Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengemukakan pencapaian terbaik kerja politik di kawasan ini dalam konteks demokratisasi tatkala membuka Bali Democracy Forum, beberapa waktu lalu. Presiden Yudhoyono, dengan ukuran-ukuran yang coba diangkat, mengajukan kepercayaan politik bahwa demokrasi sudah menunjukkan keberhasilan signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Namun, sungguh tidak dapat dimungkiri bahwa kepercayaan politik ini sedang terkurung dalam ketidakberdayaan. Hingga di ujung 2010, korupsi masih mendapatkan tempat terbaik dalam kancah kekuasaan. Institusi legislatif belum sepenuhnya mampu menerjemahkan harapan publik. Lembaga hukum seperti Mahkamah Konstitusi sedang terserang “cerita tidak sedap”. Belum lagi tentang ketidakhadiran negara dalam sekian banyak masalah kerakyatan. Tidak terlewatkan kisah kekerasan yang terus mendera kelompok Ahmadiyah. Masih ditambah dengan jejak-jejak kemiskinan dan kemelaratan di ruang publik.
Materialistik
Berangkat dari kenyataan pahit semacam ini, pandangan Presiden Yudhoyono berhubungan dengan akumulasi keberhasilan demokrasi di Indonesia khususnya serentak mendapatkan gugatan yang tidak terelakkan. SBY dalam kesempatan itu mengemukakan tiga pencapaian utama keberhasilan demokrasi, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Stabilitas politik telah terkunci dalam tiga persoalan utama yang tidak terselesaikan selama ini. Pertama, secara perlahan, oligarki politik mendefinisikan tubuh kekuasaan di negeri ini. Demokrasi ditentukan segelintir orang kuat di kancah kekuasaan. Ini dikerjakan agar koheren dengan kebutuhan kekuatan tak terjamah dalam silang sengkarut masalah Century, korupsi, dan mafia pajak Gayus.
Kedua, oligarki politik menjadi bagian tidak terpisahkan dari arus besar elitisme kekuasaan. Oligarki politik dibangun di atas basis energi politik elitis. Dalam suasana seperti ini, ada satu kecenderungan umum yang berlaku. Di satu pihak, para pemenang proses demokrasi memiliki segala hak untuk mengatur kehidupan politik. Di pihak lain, hanya ada sedikit kewajiban politik yang dapat mereka tunjukkan kepada publik.
Ketiga, dua hal tersebut akan memberikan ruang luas bagi feodalisme kekuasaan. Yang berkuasa akan menjadi kelompok tidak tersentuh meskipun korupsi melumuri dinding-dinding kekuasaan. Para pejabat politik yang berurusan dengan kebutuhan publik dengan lekas menempatkan diri pada posisi yang jauh dari jangkauan kepentingan rakyat.
Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan lebih banyak mengacu pada laporan-laporan tekstual yang sering gagal menjelaskan problem rakyat paling konkret. Ukuran-ukuran yang dilekatkan pada keberhasilan demokrasi belum sepenuhnya menyentuh masalah-masalah mendasar keseharian rakyat. Aspek-aspek nonmateri, seperti kebebasan beragama, hak-hak asasi manusia, ketakutan sosial akibat kekerasan komunal merupakan ukuran-ukuran penting menyangkut keberhasilan demokrasi di Indonesia.
Despotisme Politik
Meskipun ada pengakuan terbuka atas keberhasilan demokrasi, kenyataannya kekuasaan sedang dijalankan dengan penuh ketegangan. Seolah kehidupan kita bersama selalu berada dalam situasi gawat darurat secara terus-menerus. Demokrasi yang tersandera banyak kepentingan menjadikan para penguasa tidak lugas dalam menyelesaikan masalah kenegaraan dan kebangsaan. Maka, konklusi seputar keberhasilan demokrasi di negeri ini sebenarnya tidak dibangun di atas premis-premis yang sahih.
