Jauhari Zailani
Dosen FISIP Universitas Bandar Lampung
Bandar Lampung banjir? Tragis. Lihatlah sungai alam kita, bukankah  Bandar Lampung berada pada ketinggian?  Tetapi nyatanya, banjir telah  memacetkan Bandar Lampung, simak Lampost 23 September 2010, yang  menurunkan foto dan berita: dua jalan utama dan vital di Bandar Lampung  jalan Teuku Umar dan Jalan Z.A. Pagaralam, banjir dan menyebabkan  kemacetan.  Lagi-lagi kita hanya dapat prihatin. Betapa banyak orang  cerdik pandai di daerah ini terabaikan kemampuannya, dan yang memiliki  kesempatan untuk memutuskan dan membangun telah mengabaikan akal sehat.  Sungguh, kita telah membangun dengan mengabaikan hukum air.
Hukum Air
Hukum air menyatakan air bergerak dari tempat yang lebih tinggi ke  tempat yang lebih rendah. Atas dasar pemahaman pada hukum yang sederhana  itu, saya hanya tersenyum saja melihat banjir pada beberapa jalan utama  di Bandar Lampung. Karena memang terprediksi. Sungguh, ketika kita  tidak arif pada hukum air, maka air akan menghukum kita. Maka,  terlaknatlah bagi yang sudah tahu, tetapi tidak melakukannya.
Manusia memang tercipta sempurna. Kesempurnaan manusia terletak pada  “proses menjadi”, melalui akalnya.  Dengan teknologi, manusia bisa  menyelam seperti ikan, bisa terbang seperti burung, bisa perkasa seperti  gajah, dan seterusnya. Manusia juga menemukan api untuk memanaskan air  dan membuat uap, menciptakan pompa untuk menggerakkan air dari bawah ke  atas. Pendek kata, dengan mengetahui hukum air, manusia bisa  memperlakukan air sesuai kehendaknya. Maka, mustahil jika pembangun tak  mengerti hukum itu. Tetapi sungguh menyedihkan, pembangunan kita acap  mengabaikan akal sehat. Contoh yang sederhana, sungai adalah tempat  menampung air yang mengalir dari daerah sekitarnya, tetapi dengan  seenaknya kita memutus atau memperkecil saluran alam tersebut.
Kepada pembaca, saya mengajak untuk melihat satu sungai saja, mari  kita lihat Sungai Kedaton sebagai contoh mengapa Jalan Teuku Umar dan RS  Urip Sumoharjo pun kebanjiran. Silakan Anda berimajinasi menelusuri  sungai yang bermuara di Gunungterang dan berakhir di Panjang itu, Anda  akan menemukan keanehan atas fakta:
Pertama, jembatan lebih lebar dari badan sungai, karena badan sungai  digerogoti rumah, ruko, dan lahan bisnis lainnya. Perhatikan bangunan  sekitar jembatan Maruman Siger, dan perhatikan perlakuan kita pada  sungai sekitar RS Urip Sumoharjo.
Kedua, semua jembatan yang melintasi sungai tersebut memiliki panjang  kurang lebih 10 meter, kecuali satu jembatan di Jalan Morotai kurang  dari 5 meter. Logikanya, lebar sungai dan jembatan kian ke hilir kian  lebar atau konsisten. Hal ini menggambarkan badan sungai di daerah ini  terdesak dan dikecilkan.
Ketiga, bangunan dan jalan di seputar daerah aliran sungai ini  mengabaikan dan memerkosa alur sungai tersebut sehingga jalan-jalan  berubah menjadi sungai ketika hujan tiba. Ini bisa ditelusuri mengapa  jalan Sultan Agung banjir dari depan Kantor Radar Lampung, depan Monte  Carlo, sekitar Masjid Ad Dua hingga permukiman BTN II Way Halim Permai.
Keempat, pada awal 1970-an, sungai tersebut secara alami menampung  aliran sungai kecil yang berasal dari daerah sekitar Labuhanratu dan  bergabung dengan Sungai Kedaton di Way Halim. Tetapi alur itu telah  terpotong oleh Jalan Sultan Agung di sekitar Bengkel Monte Carlo.  Sedangkan sungai dari Kotasepang mestinya bergabung dengan Sungai  Kedaton di sekitar daerah Arif Rahman Hakim, tetapi diperkosa di Jalan  Ki Maja, Perumnas, dan Sultan Agung Way Halim Permai.
Dengarlah Suara Rakyat
Suatu hari, saya berjalan di Jalan Ki Maja Way Halim. Saya terheran  mencium air comberan dengan bau yang menyengat. Air hitam itu  mengalir  di jalan. Saya menelusuri siring air dari depan RM Yanto dan ruko Way  Halim Permai. Lagi-lagi kita mengabaikan akal sehat. Jika siring  tersebut sehat, niscaya air bisa mengalir lancar ke Sungai Kedaton di  kuburan Way Halim.
Untuk memenuhi keingintahuan, saya menemui ketua RW yang kebetulan  saya kenal. Kepadanya saya bertanya soal siring dan air comberan yang  meluap ke jalan di daerahnya. Selama menjadi ketua RW, Mas Sugito  menceritakan usahanya telah berulang kali menyampaikan persoalan  tersebut ke pemerintah yang berwenang. Melalui mekanisme yang formal  dalam musbangkel di Kecamatan Kedaton. Tetapi sudah berganti empat camat  Kedaton, permasalahan ini tidak pernah selesai. Yang lebih parah lagi,  ketika disampaikan pada anggota DPRD Kota Bandar Lampung yang reses,  hasilnya sami mawon, sama saja. Pak Gito kemudian berapologi.  “...Mengapa ya hal-hal yang sederhana dan di depan hidung kita kok tak  terurus?” Beliau berkata barangkali pemimpin kita belum terlalu amanah.
Contoh ini hanya satu dari sekian banyak kasus betapa kita membangun  dengan mengabaikan akal sehat. Barangkali inilah yang membuat apatis  rakyat pada pemimpin dan partai politik. Karena inisiatif dan  partisipasi warga tidak memperoleh respons yang memadai. Pendek kata,  jika kita tidak mengabaikan hukum air, air akan menghukum kita. Selaras  dengan itu, pemimpin yang mengabaikan suara rakyat.
Opini Lampung Post 27 September 2010