Binhad Nurrohmat
Penyair
Sebagai organisasi, Muhammadiyah (1912) menjadi “saudara tua” NU (1926) dan keduanya lebih “senior” dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (1945). Muhammadiyah dan NU melahirkan para tokoh penting pendiri negara (founding fathers) republik ini. Muhammadiyah dan NU sejak mula berkesadaran negara-bangsa (nation-state) yang menyokong pembentukan negara Republik Indonesia (bukan sebagai negara Islam) ini merupakan tonggak besar amalan demokrasi dan multi-budaya kita.
Sayang, tonggak besar Muhammadiyah dan NU itu telah menjadi jargon romantisme kolektif ketimbang menjadi spirit sosio-budaya keberagamaan dalam konteks negara-bangsa yang mesti dijaga dan dikontekstualisasikan. Masa silam bisa penting, tapi masa kini dan masa depan butuh lebih dari sekadar romantisme, bukan?
Dalam suasana bernegara dan berbangsa saat ini, riuhnya kasus radikalisme dan kekerasan terkait dengan agama sesungguhnya kontekstual bagi peran Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi keagamaan. Romantisme semata musykil bisa membereskan urusan semacam itu. Termasuk juga urusan lebih luas dan kian gawat, seperti kasus kemelaratan dan ketakadilan multilini yang sebagian besar menimpa warga Muhammadiyah dan NU. Kasus-kasus itu mestinya menggerakkan empati dan rasa tanggung jawab kedua organisasi itu.
Piramida Tak Terbalik
Elitisnya Muhammadiyah dan NU saat ini merupakan isyarat melorotnya empati dua organisasi itu pada kepentingan dan masalah riil warganya. Isu-isu internasional cepat dan ramai ditanggapi oleh elite dua organisasi itu. Namun, masalah-masalah lokal yang menimpa warganya sendiri justru jarang mereka respons secara serius dan nyata. Pernyataan-pernyataan elite dua organisasi itu di media massa kerap tak relevan dengan kepentingan dan masalah urgen warganya. Bagaimana suara dan sikap Muhammadiyah dan NU terhadap korban kasus lumpur Lapindo dan kasus ledakan gas elpiji, misalnya.
Apakah Muhammadiyah dan NU mengalami “tidur organisatoris”? Setiap organisasi yang ideal peduli dan mengayomi seluruh bagian organisasinya, terutama kepentingan dan masalah urgen warganya.
Kedua organisasi itu kian piramidal. Elite organisasi yang berada di pucuk cenderung menjadikan warganya yang berposisi di bawah sebagai penyunggi kepentingan elite. Orientasi dan komitmen nyata organisasi-organisasi itu kepada warganya terus menyusut dan berpejam mata terhadap kepentingan dan masalah urgen mereka. Akibatnya, hal itu melemahkan kredibilitas dua organisasi itu di mata warganya.
Muhammadiyah dan NU lambat-laun pudar daya sebagai generator dinamika warganya. Ber-Muhammadiyah dan ber-NU kian susut makna.
Kenapa terjadi situasi “tidur organisatoris” itu? Memang para elite Muhammadiyah dan NU kian tercerahkan pemikirannya lantaran pesatnya akses pengetahuan dan pendidikan—sehingga pemikiran atau wacana tentang pemberdayaan warga kian canggih konsepnya. Namun anehnya, mereka tak berkutik menghadapi kepentingan dan masalah urgen dan riil warganya yang bergelimang kemiskinan.
Dua organisasi itu agaknya kian menjadi simbol romantik-religius, bukan mitra nyata bagi kehidupan warganya. Kebijakan dua organisasi itu “perpanjangan tangan” atau copy paste elite negara. Independensi Muhammadiyah dan NU goyah karena tersubordinasi oleh negara. Independensi dua organisasi itu pudar sudah.
Warga sebagai “Jaminan”
Kultur organisasi Muhammadiyah dan NU yang dulu menjunjung tinggi orientasi dan komitmen terhadap kepentingan masalah urgen warganya kini menjadi nostalgia dan mitos. Warga dua organisasi itu seakan dijadikan sebagai “jaminan” oleh elitenya demi diakses sebagai subordinan negara. Itu semacam transaksi antara organisasi dan negara, di mana elite organisasi berposisi sebagai pihak yang membutuhkan “santunan” negara. Terlibatnya elite dua organisasi itu untuk meraih laba dalam pasar kekuasaan negara merupakan bukti tak terbantah bahwa elite dua organisasi itu menjadikan warganya sebagai “komiditas politik”. Ironi itu makin menguatkan fakta “tidur organisatoris” elite Muhammadiyah dan NU dan terang-benderang menampakkan kondisi mereka yang “bangun politis”.
Realitas “tidur organisatoris” dan “bangun politis” Muhammadiyah dan NU mutakhir itu merusak disiplin dan etos elementer dua organisasi itu dan menggundahkan warganya, seperti termaktub dalam dua buah bunga rampai Dari Kiai Kampung ke NU Miring, Aneka Suara Nahdliyyin dari Beragam Penjuru (Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2010) dan Satu Abad Muhammadiyah, Mengkaji Ulang Arah Pembaruan (Paramadina dan ELSAF, 2010).
Perilaku elite dua organisasi itu serupa aksi politikus partai politik pada umumnya. Kekuasaaan politik menjadi agenda utama mereka dan pemberdayaan warga menjadi agenda cadangan belaka.
Parameter mutu orientasi dan komitmen nyata organisasi Muhammadiyah dan NU semestinya ditentukan oleh terwujudnya harapan dan kepentingan warga dua organisasi itu. Parameter itu merupakan hak warga yang telah mendukung dua organisasi itu. Namun, elite dua organisasi itu kini tampak memegang erat parameter nonorganisatoris untuk mengukur keberhasilannya, yaitu kekuasaan politik.
Opini Lampung Post 27 September 2010