Satu contoh menarik. Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik pendukung pemerintahan SBY dengan sigap akan menggelar rapat-rapat konsultasi berhubungan dengan kontroversi RUU Keistimewaan Yogyakarta. Sebenarnya, kita tidak perlu menghabiskan waktu untuk membicarakan hal yang sudah jelas, jika mengacu pada pendapat Presiden di Bali. Bahwa demokrasi bukan sesuatu yang dipaksakan dan ada sebagai energi milik masyarakat merupakan kebenaran yang berkaitan dengan “Keistimewaan Yogyakarta”. Setgab memiliki banyak pilihan persoalan krusial untuk dibahas dan diselesaikan seperti kasus mafia pajak Gayus.
Dengan mempelajari kebiasan-kebiasan kekuasaan semacam ini, sinyalemen James Caesar (2009) bahwa demokrasi prosedural dapat melahirkan despotisme politik. Bukan itu saja. Langkah-langkah semacam ini memperkuat gagasan bahwa demokrasi dan politik kita terlalu bernuansa strukturalistis. Miskin imajinasi kreatif. Defisit spontanitas konstruktif. Semuanya diselenggarakan dengan dahi mengerut dan wajah tegang. Demokrasi berada di tangan para pelaku kekuasaan dengan kombinasi karakter yang tidak menguntungkan ini.
Terasa lucu jika membaca artikel Pramono Anung Wibowo, anggota DPR F-PDIP (Media Indonesia, [16-12]) yang mengajukan pertanyaan apakah politik Indonesia tahun depan masih terpenjara dalam tata kelola demokrasi semu. Orang seperti Pramono Anung seharusnya lebih banyak memberikan jawaban atas begitu banyak pertanyaan masyarakat yang tidak bisa dijawab dengan lancar oleh para penguasa. Rendahnya kecakapan teknis elite politik memberikan jawaban paling rasional atas sekian banyak masalah kenegaraan dan kebangsaan saat ini akan dengan segera menghasilkan jawaban paling tepat untuk pertanyaan seperti ini.
Nyata bahwa kita hanya bisa membuat “kilap” dan kelihatan “mewah” simbol-simbol demokrasi. Demokrasi prosedural yang “ditangisi” Pramono Anung Wibowo telah menguras energi politik yang sedemikian besar sehingga mendamparkan negara pada kelelahan sosial untuk membangun persentuhan keprihatinan dengan rakyat. Pendapat Dan Jankelovic benar bahwa kejahatan politik terbesar para penguasa yang lahir dari prosedur demokrasi ketika mereka mengucilkan rakyat dari keseluruhan proses politik.
Partisipatif
Kekuasaan dalam cara pandang demokrasi merupakan konstruksi kepercayaan politik publik kepada para wakil mereka. Demokrasi perwakilan (representative democracy) merupakan mekanisme politik yang dipilih untuk mewadahi konstruksi kekuasaan. Partisipasi publik merupakan syarat mutlak pencapaian demokrasi perwakilan yang berkualitas. Namun, substansi demokrasi tidak boleh hilang dalam mekanisme dan proses politik.
Persoalannya tidak sampai di sini saja. Kekuasaan (penguasa) pada gilirannya harus memiliki kemampuan partisipatif dalam mengelola politik dan pembangunan. Terutama yang berhubungan dengan kehidupan publik. Pada level ini, dalam konteks kita, mereka yang mendapatkan kepercayaan publik harus menunjukkan partisipasi aktif melawan kaum despotik politik yang sedang membangun “tirani demokrasi” di Indonesia. Mereka yang sedang menjajah rakyat atas nama demokrasi!
Bob Chadwik (1999) mengajukan gagasan penting bahwa para penguasa harus mengasah kemampuan dan keberanian menunjukkan partisipasi efektif memerangi pembusukan demokrasi. Ketiadaan dua aspek penting ini akan menyebabkan publik terisolasi dari keseluruhan proses politik demokratik. Ini yang akan mengunci demokrasi sekadar “mainan” mulut besar kekuasaan. Dari situ akan lahir banyak jenis “paksaan” yang menyengsarakan publik
Opini Lampung Pos 30 Desember 2010
29 Desember 2010
Demokrasi Mulut Besar
Thank You!