27 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Disharmoni Dalam UUPA

Disharmoni Dalam UUPA

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-dasar Pokok Agraria, yang dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan sejak 24 September 1960 merupakan dasar dari sistem hukum tanah nasional. Setelah 50 tahun diundangkan ternyata belum semua masalah pertanahan dapat dituntaskan. Timbul suatu pertanyaan, masih kurang lengkapkah UUPA? Atau sudah ketinggalan zaman untuk menghadapi tantangan atau permasalahan pertanahan pada era globalisasi? Pertanyaan yang lebih ekstrem perlukah UU itu diganti?


Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu juga kita pertanyakan sudahkan UUPA benar-benar digunakan sebagai dasar dari sistem hukum agraria nasional? Saya kira semua sudah mengetahui jawabannya bahwa selain UUPA terdapat 9 UU yang mengatur unsur-unsur agraria antara lain UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan yang diperbarui dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 dan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Pertambangan yang diperbarui dengan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 

Semua UU itu ditindaklanjuti dengan aturan teknis, baik berupa peraturan pemerintah, keppres, perpres, permen yang di tingkat daerah berupa perda. Jadi, UU berikut peraturan di bawahnya menjadi peraturan perundangan sektoral, dan menurut Prof Maria SW Sumardjono dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan yang sektoral-sentralistik, sering tumpang tindih, tidak konsisten satu sama lain, sehingga sering menimbulkan permasalahan yang ujung-ujungnya rakyatlah menjadi korbannya.  Salah satu contoh konkret adalah penentuan kawasan, baik hutan maupun pertambangan sering tumpang tindih dengan areal pertanian ataupun permukiman seperti kasus Taman Nasional Karimunjawa (SM, 18/03/09).

Dari uraian itu, ternyata UUPA bukan menjadi acuan/pedoman kebijakan, perbuatan hukum, ataupun pekerjaan yang menyangkut bidang pertanahan atau agraria. Untuk itu diperlukan suatu kajian untuk menyempurnakan UUPA sehingga objek pengaturan UU Agraria menjadi lengkap sesuai dengan maksud dan tujuan semula, yaitu sejalan dengan semangat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. 

Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Prof Maria diperlukan leading department yang berwenang mengkoordinasikan berbagai departemen/instansi sektoral yang berhubungan dengan pertanahan/keagrariaan. Hal itu mengingat tidaklah mudah mengupayakan departemen/instansi sektoral melangkah surut ke belakang dan memintanya menunggu terbitnya UU Agraria yang telah disempurnakan.
Antarsektor Hal ini juga tidak mudah mengingat struktur Kabinet Indonesia Bersatu II tidak memiliki  leading department (meminjam istilah Prof Maria) atau semacam menko yang mengkoordinasikan departemen atau badan yang membidangi pertanahan. Untuk itu, perlu solusi lain yang lebih bersifat operasional dan mudah diwujudkan.

Apabila alternatif pertama sulit dilaksanakan maka wacana pembuatan UU Pertanahan perlu dipertimbangkan meskipun bukan hal ideal karena sebagaimana pendapat Prof Maria, yaitu dengan dibuatnya UU Pertanahan berarti kita menerima paham sektoralisme. 

Pilihan ini lebih didasari pada pragmatisme keputusan politik yang melekat pada kondisi ketiadaan departmen yang memegang kendali koordinasi antarsektor. Selain itu, juga ada program pemerintah yang berorientasi pada pertumbuhan dan hal itu telah mengubah persepsi tentang fungsi tanah yang berakibat makin sulitnya mencapai keadilan sosial yang merupakan salah satu tujuan UUPA
Jika kedua alternatif tersebut merupakan hal yang tidak mudah dilaksanakan barangkali perlu juga lebih kita cermati keberadaan UUPA dari sudut pandang yang lain antara lain bahwa UUPA dibuat sebagai amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD RI  1945.  Ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUPA  merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila. 

Adanya pertentangan atau disharmoni antara UUPA dan peraturan-peraturan lainnya masih dapat diatasi secara teknis operasional dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1976 karena dalam regulasi itu presiden memerintahkan anggota kabinetnya (Departeman Kehutanan, Pertambangan, PU, Agraria/ Pertanahan c.q.

Depdagri pada waktu itu) untuk meningkatkan sinkronisasi pelaksanaan tugas masing-masing yang bersentuhan dengan keagrariaan.  Dengan kata lain disharmoni UU sektor agraria seharusnya tidak perlu terjadi jika UUPA dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. (10)

— Ir Sudarmanto MM, Kabid Pengkajian, Penanganan Sengketa, dan Konflik Pertanahan Kantor BPN Kanwil Jateng
Opini Suara MErdeka 27 September 2010