27 September 2010

» Home » Pikiran Rakyat » LABEL SEUMUR HIDUP

LABEL SEUMUR HIDUP

Oleh MELANI
Ulah geng motor sudah sejak lama meresahkan masyarakat, dan akhir-akhir ini tindakan brutalnya semakin menjadi-jadi. Aparat penegak hukum pun kewalahan menghadapi ulah geng motor ini, sehingga Kapolda Jabar Inspektur Jenderal Sutarman memerintahkan anak buahnya mendata setiap anggota geng motor yang terlibat kriminalitas, selanjutnya stempel kriminal bakal tertera seumur hidup dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi mereka. Surat keterangan itu biasanya dibutuhkan untuk melanjutkan sekolah, bekerja, dan lain-lain.
Tindakan serius Kapolda Jabar untuk melindungi masyarakat dari tindak kriminal geng motor memang sangat diharapkan masyarakat Jawa Barat. Sepintas lalu dan untuk sementara, label seumur hidup bagi pelaku kriminal geng motor mungkin dapat membuat anggota geng motor gentar. Namun, yang perlu dikaji sebelumnya adalah akibat dari label tersebut, terutama bagi pelaku berusia di bawah 18 tahun (anak), dan juga dasar hukum dari pelabelan seumur hidup tersebut.


Menurut teori labeling, label atau cap dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku dan membentuk karier kriminal seseorang. Seseorang yang telah memperoleh label dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. Selanjutnya, kewaspadaan atau perhatian orang-orang di sekitarnya akan memengaruhi orang dimaksud sehingga kejahatan kedua dan selanjutnya mungkin terjadi lagi (Romli Atmasasmita, 1992:39).
Pemidanaan
Hukum penitensier di Indonesia pada dasarnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan juga UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Jenis pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda. Sementara pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Semua jenis pidana harus dijatuhkan hakim melalui vonis pengadilan.
Menurut hemat penulis, label pelaku kriminal seumur hidup bagi narapidana anggota geng motor dalam SKCK adalah termasuk pidana tambahan yang berupa pencabutan hak-hak tertentu. Bila dalam SKCK terdapat label seumur hidup, pada hakikatnya dapat berakibat kesulitan bagi terpidana untuk melanjutkan sekolah/kuliah, atau mendapat pekerjaan.
Menurut Pasal 38 KUHP, hakim hanya dapat melakukan pencabutan hak seumur hidup bagi terdakwa yang dijatuhi vonis pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Dalam hal pidana penjara waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun dari pidana pokoknya. Dalam hal denda, lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Di samping itu, label seumur hidup bagi terpidana bukan pidana mati/seumur hidup adalah bertentangan dengan tujuan pemasyarakatan, yaitu untuk menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Akar persoalan
Pelaku kriminal geng motor yang tertangkap banyak di antaranya anak-anak dan masih duduk di bangku sekolah. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak. Oleh karena itu, Indonesia terikat baik secara yuridis maupun politis untuk mengimplementasikan konvensi itu.
Hak anak adalah hak asasi manusia. Hal itu secara gamblang tercantum dalam Pasal 52 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sanksi bagi anak yang terbukti melakukan pidana tercantum dalam Pasal 22 s.d. 32 UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu berupa pidana atau tindakan. Pidana tambahan bagi anak hanya terdiri atas perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Terhadap anak tidak dapat dilakukan pencabutan hak-hak tertentu.
Berdasarkan ajaran agama, semua anak dilahirkan dalam keadaan suci. Anak berada dalam proses tumbuh kembang menuju orang dewasa, sehingga yang melakukan tindakan negatif seharusnya dipandang sebagai korban dari situasi yang tidak menguntungkan. Fenomena geng motor, seyogianya dipandang sebagai kegagalan orang dewasa dalam menolong anak yang bermasalah. Kegagalan tersebut dapat berupa kegagalan orang tua dan kegagalan sekolah dalam menciptakan anak didik yang bermoral dan bermutu, juga dapat berupa kegagalan sistem peradilan pidana anak, mulai dari polisi, jaksa, hakim, sampai dengan lembaga pemasyarakatan ditambah balai pemasyarakatan, departemen sosial, dan lain-lain.
Di samping mempelajari kegagalan-kegagalan tersebut, kiranya perlu pula dilakukan penyelidikan secara mendalam dan serius oleh kepolisian mengenai aktor intelektual di balik maraknya tindak kriminal yang dilakukan geng motor. Anak-anak sebagai pelaku di lapangan boleh jadi hanyalah diperalat orang-orang dewasa yang tidak bertanggung jawab. Perlakuan yang salah terhadap pelaku anak hanyalah akan menambah suram masa depan bangsa dan negara kita.***
Penulis, advokat, dosen hukum penitensier dan Kepala Pusat HAM & Anak Fakultas Hukum Unpas Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 28 September 2010