27 September 2010

» Home » Media Indonesia » UN, Momentum Peningkatan Mutu Pendidikan

UN, Momentum Peningkatan Mutu Pendidikan

Hasil ujian nasional yang baru beberapa bulan lalu diumumkan menunjukan adanya variasi persentase kelulusan antarsekolah, kabupaten/kota, bahkan provinsi. Ada kabupaten/kota yang lulusannya masih relatif lebih rendah daripada kabupaten/kota. Masalah ujian nasional itu pada dasarnya menjadi domain pedagogis. Maknanya UN adalah bentuk pertanggungjawaban setiap peserta didik yang telah mengikuti kegiatan belajar-mengajar selama periode tertentu. Untuk peserta didik SD periode tertentu tersebut adalah enam tahun dan untuk SMP dan SMA/SMK periode tertentu tersebut adalah tiga tahun.


Merupakan suatu hal yang wajar jika ada yang tidak lulus ketika mengikuti ujian nasional (UN). Setiap peserta didik mempunyai kemampuan akademis yang berbeda. Ada peserta didik yang cepat menguasai mata pelajaran yang diajarkan sehingga pada saat mengikuti UN sudah siap, tetapi karena berbagai alasan, ada peserta didik yang belum siap ketika mengikuti UN sehingga tidak lulus.
Ketika dalam suatu kabupaten/kota atau satu sekolah relatif banyak peserta didik yang tidak lulus, jika dibandingkan dengan kabupaten/kota atau sekolah lain, UN mencuati domain politis karena banyak komentar dari berbagai kalangan mulai pengamat pendidikan, politikus, sampai dengan orang tua, bahkan anggota masayarakat pada umumnya. Komentar bervariasi, dari tidak setuju dengan diselenggarakannya UN sampai dengan UN dianggap sebagai upaya untuk mendiskreditkan peserta didik. Ada juga yang berpendapat UN merupakan alat ukur yang tidak adil. Namun kalau kita mau memandang dari sudut pandang yang positif, UN dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk memetakan mutu pendidikan dasar dan menengah. Dari situ titik pangkal peningkatan mutu pendidikan dilakukan.

