Warga bangsa ini kembali merayakan pergantian tahun; meninggalkan 2010 dan menyongsong 2011. Usia Republik ini pun kian bertambah. Apabila tata kelola negara atau Republik ini berjalan baik, dan dibangun secara cerdas, serius, dan maksimal, tentu banyak persoalan sudah diselesaikan dan banyak kemajuan pun sudah diraih. Tetapi, mengapa dari tahun ke tahun semakin banyak saja persoalan menyergap dan melilit bangsa ini?
Okelah bahwa sebuah bangsa besar, sebagaimana kata filsuf Karl Popper, selalu identik dengan persoalan-persoalan besar, banyak, dan rumit. Indonesia sebagai sebuah bangsa besar dengan aneka macam persoalan yang terus menyergap dan bangsa ini sungguh membenarkan tesis Karl Popper itu. Tetapi, bukankah sebuah bangsa besar tentu juga melahirkan pemimpin besar sebagai guratan takdir sehingga persoalan besar, banyak, dan rumit itu dapat juga diselesaikan dengan baik dan cepat sehingga kemajuan yang didambahkan segera dapat diraih?
Sayang, pemimpin-pemimpin besar dengan jiwa, pemikiran, dan segala ciri kebesarannya tidak tampak saat ini sehingga persoalan bangsa yang begitu banyak dan rumit ini pun semakin tampak ibarat benar kusut yang sulit diurai. Prestasi pembangunan Republik ini pun seperti gerakan dalam tarian Poco-Poco dari kawasan Indonesia Timur, maju selangkah, mundur dua langkah, atau kadang cuma jalan di tempat. Indonesia pun hadir bagaikan lukisan David Osbourne dan Ted Goebler, yaitu sedang mengalami kehancuran dari dalam dan terus mengalami pembusukan di berbagai aspek hingga menjerumuskan bangsa ke jurang dekadensi moral yang sangat parah. Suburnya kasus suap dan terus menyebarnya wabah korupsi, politik uang, dan tidak becusnya hukum serta mencuatnya aneka aksi anarkis berwatak premanisme adalah sejumlah indikasinya.
Matinya harapan
Berbagai fenomena tersebut mencuatkan pertanyaan, mengapa itu bisa terjadi dan menyergap bangsa yang setiap pergantian tahun melakukan refleksi untuk menata diri agar lebih sukses? Bagaimana mengerlingnya? Ada aneka penjelasan dan sejumlah jawaban dapat dikedepankan untuk mencerahkan persoalan-persoalan tersebut. Secara teoretis, keadaan tersebut dapat dihubungkan dengan mentalitas bangsa sendiri yang sulit berubah? Namun, satu hal utama yang dapat menjelaskan semua itu tentu bertalian dengan apa yang disebut sebagai akibat dari salah urus negara ini. Pertama, negara tidak memberikan contoh yang baik dan benar kepada masyarakat dalam menjalankan kehidupan bernegara dan berbangsa; kedua, negara tidak melakukan upaya perbaikan (by omission) dari tahun ke tahun; ketiga, negara melakukan tindakan yang salah (by commission) (Ann Krueger's, 1992).
Perihal salah urusnya negara ini diperjelas dari terus merebaknya wabah korupsi sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum. Terjadinya dekadensi moral bangsa hakikatnya disebabkan lemahnya pendidikan moral bangsa. Ini diperparah lagi dengan ketiadaan keteladanan dari negara, terutama dari para pemimpin di hadapan masyarakat. Bukankah hingga saat ini Indonesia minus pemimpin besar penuh keteladanan dan benar-benar menjadi anutan bagi masyarakat? Bukankah sulitnya anak-anak negeri ini mencari tokoh idola mereka atau anutan sehingga mereka lari kepada para artis dan mengidolakan mereka? Lalu, siapa yang bersalah ketika terlihat bahwa para artis yang diidolakan anak-anak kita itu ternyata memiliki akhlak yang buruk? (Lihat kasus video mesum ketiga artis--Luna Maya, Cut Tari, dan Ariel Peterpan--yang cukup menyesaki 2010).
Salah urusnya negara itu terlihat juga dari semakin terpuruknya kehidupan masyarakat bangsa akibat jeratan kesulitan ekonomi, terutama yang menjerat rakyat kecil-miskin, seperti terus meningginya harga-harga kebutuhan hidup yang semakin sulit terbeli, biaya pendidikan yang hingga kini masih sulit terjangkau, dan sistem kesehatan yang tidak saja tidak jelas, tetapi banyak rumah sakit yang hingga kini masih sulit disentuh rakyat miskin?
