29 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Deindustrialisasi: Mitos atau Realitas?

Deindustrialisasi: Mitos atau Realitas?

Industri otomotif di Indonesia tengah ”panen raya” tahun 2010 ini. Bayangkan, tahun 2009 jumlah penjualan mobil hanya 486.000 unit, sedangkan sampai akhir November jumlah penjualan mobil telah mencapai 690.000 unit, lebih tinggi dibanding penjualan sepanjang 2008 yang menjadi rekor sampai hari ini dengan 607.000 unit. Diperkirakan, jumlah penjualan mobil tahun 2010 mencapai lebih dari 750.000 unit, jauh di atas prediksi siapa pun.
Dengan hanya berfokus pada industri mobil ini saja kita bisa menghitung bahwa penjualan mobil, seandainya mencapai 750.000 unit akhir tahun ini, mengalami pertumbuhan tahunan 54 persen. Ini adalah angka pertumbuhan riil, bukan nominal. Namun, kalau kita ingin melihat pertumbuhan riil yang sebenarnya, mungkin harus dilihat per kategori, berapa persen yang ukuran di bawah 2.000 cc, berapa yang di atasnya, dan sebagainya.
Menurut perkiraan saya, pertumbuhan riil yang sebenarnya (di perusahaan tempat saya terlibat ini disebut underlying volume growth/UVG) akan lebih tinggi dari angka pertumbuhan berdasarkan angka global yang 54 persen tersebut. Sementara pertumbuhan nominalnya saya yakin lebih tinggi karena harga mobil terus naik sepanjang 2010.
Dengan melihat perkembangan tersebut, para industriawan otomotif kita banyak melakukan crash program untuk menambah kapasitas, sesuatu yang tidak diperkirakan sebelumnya. Pabrik Nissan bahkan dengan berani meningkatkan kapasitas menjadi 100.000 unit meskipun penjualan tahun ini belum mencapai 50.000 unit yang menjadi kapasitas mereka saat ini.
Volkswagen akan berinvestasi dengan membangun pabrik berkapasitas 50.000 unit. Mercedes Benz bahkan berencana membuat pabrik perakitan dengan kapasitas sampai 60.000 unit per tahun, termasuk untuk memenuhi pasar Asia. Berbagai hal ini pada akhirnya menunjuk pada satu hal: betapa dinamisnya industri manufaktur otomotif kita.
Barang konsumsi
Dari berbagai perusahaan diperoleh informasi bahwa penjualan peralatan rumah tangga, seperti televisi, lemari es, alat penyejuk ruangan, dan peralatan rumah tangga lainnya, juga naik lumayan tinggi tahun 2010. Sebuah perusahaan peralatan elektronik menyampaikan bahwa omzet penjualan perusahaan mereka naik 15 persen. Saya yakin angka ini mewakili perusahaan peralatan rumah tangga lainnya.
Demikian pula industri barang konsumsi, seperti Unilever, Wings, Indofood, dan sebagainya juga mengalami pertumbuhan penjualan, paling tidak di sekitar 10 persen. Angka-angka ini bisa dicek kembali pada laporan keuangan dari perusahaan yang kebetulan sudah go public. Dengan perkembangan yang pesat pada industri ini, industri pendukungnya seperti pabrik karton (corrugated box), pabrik plastik kemasan, dan sebagainya juga ikut meningkat signifikan.
Di industri tekstil, yang dikatakan mengalami pertumbuhan negatif, ternyata masih memunculkan perkembangan positif. South Pacific Viscose (SPV), salah satu dari dua perusahaan rayon besar di Indonesia (satu lagi adalah Indobharat) anak perusahaan dari Lenzing Group Austria yang merupakan produsen bahan baku tekstil, tahun 2010 baru saja meresmikan pabrik keempatnya di daerah Subang. Karena itu, SPV menjadi salah satu produsen rayon terbesar di dunia.