Makna UN
UN merupakan barometer mengukur mutu pendidikan dari tingkat sekolah sampai dengan tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan sampai dengan nasional. Agar dapat menjadi barometer mutu pendidikan, UN harus bersifat standar. Dalam konteks metodologi, UN yang standar mempunyai dua kriteria, yakni validity dan reliability. Secara definisi validity adalah mengukur apa yang harus diukur. Misal untuk mengukur prestasi bahasa Inggris, UN mata pelajaran bahasa Inggris mencakup tata bahasa, perbendaharaan kata, dan pemahaman membaca. Adapun reliability harafiah berarti konsisten. Ibarat suatu penggaris yang panjangnya 30 sentimeter, ketika digunakan untuk mengukur kain yang panjangnya 30 sentimeter menghasilkan hasil yang sama untuk mengukur panjang meja.
Soal UN yang reliabel akan menghasilkan skor yang sama jika ditempuh anak yang mempunyai kemampuan akademis yang sama di mana pun mereka bersekolah. Pertanyaannya mengapa anak yang tinggal di Jakarta cenderung mempunyai UN yang lebih tinggi daripada siswa yang berasal dari Jayapura atau Palembang, misalnya, walaupun kemampuannya sama?
UN merupakan alat ukur kemampuan akademis bersifat curriculum-driven. Artinya butir-butir soal yang dituangkan dalam UN didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI). Keduanya memang bukan kurikulum dalam arti konvensional. Keduanya merupakan dua dokumen resmi yang menjadi dasar bagi setiap guru dalam mengajar setiap mata pelajaran kepada siswa. Dua-duanya saling berkaitan erat satu dengan lainnya, tetapi secara hierarki SKL posisinya lebih tinggi daripada SI. SKL merupakan suatu kriteria kompetensi yang harus dimiliki setiap lulusan pada setiap satuan pendidikan tertentu yang meliputi SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK. Berdasarkan pada SKL tersebut, SI dijabarkan menjadi program pada kelas tertentu. Dari situ dijabarkan lebih lanjut pada pokok bahasan pada satuan waktu yang terdiri dari triwulan, mungguan, sampai dengan harian.
Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasioinal Pendidikan, istilah kurikulum hanya ada pada tingkat satuan pendidikan (sekolah). Setiap satuan pendidikan mempunyai diskresi untuk menggunakan kurikulum dari berbagai sumber, sepanjang dalam mengartikulasikan kurikulum tersebut ke dalam mata pelajaran selalu merujuk ke SKL dan SI.
Ketika terdapat persentase kelulusan yang berbeda di antara sekolah pada daerah yang berbeda, terdapat beberapa kemungkinan. Pertama, pada kelas akhir menjelang kelas terakhir, ketika para peserta didik menngikuti UN, belum semua SI diajarkan kepada mereka. Kedua, kalaupun sudah merujuk ke SI, guru belum cukup kompeten dalam mengartikulasikan SI ke dalam konsep-konsep mata pelajaran, atau bahkan sarana pendukung yang dimiliki suatu sekolah kurang memadai dalam memfasilitasi peserta didik untuk memperdalam suatu konsep yang diajarkan kepada mereka. Ketiga, ada kemungkinan pada saat mengikuti ujian, peserta didik tidak cukup fit atau nervous sehingga dalam menjawab tidak konsentrasi. Keempat, karena adanya kecurangan. Akibat kurang percaya diri baik pada peserta didik maupun guru, guru mencoba untuk membocorkan jawaban. Akibat fatal dialami peserta didik ketika kunci jawaban yang diberikan salah.
Lepas dari berbagai permasalahan tersebut, UN seharusnya dijadikan momentum untuk meningkatan mutu pendidikan. Kenapa demikian? Rendahnya persentase kelulusan UN pada suatu kabupaten/kota memberikan informasi akurat tentang simtom mutu pendidikan pada kabupaten/kota tersebut.
Berdasarkan pada teori education production function, rendahnya mutu pendidikan karena dua faktor umum, yaitu in-school factors dan out-of-school. Kelompok faktor yang pertama meliputi ketersediaan dan pemanfaatan sarana pendidikan yang tersedia di sekolah, kualifikasi pendidikan, dan kompetensi manajerial kepala sekolah, serta kualifikasi pendidikan dan kompetensi mengajar guru. Kelompok kedua meliputi status ekonomi keluarga siswa yang indikatornya meliputi jenjang pendidikan orang tua, penghasilan orang tua. Di samping itu, faktor yang termasuk dalam kelompok kedua adalah motivasi siswa.
Intervensi kebijakan yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, cenderung ditujukan pada faktor pada kelompok pertama, yaitu in-school factors. Intervensi pada kelompok faktor ini diharapkan dapat memberikan hasil dalam jangka waktu relatif pendek. Intervensi terhadap out-of-school factors akan memberikan hasil yang relatif jangka panjang, dan juga melibatkan kementerian lain. Peningkatan status ekonomi orang tua, misalnya, memerlukan keterlibatam Kementerian Pedagangan dan/atau Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Pemerintah tentu saja tidak bisa menunggu status ekonomi orang tua meningkat dahulu agar sang anak bisa sekolah. Untuk mengatasi hal itu, intervensi jangka pendek yang dapat dilakukan pemerintah adalah pemberian beasiswa miskin.
Dengan berdasarkan pada asumsi bahwa rendahnya persentase kelulusan UN pada suatu kebupaten/kota merupakan simptom rendahnya mutu pendidikan pada kabupaten/kota tersebut, inisiatif yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional akan memberikan subsidi peningkatan mutu pendidikan pada kabupaten/kota yang persentase kelulusan UN-nya rendah diharapkan akan menjadi intervensi yang efektif terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Arah subsidi
Meskipun rendahnya persentase kelulusan UN pada kabupaten/kota dijadikan sebagai kriteria pemberian subsidi, tujuan pemberian subsidi tidak hanya untuk meningkatkan persentase kelulusan UN pada tingkat kabupaten/kota. Persentase kelulusan UN pada satu kebupaten/kota hanya dijadikan sebagai entry-point.
Arah pemberian subsidi adalah secara komprehensif meningkatkan mutu pendidikan. Sasaran subsidi adalah untuk memberikan intervensi terhadap in-school factors. Secara lebih konkret subsidi ditujukan untuk melakukan upaya peningkatan dan perbaikan pada in-school factors tersebut.
Titik awalnya adalah didasarkan pada pada hasil diagnosis terhadap skor mata-mata pelajaran yang dijadikan UN. Hasil diagnosis tersebut paling tidak akan memberikan dua jenis informasi. Pertama, frekuensi siswa membuat kesalahan pada butir soal tertentu. Kedua, informasi tentang keterkaitan antarbutir soal tersebut dengan SI.
Berdasarkan pada kedua jenis informasi tersebut, dapat ditarik ke belakang tentang kompetensi gurunya dan ketersediaan sarana pada sekolah yang bersangkutan. Indikator kompetensi guru meliputi penguasaan konsep yang diajarkan dan kemampuan mengajarkannya kepada siswa. Keduanya itu harus pada tingkat kompetensi yang sama. Guru yang penguasaan konsep yang diajarkan tinggi tidak secara otomatis akan menjadikan peserta didik mempunyai tingkat penguasaan tinggi terhadap konsep yang diajarkan guru tersebut, kalau guru tersebut tidak mempunyai kemampuan mengajarkannya dengan baik. Sebaliknya, kemampuan mengajar yang baik tidak memberikan dampak terhadap peningkatan akademis peserta didik kalau tidak diiikuti dengan penguasaan oleh guru terhadap konsep yang diajarkan.
Program pelatihan yang diberikan kepada guru dapat secara eksplisit diarahkan untuk meningkatan penguasaan konsep mata pelajaran dan metode pengajaran konsep tersebut. Ketersediaan sarana pendidikan akan dievaluasi searah dengan kompetensi guru. Hal itu dimaksud untuk mendukung upaya peningkatan kompetensi guru melalui program pelatihan tersebut.

