Implementasi perjanjian perdagangan bebas Asean-Cina atau ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) berpotensi merugikan sektor pangan khususnya perikanan. Hal itu disebabkan sejumlah impor produk perikanan terus membanjiri pasar domestik. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, nilai impor ikan beku dan segar dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada 2007 mencapai 27,57 juta dolar AS, pada 2008 menjadi 71,16 juta dolar AS, 2009 mencapai 65,82 juta dolar AS. Malah setelah efektif diberlakukannya ACFTA per 1 Januari 2010, selama triwulan I menembus angka 77 juta dolar AS atau melonjak sekitar 32 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama 2009. Ironisnya, pertumbuhan ekspor perikanan untuk periode yang sama sekitar delapan persen. Sesuatu yang baru terjadi, neraca perdagangan produk perikanan Indonesia mengalami negatif.
Bila kondisi faktual tersebut tidak segera dibenahi tentu akan menghambat eksistensi sektor kelautan dan perikanan serta semakin memarginalkan pelaku usaha perikanan di tanah air. Implikasinya kemungkinan mengancam pencapaian target Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berkeinginan menjadikan negara kita sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar dunia pada 2015.
Pemerintah, pelaku usaha termasuk masyarakat madani yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan di nusantara harus selalu bekerja sama secara sinergis meningkatkan produktivitas, produksi, dan daya saing produk. Produk yang berdaya saing adalah yang kualitasnya unggul, harganya relatif murah, dan volume pasokan mampu memenuhi kebutuhan pasar baik dalam maupun luar negeri.
Mengubah paradigma
Kecenderungan pemberlakuan ACFTA diyakini berdampak pada terintegrasinya produksi, pemasaran, keuangan, informasi dan teknologi. Perubahan lingkungan baru tersebut mengarah kepada standar kualitas produk yang tinggi, persaingan yang tajam pada setiap fase dari sejak produksi sampai pemasaran akhir, semakin banyaknya aliansi strategis dari perusahaan global (multinasional), neoproteksionisme. Oleh karena itu, ACFTA sebenarnya mendorong pelaku usaha perikanan di tanah air untuk mengubah paradigma usahanya dari berorientasi produk menjadi berorientasi pasar. Para pelaku usaha dituntut selalu menghasilkan berbagai inovasi yang dibutuhkan konsumen baik untuk saat sekarang maupun masa datang.
Kini, serbuan produk perikanan dari luar mulai membanjiri tanah air. Dory steak, yaitu produk patin olahan dari Vietnam memasuki pasar-pasar kota besar. Demikian pula ikan nila dari Malaysia serta ikan teri dari Thailand dan Vietnam. Produk tersebut harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan produk dalam negeri, sehingga cepat atau lambat kondisi demikian akan memukul produk perikanan lokal. Padahal, baik ikan patin maupun nila tersedia di negeri ini, malah Jawa Barat bisa disebut lumbungnya.
Bagaimana menyiasati agar bisnis perikanan yang selama ini berlangsung tidak putus di tengah jalan akibat maraknya impor produk perikanan. Kuncinya agar pelaku perikanan senantiasa meningkatkan daya saing. Dalam menghadapi ACFTA, tetangga kita telah mempersiapkan setidaknya lima tahun ke belakang. Vietnam yang masih bau kencur dalam budi daya ikan telah lama menerapkan SQF 1000 dan SQF 2000 -- Safe Quality Food ataupun GAP -- Good Aquaculture Practice sebagai bagian tak terpisahkan untuk memenuhi tuntutan pasar global. Pembudidayanya menerapkan nhat ky (bahasa Vietnam) berupa catatan harian yang berisi ragam informasi yang erat kaitannya dengan kegiatan budi daya. Bahkan, Cina telah memiliki ikan mas unggul ras Rajadanu asal Jawa Barat, padahal di tanah leluhurnya kurang begitu dikenal.
Keamanan pangan
Meningkatkan daya saing bagi perikanan budi daya di antaranya dengan menerapkan GAP atau cara berbudi daya ikan yang baik (CBIB) berikut traceability, yaitu kemampuan berbudi daya untuk senantiasa menelusuri, mengikuti dan mengidentifikasi secara unik suatu unit produk melalui semua tahap produksi, pengolahan, dan distribusi. Salah satu contoh traceability bahan baku di antaranya mengenai jumlah lot, tanggal panen, identifikasi, rantai pemilik produk, ataupun input produksi (pupuk, pakan, irigasi, benih), juga tanggal aplikasi serta sejumlah input lainnya. Termasuk terstandarnya unit-unit kegiatan serta komoditas yang diusahakan. Saat ini, hampir semua produk perikanan Indonesia berikut teknis budi daya umumnya memiliki SNI. Komunitas pembuat produk perikanan layak melaksanakannya.
Sebenarnya, CBIB atau GAP telah lama diberlakukan sejak diterbitkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 02/Men/2007 tanggal 5 Januari 2007, menyusul maraknya tuntutan pasar global akan keamanan pangan (food safety), khususnya bagi produk perikanan budi daya. Tanpa mutu kita akan tergeser dan tersisih dari pergaulan bangsa-bangsa. Mutu merupakan tata krama pergaulan masa kini.
Namun faktanya, jangankan menghadapi ACFTA yang sangat diwarnai pergeseran dari masalah hambatan kuota dan tarif menjadi hambatan teknis melalui pengetatan sistem pengawasan mutu. Di pasaran lokal pun seiring dengan semakin meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, konsumen terlihat semakin kritis melakukan pilihannya. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi setiap pelaku budi daya ikan kecuali meningkatkan pengawasan mutu produk pada semua lini. Tidak hanya menekankan pada produk akhir atau produk yang dihasilkan, tetapi makin mengarah pada sistem jaminan mutu secara total.
Pendek kata, agar produk perikanan Indonesia lebih kompetitif dan memiliki daya saing, sekaligus mengurangi maraknya impor produk perikanan dalam kerangka ACFTA, solusinya segera benahi perikanan budi daya yang selama ini masih terasa konvensional dengan menerapkan CBIB secara utuh.***
Penulis, Ketua Departemen Perikanan Budi Daya DPP HNSI.
Opini Pikiran Rakyat 30 Desember 2010