itu jelas dan tegas. Sekarang mari kita telaah isu tersebut secara akal sehat dan wawasan yang luas.
Pertama, rencana pendeta bersama beberapa pengikutnya dimaksud, terpicu oleh serangan teroris asal Afghanistan dari kelompok garis keras Al-Qaeda terhadap gedung WTC (Word Trade Centre) di New York, yang menewaskan ratusan orang yang tidak berdosa dan meluluhlantakkan gedung percakar langit tersebut dalam sekejap.
Rencana pendeta bersama beberapa pengikutnya dimaksud, karena mereka kurang memahami dan salah menafsirkan ajaran kitab suci Injil sebagai kitab suci agama Kristen. Manifestasinya menjadi dendam yang tak beralasan. Jika sudah begitu, masihkah kita sebagai orang Indonesia ikut-ikutan gerah? Kalau jawabnya tidak, itu berarti masyarakat kita sudah dewasa.
Kembali ke Indonesia. Terbetik pula berita dari Bekasi tentang ditolaknya izin pendirian gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) berlokasi di Perumahan Pondok Timur Indah, Cikeuting, oleh Pemkot (Pemerintahan Kota) Bekasi. Tragisnya, buntut permasalahan ini berakhir dengan penikaman terhadap seorang pendeta dan seorang jemaat HKBP tersebut.
Keanehan dalam permasalahan ini adalah kenapa soal perizinan yang menjadi kewenangan Pemkot Bekasi malah dicampuri oleh pihak lain, sampai-sampai berakhir dengan tindakan kriminal. Padahal, menurut Ketua FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Bekasi sendiri, bahwa pihak-pihak lain tersebut disinyalir bukan berasal dari masyarakat sekitar lokasi (Analisa, 17/09/2010). Lalu, adakah relevansi antara perizinan dengan pihak lain tersebut?
Menjelang akhir September 2010, bentrok antar warga dan antar kelompok merebak silih berganti. Tidak hanya terjadi di Ibukota Jakarta tetapi juga terjadi hingga provinsi lain seperti Kalimantan.
Tidaklah mungkin sebuah bentrokan tidak menimbulkan efek lain. Korban jiwa, kerugian material, ketakutan sampai pada lumpuhnya aktivitas masyarakat di sekitar lokasi bentrokan merupakan masalah yang tidak boleh dianggap enteng. Padahal asal-mula terjadinya bentrokan lebih sering karena persoalan sepele dan hanya melibatkan dua pribadi saja.
Banyak pakar berbicara mengenai sekat-sekat di masyarakat kita, baik yang berdasarkan suku, profesi, kompleks perumahan elit dan perumahan sederhana, dan lain-lain. Sekat-sekat ini dianggap dengan mudah terpancing berbuat kerusuhan karena mungkin memang telah ada ketidaksenangan antara kelompok satu dengan kelompok lain sebelumnya.
Pada dasarnya sekat-sekat dimaksud sudah ada sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat. Kebebasan berkumpul, mengemukakan pendapat, bermusyawarah pun dijamin oleh Undang-Undang Dasar negara kita. Wujud nyata kebebasan tersebut adalah dengan membentuk kelompok-kelompok atau organisasi berdasarkan kesamaan tertentu.
Namun, keberadaan sekat-sekat tersebut bukan berarti harus dihilangkan. Inti permasalahannya tidak lain bahwa setiap kelompok atau organisasi masyarakat yang ada harus dipimpin oleh orang yang memiliki wawasan luas dan berpengaruh. Sehingga rasa persatuan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan tertanam kuat ketika terjadi gesekan dengan kelompok lain.
Sisi Berbeda
Peristiwa di atas dapat kita katagorikan sebagai peristiwa negatif dalam artian persatuan terlihat semu. Namun demikian, mulai Oktober 2010 keadaan seolah berbalik 180 derajat. Persatuan dan solidaritas nampak sangat jelas ketika saudara-saudara kita tertimpa bencana alam.
Wasior, Papua. Mentawai, Sumatera Barat. Gunung Merapi, Yogyakarta. Mampu mengubah ancaman perpecahan di sana-sini tersebut. Semua perhatian masyarakat beralih ke daerah dimaksud. Simpati dan empati diberikan secara spontan sebagai bagian yang menunjukkan persatuan itu masih erat tertanam dalam diri setiap orang Indonesia.
Bisa dikatakan hampir tidak ada bantuan asing. Di sana pun tercermin kehebatan dari rasa persatuan itu. Meski demikian, bak kain putih sekalipun, masih tetap ada noda kecil. Noda, dimana saat begitu banyak orang yang menderita, para anggota DPR di pusat maupun di daerah melakukan studi banding, yang hampir dapat dipastikan manfaatnya tidak ada, kalau tak mau dibilang sebagai alasan untuk melancong dengan memakai uang rakyat.
Tapi walau demikian kita masih bisa merasa bersyukur karena ternyata Presiden kita bersama kabinetnya tetap konsisten dalam menyikapi korban-korban bencana alam. Tidak perlu mendengarkan omongan miring lain yang mengatakan selama dipimpin Presiden kita sekarang, banyak bencana terjadi. Yang perlu kita perhatikan sebenarnya adalah dimana ada bencana di situ pula pemimpin kita hadir. Secara psikologis tindakan itu memberi arti yang sesungguhnya dari seorang pemimpin yang baik dan bertanggung jawab. Bukan cuma mampu berceloteh ketika kampanye. Kepedulian seorang pemimpin terhadap rakyatnya pastilah mampu memupuk rasa persatuan itu tetap terpelihara. Semoga.***
Penulis adalah karyawan salah satu bank swasta nasional
Opini Analisa Daily 30 Desember 2010