27 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Mewaspadai Epidemi HIV/AIDS di Batang

Mewaspadai Epidemi HIV/AIDS di Batang

SEBAGAI seorang ibu, dan aktivis pemberdayaan perempuan, terus terang saya miris mengikuti perkembangan data epidemi HIV/AIDS di Jawa Tengah, khususnya di Batang. Data yang ada pada Komisi Pemberantasan AIDS (KPA) Jawa Tengah mencatat sejak 1993 sampai 2010, terjadi 2.922 kasus dengan 406 korban meninggal dunia.


Dari kasus yang terjadi tersebut, pengidap HIV tercatat 1.644 orang, dan penderita AIDS 1.644 orang. Delapan besar daerah yang rawan penyebaran penyakit mematikan tersebut adalah Kabupaten Batang, Kendal, Banyumas, Cilacap, Tegal, Kabupaten dan Kota Semarang, serta Kota Solo (SM, 23/09/10).

Di Batang, epidemi penyakit yang ditakuti itu sudah masuk ke angka 107 penderita. Sebuah angka statistik yang menggiriskan.

Keprihatinan ini akan terus berlanjut mengingat potensi titik rawan tempat yang diduga sebagai sumber penyebaran penyakit ini, dari hari ke hari bukannya makin sepi namun malah berkembang.
Ketujuh titik rawan tersebut adalah lokalisasi Penundan, Petamanan Banyuputih, Boyong-sari, dan Bong Cino. Untuk nonlokalisasi yaitu Sluwes Surodadi, Wuni, dan Jrakah Payung. Dari letaknya, titik rawan epidemi HIV/ AIDS ini terletak di jalur pantura.

Sudah menjadi rahasia umum, di mana banyak kantung-kantung parkir truk, di situ akan muncul warung remang-remang. Di antara warung remang-remang itulah, muncul penyedia perempuan pekerja seks komersial. Jadi, seperti sudah menjadi ‘’tradisi’’ yang dikembangkan dalam konsep sosial tadi. Ironisnya, kondisi ini sejak awal tidak terantisipasi oleh pihak yang berkompenten dalam penanggulangan masalah sosial dan penyakit menular.

Meskipun bila dirunut pemkab sudah berupaya dengan berbagai cara, dari preventif sampai represif, dengan mengadakan razia, namun efek jera hanya seperti pedas-pedas sambal, kapok saat itu namun di lain waktu kembali melakukannya.

Dari prespektif motif, hampir 99,9 % dari mereka yang terlibat dalam dunia remang-remang dipicu kesulitan ekonomi, alasan klasik yang sulit dipecahkan. Jadi, seperti air yang mengalir, permasalahan tersebut sampai hari ini terus bergulir. Kondisi ini disadari sepenuhnya oleh pihak-pihak yang peduli dengan penyakit ini.

Seperti yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan AIDS Jawa Tengah, Batang menjadi salah satu sasaran hibah program Global Fund, yaitu sebuah program pencegahan melalui transmisi seksual. Salah satu medianya adalah dengan memberikan layanan kesehatan berkait dengan perilaku  pelaku dan ‘’pengguna jasa’’ prostitusi yang belum sadar untuk menggunakan kondom.

Jangan Ragu

Apakah dengan upaya ini ada jaminan epidemi HIV/AIDS ini bisa ditekan penularannya pada masa mendatang di Kabupaten Batang? Bukannya pesimistis atau apatis terhadap segala upaya tadi, pesimisme saya didasari pada beberapa hal.

Pertama; bahwa kesadaran tentang pentingnya penggunaan kondom dalam dunia prostitusi sudah sering tersosialisasikan namun tidak efektif. Hal ini didasari karena kesadaran dari lelaki hidung belang itu sendiri terkait dengan sensasi yang hendak mereka peroleh atas uang yang mereka keluarkan.

Kedua; program penanggulangan secara terpadu belum maksimal. Upaya yang bisa dilakukan di sini adalah dengan pelibatan semua unsur masyarakat dan pemerintah serta penegakan hukum yang secara simultan dan terus-menerus dilaksanakan. Bukan musiman atau hanya secara insidental.

Saya yakin apabila dari aspek pembinaan mental, keimanan, kesehatan sebagai upaya preventif dilakukan terus-menerus dan dibarengi dengan tindakan represif, menindak pelacur maupun mucikarinya, upaya itu tetap memunculkan efek jera. Terhadap pelaku yang terjaring diperkarakan di Pengadilan Negeri, bila sudah berulang-ulang, hakim jangan ragu lagi menjatuhkan pidana maksimal, bukan putusan percobaan atau sekadar mendenda.

Sangat disadari bahwa pelacuran merupakan bagian dari penyakit masyarakat yang tidak mungkin diberantas namun bisa diminimalisasi dengan berpandangan bahwa efek dari itu adalah berkembangnya penyakit HIV/AIDS yang siapa pun tidak ingin tertulari. Karenanya upaya efektif dan efisien adalah tidak ikut-ikutan masuk dalam jeratan sumber penyakit itu. Salah satunya dengan selalu setia pada pasangan kita. Tidak sulit bukan? (10)

— Sri Murbhihandini, aktivis pemberdayaan perempuan, tinggal di Batang
Opini Suara MErdeka 27 September 2010