27 September 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Bandung dan Kaum Difabel

Bandung dan Kaum Difabel

Oleh DJOKO SUBINARTO
KOTA Bandung baru saja merayakan hari jadinya. Ibu kota Jawa Barat ini genap berusia 200 tahun, Sabtu (25/9) lalu. Sebagai kota yang kerap menjadi acuan bagi kota-kota lainnya di Jawa Barat, pengelola Kota Bandung tampaknya masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah bagaimana mewujudkan kota yang dulu berjuluk "Paris-nya Jawa" ini menjadi kota yang benar-benar ramah bagi kaum difabel.

 
Masalah khusus
Oliver (1990) mendefinisikan kaum difabel sebagai kelompok individu yang memiliki masalah khusus sehingga mereka menjadi berbeda dengan penduduk normal lainnya. Meskipun mereka berbeda, sebagai warga negara mereka memiliki hak yang sama seperti warga negara lainnya. Namun faktanya, sejauh ini kaum difabel tidak jarang menjadi warga yang termarginalisasi.
Mereka, misalnya, masih mendapat kesulitan untuk masuk ke pasar kerja, kurang mendapat kesempatan untuk bisa mengakses sumber-sumber sosial kultural hingga sulitnya mendapatkan akses terhadap berbagai fasilitas publik. Akibatnya, sebagian kalangan menilai bahwa kaum difabel kerap mendapatkan perlakuan yang diskriminatif di kota di mana mereka tinggal.
Glesson (2001) melihat setidaknya ada tiga bentuk perlakuan diskrimantif yang lazim dialami kalangan difabel. Pertama, hambatan fisik. Banyak kaum difabel menjadi terbatas geraknya karena pengelola kota tidak menyediakan fasilitas jalan dan rambu jalan serta petunjuk-petunjuk lain yang memadai bagi mereka. Kedua, arsitektur bangunan/gedung yang tidak ramah bagi para difabel. Ini menyebabkan hanya orang-orang normal yang bisa mengakses berbagai bangunan/gedung yang ada. Ketiga, sarana transportasi yang hanya mengutamakan layanan kepada mereka yang normal. Akibatnya, kaum difabel kesulitan tatkala harus menggunakan moda transportasi yang ada.
Dengan berbagai kesulitan dan hambatan yang dialami kaum difabel, mereka tentu saja belum bisa menikmati kualitas kehidupan secara maksimal. Di samping itu, mereka mengalami kesulitan untuk mampu mengembangkan segenap potensi diri yang mereka miliki.
Peran pengelola kota
Idealnya, kondisi sosial dan lingkungan fisik sebuah kota harus diupayakan untuk senantiasa bergerak ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, segenap warga kota, termasuk kaum difabel, dapat mengembangkan segenap potensi sekaligus menikmati kualitas kehidupan secara maksimal.
Kota sebagai salah satu bentuk umum dari organisasi sosial mestinya bisa memperlengkapi dirinya dengan aneka fasilitas dan sarana. Hal itu diperlukan untuk memberikan peluang yang sama bagi partisipasi seluruh warganya.
Pengelola kota memikul tanggung jawab dalam soal bagaimana melihat dan memahami secara cermat perbedaan yang ada di kalangan warga kota sekaligus mengupayakan berbagai hal yang dibutuhkan mereka sehingga seluruh warga kota, tanpa terkecuali, terperhatikan, dan terlayani segenap haknya.
Hak-hak apa saja yang harus dipenuhi pengelola kota? Hak-hak yang harus dipenuhi di antaranya, hak menerima pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, hak perlindungan dari eksploitasi, kekerasan dan perundungan; hak mendapatkan air minum yang aman serta sanitasi yang baik; hak mendapatkan pekerjaan yang layak; hak untuk berpartisipasi dalam keluarga, komunitas dan masyarakat; hak menjadi warga yang setara dan memiliki akses kepada semua layanan publik tanpa memandang etnik, agama, pendapatan, gender, atau cacat tubuh yang dimilikinya serta hak untuk memiliki akses ke berbagai ruang terbuka hijau dan berekreasi dengan aman.
Dengan demikian, semua warga kota, baik yang termasuk kelompok normal maupun kaum difabel, memiliki peluang yang sama dalam berbagai bidang kehidupan. Tidak boleh ada semacam marginalisasi ataupun diskriminasi bagi siapa pun.
Jika demikian, pertanyaannya, hal apa saja yang mesti diperhatikan pengelola kota?
Tidak sedikit pemerhati dan peneliti masalah-masalah perkotaan menyoroti soal lemahnya perencanaan kota yang menjadikan kaum difabel kerap tidak terperhatikan dan terlayani hak-haknya oleh para pengelola kota.
Sudah waktunya pengelola kota membuat setiap perencanaan kotanya dengan selalu memperhatikan keberadaan kaum difabel. Dalam konteks ini, beberapa hal yang bisa dilakukan pengelola kota.
Pertama, melakukan pendataan dan pemetaan kaum difabel menyangkut di mana mereka tinggal dan di mana mereka sekolah dan atau bekerja. Pendataan ini dilakukan secara teratur dan berkesinambungan.
Kedua, melengkapi kota dengan berbagai fasilitas -- termasuk menyediakan furnitur khusus pada bangunan-bangunan publik -- yang diperlukan kaum difabel sehingga memungkinkan mereka dapat menikmati berbagai layanan umum yang tersedia, sama halnya seperti warga kota yang lainnya.
Ketiga, merancang dan menyediakan berbagai program khusus dalam bidang sosial dan kebudayaan bagi kaum difabel serta menyediakan berbagai kursus serta pelatihan sehingga mereka dapat mengembangkan segenap potensi dan kemampuan diri yang dimilikinya dan berkontribusi bagi kemajuan masyarakat.
Bagaimanapun, sama seperti warga lainnya, kaum difabel memiliki hak untuk berpartisipasi dalam semua bidang kehidupan. Mereka juga memiliki hak untuk menikmati kehidupan yang lebih baik.
Pengelola kota dalam hal ini memiliki peran krusial dan tanggung jawab besar dalam mengupayakan agar kaum difabel tidak menjadi kelompok warga yang senantiasa terpinggirkan.
Semoga Bandung bisa segera menjadi kota yang benar-benar ramah bagi para difabel.***
Penulis, alumnus Universitas Padjadjaran.
Opini Pikiran Rakyat 27 September 2010