Diversifikasi subsidi
Pemberian subsidi kepada kabupaten/kota yang persentase kelulusan UN-nya rendah tentu saja akan menimbulkan 'rasa iri' kabupaten/kota yang persentase kelulusannya relatif tinggi. Secara anekdotal dikatakan, kabupaten/kota itu akan menurunkan persentase kelulusan UN-nya agar mendapatkan subsidi. Hal itu tentu saja akan terjadi jika subsidi hanya didiberikan kepada kabupaten/kota dengan persentase kelulusan UN rendah. Pemerintah perlu untuk mendiversifikasi subsidi.
Ada tiga bentuk subsidi yang bisa ditawarkan, yaitu subsidi peningkatan mutu, subsidi pembinaan mutu, dan subsidi penjaminan mutu, lebih tepatnya adalah quality competitiveness. Subsidi peningkatan mutu ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada kabupaten/kota yang mutu pendidikannya masih rendah. Dengan subsidi itu, peningkatan mutu dapat dicapai. Subsidi pembinaan mutu diberikan kepada kabupaten/kota yang mutu pendidikannya relatif bagus. Subsidi yang diberikan kepada kabupaten/kota ini pada dasarnya tidak hanya untuk menjaga mutu agar tidak turun, tetapi juga untuk menjadi kabupaten/kota yang siap untuk berkompetisi dengan kabupaten/kota lainnya.
Subsidi penjaminan mutu secara khusus untuk memfasilitasi pemerintah kabupaten/kota yang sudah siap untuk masuk dalam kompetisi mutu pendidikan, tidak hanya antarkabupaten/kota secara nasional, tetapi juga siap untuk kompetisi dengan negara lain. Kompetensi guru dan kepala sekolah pada kebupaten/kota ini tidak hanya pada tingkat baik, tetapi excellence.
Idealnya subsidi yang diberikan tidak menggunakan prinsip bus kota, yaitu jauh dekat sama atau flat rate, tetapi harus progressive rate. Jumlah subsidi yang diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota yang menerima subsidi pembinaan mutu harus lebih besar daripada yang diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota yang menerima subsidi peningkatan mutu pendidikan. Subsidi yang diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota yang menerima subsidi penjaminan mutu harus paling besar jumlahnya. Dengan cara itu, setiap pemerintah kabupaten/kota akan berjuang 'memperebutkan' subsidi yang jumlahnya paling besar tentunya.
Satu hal yang perlu dipertimbangkan setiap kabupaten/kota penerima subsidi bahwa subsidi yang diberikan pemerintah pusat bukan merupakan subsitusi dari alokasi APBD pemerintah kabupaten/kota pada pendidikan, tetapi berfungsi sebagai komplementer terhadap alokasi APBD pemerintah kabupaten/kota pada bidang pendidikan. Cara itu tidak hanya mengurangi ketergantungan pemerintah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat dalam peningkatan mutu pendidikan, tetapi juga ikut bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu pendidikan. Bukankah pendidikan sudah didesentralisasikan?

Oleh Bambang Indriyanto, Staf Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Opini MEdia Indonesia 27 September 2010