Ahmad Irzal Fardiansyah Pengajar Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
Pidana mati sampai saat ini masih menjadi buah bibir banyak pihak. Ada yang masih setuju, tetapi ada juga yang menganggap bahwa pidana mati merupakan bentuk kekejaman yang terlegalisasi. Kedua pendapat tersebut mesti didudukkan sesuai dengan paradigma yang benar sehingga tidak terjadi bias pendapat terkait dengan pemberlakuan pidana mati.
Di Indonesia, pidana mati masih diatur di dalam hukum positif kita, yakni pada Pasal 10 KUHP tentang pidana pokok, yang menyebut salah satunya adalah pidana mati. Bentuk perkembangannya pun kini masih menyebut pidana mati sebagai salah satu alternatif pidana yang dapat dijatuhkan pada pelaku tindak pidana, seperti yang masih dijumpai di dalam beberapa rancangan konsep KUHP baru Indonesia. Tentunya hal ini bukan tanpa alasan. Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa pemberlakuan pidana mati di Indonesia berlandaskan atas dua ide dasar, yakni sebagai upaya perlindungan masyarakat, serta untuk menghindari tuntutan/reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam/emosional/sewenang-wenang, atau bersifat extra legal execution. Sudah barang tentu dua hal inilah yang menjembatani masih perlu diberlakukannya pidana mati di Indonesia.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa pidana mati mempunyai landasan filosofis yang kuat untuk tetap diberlakukan. Namun, bukan berarti pidana mati dapat diberikan sewenang-wenang. Terdapat beberapa acuan norma sebagai koridor untuk memberlakukan pidana mati. Di dalam kongres VI PBB tahun 1980 pada resolusi kelimanya menyebutkan bahwa menyesalkan dan mengutuk praktek pembunuhan dan pelaksanaan hukuman mati terhadap lawan-lawan politik atau para tersangka yang dilaksanakan oleh kekuatan bersenjata, penegak hukum, atau aparat-aparat pemerintah lainnya atau kelompok-kelompok kemiliteran atau kelompok politik yang dilakukan secara diam-diam atau dengan dukungan lain dari kekuatan/aparat serupa.
Perlu digarisbawahi tentang menyesalkan dan mengutuk praktek pembunuhan dan pelaksanaan hukuman mati, yang dilakukan secara diam-diam. Artinya dalam hal ini adalah pidana mati yang dilarang adalah yang dilakukan secara sewenang-wenang, tanpa adanya acuan norma sehingga dilakukan tidak dengan cara yang telah diatur sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Kondisi ini dipertegas di dalam Pasal 6 Ayat (1) International Covenant for Civil and Political Right ( ICCPR), yang menyebutkan bahwa melarang perampasan hak hidup secara sewenang-wenang.
Memang benar di dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) pada Pasal 3 disebutkan tentang pengakuan terhadap hak hidup, hak kebebasan, dan hak keamanan setiap orang. Ini merupakan bentuk pengakuan secara universal tentang hak-hak kemanusiaan. Ditambah lagi dengan ketentuan di dalam UUD kita yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dipertajam lagi oleh UU HAM Pasal 33 Ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Norma-norma inilah yang menegaskan tentang pelarangan perampasan hak hidup manusia.
Tetapi pada sisi yang lain, pidana mati bukanlah pidana yang kemudian bisa dilakukan sewenang-wenang. Barda Nawawie Arief menyebutkan tentang tidak bisa dihadapkannya secara diametral (sama sekali bertentangan) antara pidana mati dan hak untuk hidup. Hal tersebut dikarenakan keduanya mempunyai dasar pemikiran dan penerapan yang tidak sama sehingga tidak bisa dihadap-hadapkan.
Pernyataan-pernyataan tentang setiap orang berhak untuk hidup adalah pernyataan yang disebutkan dalam banyak aturan yang berkaitan dengan HAM. Namun, perlu penegasan dalam hal ini, yakni ICCPR menyebutkan bahwa yang dilarang adalah perampasan hak hidup secara sewenang-wenang (no one shall be arbitrarily deprived of his life). Sewenang-wenang dalam hal ini dapat dimaksudkan sebagai penerapan yang tidak memiliki dasar acuan, baik secara normatif maupun materil. Artinya jika di dalam suatu negara tetap diakui pidana mati sebagai bentuk pidana yang dapat diberikan bagi pelaku tindak pidana, pidana mati tidak dapat dilihat sebagai perampasan hak hidup secara sewenang-wenang.
Perlu digarisbawahi keterangan lebih lanjut di dalam ketentuan ICCPR Pasal 6 Ayat (2) yang menyatakan bahwasannya pidana mati tetap dimungkinkan untuk the most serious crime (kejahatan-kejahatan berat yang paling dibenci oleh masyarakat). Penegasan Pasal 6 Ayat (2) ICCPR tersebut menerangkan tentang penerapan pidana mati tetap harus memperhatikan banyak faktor, termasuk adalah tindak pidana yang pantas diberikan pidana mati haruslah tindak pidana yang betul-betul dianggap sifat kerugiannya sangat besar di dalam masyarakat.
Perkembangan Pidana Mati
Di dalam KUHP saat ini, pidana mati masih dilihat sebagai absolute punishment, di mana tidak ada alternatif lain selain tetap diberikannya pidana mati. Absolute punishment dalam pandangan Barda Nawawie Arief tidak sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan. Absolute punishment hanya dapat diberikan pada kejahatan-kejahatan yang juga absolute dilakukan. Tentunya hal ini tidak relevan dengan keadaan jiwa manusia yang tentunya akan dimungkinkan untuk menjadi lebih baik, kemudian juga bahwasannya kesalahan orang saat melakukan tindak pidana juga tidak absolute, bisa jadi terdapat faktor lain yang mengakibatkan seseorang dianggap bersalah telah melakukan tindak pidana.
Keadaan inilah yang kemudian memunculkan perubahan terhadap rancangan KUHP baru Indonesia yang menyebutkan bahwa menurut Pasal 82 Konsep, apabila pidana mati telah diputuskan hakim, dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun jika (1) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; (2) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; (3) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan (4) ada alasan yang meringankan. Selanjutnya, jika selama masa percobaan terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
Inilah perkembangan terhadap pidana mati seperti yang selama ini sudah mulai diwacanakan dalam KUHP Baru Indonesia. Ternyata banyak hal yang perlu dipahami tentang pidana mati yang semata-mata tidak hanya gambaran kejam tentang perampasan hak untuk hidup manusia.
Namun, pidana mati juga tetap memperhatikan banyak hal yang berkaitan dengan harus dilakukan sesuai dengan acuan norma yang ada, serta benar-benar dilakukan untuk memenuhi tujuan pemidanaan
Opini Lampung Post 28 September 2010