Dalam diskusi saya dengan para produsen poliester baru-baru ini (saya diundang bicara oleh salah satu produsen PTA, bahan baku untuk poliester), terkandung niat untuk mulai ekspansi pabrik mereka setelah selama 14 tahun industri poliester di Indonesia bisa dikatakan mandek.
Sebelum terjadi kenaikan harga kapas yang gila-gilaan akhir tahun 2010 ini, banyak pemintalan di Indonesia yang berekspansi, baik dengan membangun pabrik baru maupun mengganti mesin ke arah yang lebih efisien.
Dengan melihat berbagai cerita tersebut (istilah teknisnya anecdotal evidence), saya jadi sangat bingung jika dikatakan bahwa pertumbuhan sektor industri dikatakan lambat, bahkan lebih lambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) keseluruhan.
Dalam laporan PDB kuartal 3 tahun 2010 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan sektor industri pengolahan (manufaktur) hanya mencapai 4 persen, kalah cepat dibanding dengan pertumbuhan PDB secara keseluruhan yang mencapai 5,8 persen. Bagaimana bisa muncul angka seperti ini?
Otomotif vs PDB
Untuk bisa memahami persoalan secara proporsional, saya akan membandingkan pertumbuhan sektor otomotif terkait dengan PDB Indonesia.
Sektor industri transportasi (yang di dalamnya termasuk industri mobil dan sepeda motor) dalam industri manufaktur kita memiliki share 23 persen (angka ini saya peroleh dari Data Strategis BPS tahun 2009 di mana subsektor industri peralatan, mesin, dan perlengkapan transportasi menghasilkan nilai tambah Rp 346 triliun, sementara seluruh industri manufaktur termasuk migas menghasilkan nilai tambah Rp 1,481 triliun). Jika industri mobil menghasilkan pertumbuhan 54 persen dan industri sepeda motor menghasilkan pertumbuhan 20 persen, maka dengan asumsi kedua industri tersebut sama besarnya, diperoleh pertumbuhan 37 persen.
Jika industri transportasi lainnya hanya mengalami pertumbuhan lebih kecil dari itu, maka secara konservatif kita bisa mengatakan bahwa pertumbuhan subsektor tersebut tidak akan lebih kecil dari 30 persen. Dengan demikian, hanya subsektor industri transportasi itu saja bisa menghasilkan pertumbuhan 30 persen dikalikan 23 persen, atau sekitar 7 persen.
Angka itu sudah jauh lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan sektor industri manufaktur secara keseluruhan. Belum lagi ditambah dengan pertumbuhan subsektor industri lainnya yang kemungkinan mencapai 10 persen (karena ada yang lebih dari 10 persen dan ada yang kurang), pertumbuhan sektor industri Indonesia tahun 2010 ini bukan tidak mungkin akan mencapai lebih dari 15 persen.
Jika demikian, dengan pangsa sektor industri pengolahan yang sebesar 26 persen dari PDB, maka kontribusi sektor industri dalam PDB (yang hanya dihasilkan oleh subsektor industri manufaktur transportasi saja) akan mencapai hampir 4 persen, bukan hanya 1 persen sebagaimana yang ada saat ini. Jika demikian, bukan tidak mungkin pertumbuhan riil ekonomi Indonesia sebetulnya mencapai 8-9 persen saat ini.
Saya sangat menyadari bahwa angka ini perlu dicermati dan dihitung ulang. Akan tetapi, atas dasar analisis ini mestinya Kementerian Perindustrian dan BPS perlu melihat kembali sebenarnya bagaimana status sektor industri kita: apakah terjadi deindustrialisasi atau tidak? Jika terjadi kesalahan semacam ini dalam statistik, maka akan mengacaukan perencanaan banyak sektor, terutama sektor perlistrikan dan infrastruktur lainnya.
Cyrillus Harinowo H Pengamat Ekonomi

Opini Kompas 30 Desember 2010