Pertemuan ini mengevaluasi perjalanan 10 tahun MDGs dan merumuskan langkah-langkah untuk memastikan komitmen global penanggulangan kemiskinan ini tercapai pada tahun 2015. Pertemuan ini juga akan memfinalisasi sebuah resolusi yang berjudul ”Keeping the Promise: United to Achieve the Millennium Development Goals”.
Dari janji ke janji
Membaca kritis draf revolusi dalam bentuk draft outcome document setebal 31 halaman, tak ada hal yang baru dari dokumen ini. Seperti judulnya, dokumen ini masih dipenuhi janji yang sulit dipastikan terpenuhi.
Dalam dokumen lain yang diterbitkan PBB mengenai implementasi sasaran kedelapan (Goal 8) yang berjudul ”Millennium Development Goal 8: The Global Partnership for Development at a Critical Juncture” dinyatakan negara-negara maju ingkar janji memenuhi komitmen alokasi 0,7 persen dari PDB untuk bantuan internasional (ODA) sebagai pembiayaan pencapaian MDGs.
Komitmen yang baru terealisasikan 0,31 persen. Dari delapan negara anggota G-8, hanya lima negara yang memenuhi komitmen, yaitu Swedia (1,12 persen), Norwegia (1,06 persen), Luksemburg (1,01 persen), Denmark (0,88 persen), dan Belanda (0,82 persen). Negara-negara G-8 juga ingkar janji dalam pembiayaan pencapaian MDGs di Afrika dalam skema Gleneagles Promise for Africa. Janji ini disampaikan dalam KTT G-8, Juli 2005. Komitmen menyediakan hibah untuk Afrika 50 miliar dollar AS hingga 2009 hanya terealisasi seperlima (11 miliar dollar AS). Menurut Oxfam International, janji negara-negara maju mengalokasikan bantuan hingga 25 miliar dollar AS hingga 2010 baru terealisasi kurang dari separuh (Africa Focus Bulletin, 24 Juni 2010).
Yang juga mengejutkan, draf resolusi ini tak memberikan perhatian khusus pada masalah migrasi tenaga kerja, pekerjaan yang layak, dan reforma agraria. Padahal, berdasarkan pengalaman negara-negara Dunia Ketiga, tiga masalah ini sangat berkaitan dengan berhasil tidaknya upaya penanggulangan kemiskinan.
Tersedianya lapangan kerja, kondisi kerja yang layak, serta ketersediaan pangan adalah syarat mutlak kesejahteraan rakyat. Tak adanya proposal yang progresif dalam draf resolusi MDGs Summit sekarang ini diperkirakan hanya menghasilkan capaian-capaian minimal sehingga MDGs bisa dipelesetkan sebagai ”Minimum Development Goals”.
Yang juga luput dari draf resolusi adalah kisah sukses Bolivia mengatasi pembiayaan untuk pencapaian MDGs. Laporan terpisah, MDG Gap Task Force Report 2010 menyebutkan, Bolivia berhasil mengatasi problem pembiayaan melalui dua jalan: mobilisasi sumber daya domestik dari politik nasionalisasi migas dan keberhasilan diplomasi pengurangan utang sehingga uang negara dapat dimaksimalisasi untuk program pencapaian MDGs.
Bagaimana dengan Indonesia? Patut disayangkan, dalam pertemuan penting ini Presiden Yudhoyono absen menghadirinya. Ketidakhadirannya mengesankan Presiden tidak menganggap penting MDGs sebagai paradigma kebijakan pembangunannya.
Dalam pertemuan tingkat menteri Asia Pasifik awal Agustus 2010, Indonesia dimandatkan mewakili Asia Pasifik dalam menyampaikan usulan dan evaluasi di MDGs Summit, September 2010. Mandat ini seharusnya diapresiasi dengan kehadiran langsung Presiden dan bukan mewakilkan kepada Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.
Indonesia juga tidak mempersiapkan laporan yang komprehensif dan bisa diakses oleh publik mengenai keberhasilan dan hambatan pencapaian MDGs dalam 10 tahun ini. Hal ini makin memperkuat dugaan bahwa pemerintah memang tak menganggap penting momentum evaluasi 10 tahun pencapaian MDGs.
Dalam MDGs Summit ini, Marty Natalegawa menyampaikan bahwa posisi Indonesia on the track dalam MDGs. Pernyataan ini tentu tak mengejutkan. Walau berulang kali Indonesia mengklaim bahwa secara keseluruhan Indonesia on the track dalam pencapaian MDGs, klaim tersebut layak dipertanyakan. Pernyataan FAO WFP baru-baru ini, dalam laporan berjudul State of Food Insecurity in the World mengategorikan Indonesia sebagai salah satu dari tujuh negara yang paling banyak memiliki penduduk yang berkekurangan pangan adalah sangkalan terhadap klaim bahwa Indonesia bebas dari kelaparan (Goal 1).
Capaian lain yang mendapat penyangkalan adalah pada target pengurangan angka kematian ibu melahirkan. Berdasarkan Statistik Demografi Kesehatan Indonesia, terjadi penurunan angka kematian ibu melahirkan dari 307/100.000 angka kelahiran hidup menjadi 228/100.000 angka kelahiran hidup. Angka ini dibantah oleh badan-badan dunia di bawah PBB (UNDP dan WHO) dan juga lembaga keuangan internasional (ADB dan Bank Dunia) yang menyatakan kondisi sebaliknya, bahwa angka kematian ibu melahirkan di Indonesia semakin meningkat, mencapai 420/100.000 angka kelahiran hidup. Kondisi inilah yang jadi faktor penyebab kemerosotan indeks kualitas hidup manusia Indonesia tiga tahun terakhir ini.
Pemerintah gagal menempatkan MDGs sebagai perspektif pembangunan. MDGs hanya diposisikan sebagai alat ukur kuantitatif penanggulangan kemiskinan, yang seakan terpisah dari kewajiban negara memenuhi hak-hak dasar warga negaranya. Lebih parah lagi, MDGs dipakai sebagai proposal pengajuan utang baru yang berpotensi memiskinkan masa depan bangsa.
Opini KOmpas 27 September 2010