TAHUN 2010 mestinya merupakan masa awal pembuktian kinerja para politikus setelah 2009 mereka mendapatkan kepercayaan masyarakat melalui pemilu untuk menjalankan pemerintahan baru. Alih-alih berkinerja memenuhi kepentingan rakyat, para politisi malahan sibuk dengan manuver untuk memburu kekuasaan demi kepentingan masing-masing. Aturan dan regulasi disiasati, etika diterabas.
Alhasil, tahun 2010 menjadi masa yang penuh dengan hingar-bingar politik dan pemerintahan tetapi tanpa hasil yang nyata-nyata memperbaiki tata kelola pemerintahan.
Meski menunjukkan perbaikan pada penyelenggaraan ekonomi makro, pemerintah tetap belum berhasil membuktikan perbaikan yang penting pada kondisi ekonomi mikro. Kesenjangan antara mereka yang mampu mengeluarkan uang di atas 15 jutaan per bulan untuk cicilan apartemen dan mereka yang bahkan hanya bisa memikirkan apa hari ini makan atau tidak, semakin jelas. Jarang didengar umum, pemerintahan perwakilan hasil pemilu 2009 memperdebatkan soal-soal semacam itu.
Ketika para politikus utama, yaitu pimpinan partai-partai politik besar, anggota DPR dan Presiden SBY, sepakat untuk mengungkap kasus Bank Century melalui penggunaan hak angket DPR pada awal 2010, publik menyambut dengan sangat antusias karena berharap pengungkapan kasus ini secara politis akan menjadi fondasi yang penting untuk pembaruan tata kelola pemerintahan seterusnya. Namun apa lacur, ternyata hasil penyelidikan Pansus DPR atas kasus Bank Century hanya menghasilkan tidak lebih dari kompromi politis. Apakah pengungkapan kasus ini telah memperbaiki kinerja pemerintahan hasil pemilu 2009? Jawabannya, pasti tidak.
Demikian pula, ketika Gayus Tambunan bersedia menyerahkan diri untuk diadili setelah dibujuk rayu oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden SBY, masyarakat berharap ini sebagai awal baru pemberantasan korupsi setelah masa pengerdilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui kasus ”cicak vs buaya.” Namun, setali tiga uang dengan kasus Century, kasus Gayus kelihatan hanya (akan) menyisir dakwaan-dakwaan ringan seperti dipertontonkan dengan terbuka dalam proses pengadilannya selama ini.
Kinerja DPR juga ternyata hanya menghasilkan keprihatinan publik. Di samping dilihat sekadar mempertontonkan formalitas pelaksanaan tugas-tugas keperwakilan, DPR memang memperlihatkan betapa lemahnya mereka dalam memahami etika perwakilan politik, dan perwakilan politik yang beretika.
Etika perwakilan politik mengajarkan: karena mandat perwakilan politik diperoleh dari rakyat (pemilih), maka perwakilan politik wajib hukumnya mendengarkan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. DPR dikritik dan dicemooh oleh anggota masyarakat karena kegiatan studi banding yang dinilai tidak bermanfaat, memboroskan uang negara, dan hanya melayani keinginan pribadi anggota dewan untuk kunjungan ke luar negeri.
Secara etik, artinya tanpa harus dilandasi dasar hukum tertulis, anggota dewan mestinya responsive terhadap kritik itu, bukan malahan meneruskan rencana studi banding, dengan seolah-olah menantang masyarakat: ”Lu tau apa sih soal studi banding?!”
Perwakilan politik yang beretika menuturkan pada dasarnya, bahwa sebagai wakil yang terpercaya, dan karena itu, sangat terhormat di hadapan masyarakat, anggota dewan semestinya bersedia ditanggung-gugat atas tindakan dan ucapannya sebagai tindakan dan ucapan selayaknya perwakilan yang terpercaya yang tidak berlindung di balik aturan formal, dan kebiasaan umum. Jadi, kurang terhormatlah jika merespons penolakan publik terhadap studi banding, anggota dewan menjawab dengan hanya menyatakan: ”Itu sudah direncanakan sejak lama.” DPR punya kuasa, DPR bisa merubah rencana.
Demikian pula, sangat memalukan jika argumentasi DPR untuk tetap melakukan studi banding karena ”pemerintah lebih banyak melakukan studi banding.”
Ini sama saja dengan mengatakan: ”Kalau orang lain boleh mencuri mengapa saya tidak boleh?!”
Mestinya, DPR harus mempertanyakan: apakah studi banding yang banyak dilakukan oleh pihak pemerintah memang bermanfaat, ataukah hanya sekedar pemanfaatan anggaran? Bukan malahan ikutan melakukan studi banding.
Kasus-kasus di atas pada dasarnnya hanya nukilan dari banyak kasus yang memantulkan betapa rapuhnya kinerja politik Indonesia dalam satu tahun terakhir ini. Boleh dikatakan, tahun 2010 adalah tahun krisis etika politik. Politikus bekerja tanpa landasan etika.
Undang-undang dan hukum, bahkan konstitusi, menjadi tidak berdaya-guna, karena; Pertama, tidak bisa ditegakkan (enforced); dan kedua, tidak adil bagi masyarakat pada umumnya.
Bayangkan saja, konstitusi dan hukum tidak bisa ditegakkan karena aparat penegak hukum tidak bertindak sesuai dengan tugasnya, dan atau memanfaatkan kewenangan yang dimiliki untuk keuntungan diri sendiri, dan karena itu, keuntungan segilintir orang saja. Para politikus yang mempunyai ”kuasa” untuk mendorong penegakan hukum justru memanfaatkan ini untuk kepentingannya sendiri.
Wacana Suara Merdeka 30 Desember 2010