Semua itulah yang membuat kehidupan masyarakat seperti tanpa harapan. Menurut filsuf Driyarkara, harapan rakyat hanya dapat tercapai apabila barang-barang yang dibutuhkan itu dapat diperoleh. Biaya pendidikan dan kesehatan dapat dijangkau rakyat. Kelayakan hidup sebagai manusia dapat tercapai. Masyarakat terbebaskan dari berbagai gangguan sosial, ekonomi, dan politik. Singkatnya, masyarakat yang terpenuhi harapannya adalah masyarakat yang hidup sejahtera. Masyarakat bangsa yang terus-menerus dililit kesulitan adalah cermin masyarakat tanpa harapan. Apalagi kehidupan masyarakat kebanyakan saat ini yang belum memiliki kelayakan hidup, dengan tolok ukur terbebas dari kesulitan sandang, pangan, dan papan. Banyak anggota masyarakat yang tak ajek makan setiap hari atau makan seadanya.
Pertanyaan lain, di mana peran negara yang dapat memberikan pengharapan kepada masyarakat? Pertanyaan itu perlu diajukan kepada Republik yang kini hendak merenungkan atau merefleksikan pergantian tahun, mengingat apa yang sudah dikatakan tersebut sebagai akibat dari salah urus negara. Semua kenestapaan hidup rakyat mencerminkan kegagalan negara (baca: pemerintah atau pemimpin) yang telah mengidentifikasikan diri mereka dengan negara dalam membuat kebijakan, dan memberikan pelayanan terbaik bagi warga mereka.
Merajut harapan utopis
Untuk merajut dan membangkitkan harapan masyarakat ke tingkat hidup yang layak dan sejahtera, sekaligus mencerahkan kehidupan bangsa secara keseluruhan di berbagai aspek untuk masa yang akan datang, sangat dibutuhkan peran negara dengan kehebatan sang pemimpinnya. Mayoritas anggota masyarakat memang menyandarkan harapan mereka kepada negara. Mencerahkan dan mencerdaskan bangsa serta menyejahterakan masyarakat merupakan tanggung jawab negara atau pemimpinnya. Sandaran kepada negara ini juga merupakan salah satu implementasi teori bernegara. Negara wajib melindungi tiap orang untuk hidup dengan cara layak dan harus mencegah kemungkinan bahwa seseorang menjadi terlunta-lunta dalam kehidupan materiilnya, serta menciptakan kehidupan sosial yang layak dan bermartabat.
Teori-teori itu bukanlah bermaksud mengharuskan negara mengucurkan dana bantuan langsung kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka, supaya rakyat dapat hidup berkemampuan, tetapi yang terpenting adalah secara tidak langsung negara harus menyejahterakan rakyat lewat penciptaan kondisi sosial alias akses yang memungkinkan warga negara bisa sejahtera lewat segala karyanya. Dengan demikian juga rakyat pun dapat dimungkinkan untuk terbebas dari jeratan kebobrokan moral. Mengapa? Jawabannya, bukankah banyak anggota masyarakat yang tercebur ke dalam lembah pelacuran, misalnya, tidak lain karena terimpit kesulitan ekonomi?
Akhirnya, jika tidak ada niat dari pemimpin kita untuk membarui diri dan berkehendak untuk bekerja lebih keras dan lebih serius, dengan kebijakan-kebijakan bernegara secara lebih cerdas lagi untuk tahun yang akan datang, sia-sialah bangsa ini merayakan tahun baru 2011 sebagai momentum emas untuk memperbaiki dan membarui diri serta merajut dan membangun harapan utopis menyongsong hari esok yang lebih baik. Ujungnya, kita pun tidak tahu lembaran hidup macam apa yang harus kita isi di tengah waktu yang terus bergulir.
Mengutip Buat Ning, karya Sapardi Djoko Damono: 'Januari mengeras di tembok itu juga, lalu Desember// Musim pun memasak sebelum menyala cakrawala// Tiba-tiba; kita bergegas pada jembatan itu!'. Wajah bangsa ini pun hanya bertambah tua, tanpa semakin matang!
Oleh Thomas Koten, Direktur Social Development Center
Opini Media Indonesia 30 Desember 2010
29 Desember 2010
Merajut Utopia Republik 2011
Thank You!