29 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Pancaran Bhineka Tunggal Ika

Pancaran Bhineka Tunggal Ika

Kenapa kita masih terus berbicara minoritas dan mayoritas, di hadapan hukum Kita sama dan semuanya sudah diatur oleh UUD 45 dan Pancasila sebagai Dasar Negara,
Bhineka Tunggal Ika telah jelas dan adalah bukti dari bagaimana kesatuan telah dibangun melalui sebuah perjuangan yang tidak melihat minoritas dan mayoritas.... sudah saatnya kita mempertahankan yang ada karena yang ada itu sudah benar yakni Pancasila dan UUD 45
Pendahuluan
Tahun 2010 sebentar lagi sudah berakhir, fenomena kekerasan mengatasnamakan agama masih berlanjut dan tidak jarang mengakibatkan lahirnya korban. Kekerasan mengatasnamakan agama menunjukkan bahwa ke-Bhinekaan belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Ketidakpahaman dan ketidakmautahuan terhadap ke-Bhinekaan mengakibatkan tindakan intoleran terhadap agama lain muncul sehingga melalui sikap dan keyakinan yang tidak berdasar terjadilah yang namanya sikap panatisme dan berujung pada tindakan yang abmoral.
Maarif Institute sebagai sebuah lembaga mencatat bahwa kekerasan mengatasnamakan agama pada tahun 2010 meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan Negara terhadap warga negaranya belum sepenuhnya tercapai. Sebut saja terhadap warga Jemaah Ahmadiyah yang hingga hari ini masih ada yang mengungsi dan dikucilkan dari masyarakat dan tidak jarang dipaksa untuk beralih agama padahal namanya keyakinan adalah personal tidak boleh dipaksakan namun inilah kondisi yang terjadi.
Kondisi serupa dialami oleh warga gereja yang dipaksa untuk tidak beribadah di gerejanya hanya karena persoalan SKB (Surat Keputusan Bersama) dua menteri. Mungkin kita masih mengingat bagaimana tindakan ormas yang mengatasnamakan FPI dan FUI menyegel dan membubarkan jemaat HKBP di Ciketing, Bekasi Jawa Barat. Tidak hanya sampai disitu saja kekerasan juga berlanjut dengan penusukan terhadap jemaat yang pelakunya telah ditangkap namun belum diberikan sanksi yang tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pembiaran oleh Negara adalah salah satu sebab kenapa hingga hari ini kejadian serupa masih berlanjut, pembiaran yang dimaksud adalah tidak adanya ketegasan oleh aparat terhadap ormas-ormas yang seringkali melakukan kekerasan dan tidak jarang juga polisi malah bertindak salah seperti mengevakuasi serta menyalahkan pihak yang seharusnya dilindungi. Dengan demikian salah satu bukti dari kepedulian pemerintah terhadap warga Negara supaya tidak terulang lagi kejadian serupa adalah melakukan tindakan tegas dan untuk tidak memperuncing persoalan di kemudian hari pemerintah harus mencabut SKB dua menteri yang sudah mendiskriminasikan warga negaranya.
Hingga hari ini kesewenang-wenangan masih terjadi, penyegelan terhadap tujuh gereja di Jawa Barat di bulan Natal ini masih terjadi. Kalau ini terus berlanjut kemungkinan besar akan beralih kepada kekerasan mengingat adanya ruang yang besar untuk bertindak demikian. Sehingga pada tahun 2011 nantinya kita akan menyaksikan kembali kejadian serupa yang ujung-ujungnya kita kembali teriak kami minoritas terabaikan hak-hak kami padahal di Negara ini sebenarnya tidak ada mayoritas atau minoritas. Semua warga Negara sama dihadapan hukum dan hukum adalah panglima.
Ruang yang Dibiarkan Terbuka
Sebentar lagi kita akan meninggalkan tahun 2010 dengan segala kelebihan dan kekurangan dengan segala keceriaan dan kesedihan. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa tahun 2010 telah meninggalkan luka yang sangat dalam bagi sebagian warga Negara yang menjadi korban kekerasan oleh orang-orang yang terjebak dalam ketidakmengertiannya. Masyarakat yang sudah bertahun-tahun hidup rukun dengan keyakinan dan menganut kepercayaannya diusik hanya dengan mempersoalkan perda dan keputusan bersama yang sebenarnya telah mencederai UUD 45 pasal 29 ayat 2 yang menyatakan dengan tegas bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu".
Pembiaran serta tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah membuka ruang bagi mereka-mereka untuk bertindak sewenang-wenang. Padahal yang berhak untuk melakukan sweeping atau penyegelan terhadap rumah ibadah ada aparat yang berwajib itupun kalau ada pelanggaran yang terjadi.
Intoleran terjadi oleh karena masyarakat sendiri sudah tidak memahami nilai-nilai yang terkandung di republik ini seperti UUD 45, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Krisis pemahaman terhadap ideologi serta pilar bangsa inilah yang menyebabkan relasi masyarakat memperlihatkan tidak adanya komitmen akan kebhinekaan, tutur Benny Susetyo (Kompas 19/12/2010).
Kekerasan mengatasnamakan agama harus segera diakhiri dengan adanya penjaminan terhadap hak-hak sipil warga Negara sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD 45. Tidak cukup hanya dalam wacana, pemerintah sebagai pemegang tampuk kekuasaan harus memperaktekkan dengan tidak adanya diskriminasi terhadap warga Negara yang menganut keyakinan atau kepercayaan apapun, tidak hanya terhadap keyakinan dan kepercayaan yang diakui oleh Negara tetapi semua aliran kepercayaan yang ada di tanah air. Komitmen inilah yang ditunggu serta diharapkan masyarakat luas karena sejatinya yang melakukan kekerasan selama ini adalah masyarakat yang harus segera disehatkan.
Sinar Pluralisme
Dialog antar umat beragama sudah sejak lama dibangun di negeri ini. Forum kerukunan antar umat beragama juga sudah lama ada namun terkadang dialog serta forum tidak berdaya menghadapi kelompok-kelompok garis keras yang mengandalkan kekerasan. Wujud nyata dari Pancasila dan UUD 45 serta Bhineka Tunggal Ika itu seharusnya ditransformasikan lewat praktek seperti pendidikan Pancasila sejak dini di sekolah dan perguruan tinggi tanpa terkecuali.
Dari praktek tersebut nantinya ada penghormatan dan pengakuan terhadap semua warga Negara. Penghormatan inilah yang akan melahirkan wujud nyata kebhinekaan bangsa yang sudah sejak lama dibangun. Sebagai bangsa yang plural, Indonesia seharusnya mengedepankan dialog bukan kekerasan, dari proses inilah lahir generasi-generasi yang memiliki sikap serta pandangan yang pluralis dan bangsa Indonesia akan lebih dihormati.
Dengan penghomatan terhadap pluralisme bangsa maka terwujudlah kebhinekaan Indonesia seperti diamanatkan dalam UUD 45 dan Pancasila serta Bhineka Tunggal Ika.***
Penulis adalah BPC GMKI Medan 2009/2011, Koordinator SA-HAM (Solidarity For Human Rights).

Opini Analisa Daily 30 Desember 2010