27 September 2010

» Home » Solo Pos » Pelajaran dari polemik Jaksa Agung

Pelajaran dari polemik Jaksa Agung

Namun demikian, ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kontroversi kasus yang berakibat selama tiga hari terakhir ini negara Indonesia tidak memiliki Jaksa Agung.

Sebelumnya, legalitas Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung masih menjadi polemik berkepanjangan pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (22/9), yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon, mantan Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, dalam perkara uji materiil UU No 16/2004 tentang Kejaksaan.



Dalam putusan No 49/PUU-VIII/2010, MK memutuskan mengabulkan permohonan Yusril yang berpendapat bahwa jabatan Jaksa Agung harus dibatasi sesuai dengan masa jabatan presiden dan kabinet yang dibentuknya.

Amar putusan MK menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No 16/2004 tentang Kejaksaan adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat bahwa karena ketidakpastian hukum itu bertentangan dengan konstitusi maka seharusnya pembentuk UU segera melakukan legislative review untuk memberi kepastian dengan memilih salah satu dari alternatif-alternatif tersebut. Namun karena legislative review memerlukan prosedur dan waktu yang relatif lama maka sambil menunggu langkah tersebut, MK memberikan penafsiran sebagai syarat konstitusional (conditionally constitutional) untuk berlakunya Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No 16/2004 tersebut yang dinyatakan berlaku prospektif sejak selesai diucapkannya putusan.

Sebagai konsekuensinya, sejak putusan dibacakan (pukul 14.35 WIB) Hendarman Supandji demi hukum sudah tidak bisa lagi menjabat sebagai Jaksa Agung. Pascaputusan MK, telah terjadi kekosongan pejabat Jaksa Agung karena Hendarman kehilangan legalitasnya sebagai implikasi hukum atas putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Andaikan putusan MK tidak berlaku prospektif ke depan atau berlaku surut maka sejak 20 Oktober 2009, Hendarman ilegal sebagai Jaksa Agung. Namun, karena putusan MK tidak berlaku surut, Yusril kembali menegaskan bahwa mulai selesai dibacakannya putusan, Hendarman tidak lagi sah dan tidak dapat melakukan tindakan apa pun mengatasnamakan jabatan Jaksa Agung.

Ternyata, putusan MK itu telah menimbulkan polemik hukum tersendiri karena adanya sikap berbeda dari pihak pemerintah yang mencoba membuat penafsiran sendiri yang terkesan merupakan perlawanan terhadap putusan tersebut.

Pemerintah melalui Mensesneg Sudi Silalahi menyampaikan tanggapan yang pada intinya Hendarman masih sah sebagai Jaksa Agung pascaputusan MK sebelum terbit surat pemberhentian dari Presiden. Sebelum putusan MK dibacakan, Presiden telah merencanakan pergantian Jaksa Agung dalam waktu dekat. Pemberhentian Hendarman dan pengangkatan penggantinya akan dilakukan sesuai ketentuan UU Kejaksaan dan disahkan dengan penerbitan Keppres. Artinya, proses penggantian Hendarman akan dilakukan secara normal seperti yang telah dijadwalkan.

Hal itu juga dipertegas dengan pernyataan Staf Khusus Bidang Hukum Kepresidenan Denny Indrayana yang kukuh berpendapat tak ada klausul khusus dalam amar putusan MK yang menyatakan Hendarman harus berhenti. Pendapat ini mendasarkan pada Pasal 19 UU No 16/2004 bahwa jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Setali tiga uang, Hendarman juga menegaskan dirinya menunggu keputusan Presiden SBY soal nasibnya sebagai Jaksa Agung. Selama Keppres belum turun, ia tetap menjalankan tugas dengan alasan tidak mau makan gaji buta.

Pelajaran berharga

Sekalipun akhirnya polemik ini telah terselesaikan, ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kasus ini.

Pertama, pada masa mendatang, sebaiknya amar putusan MK lebih eksplisit dan konkret menyebut konsekuensi hukum dari putusan itu. Di tengah anomali kehidupan hukum, diperlukan ketegasan dan kejelasan redaksi amar putusan karena jangan sampai putusan MK menjadi alat artikulasi konstitusional yang bisa menimbulkan multitafsir.

Kedua, sikap para pembantu presiden yang berkali-kali menyatakan bahwa status Hendarman masih sah, menimbulkan kesan pemerintah tidak ikhlas menerima putusan MK. Selain kontraproduktif, sikap ini tampak hanya mencari celah untuk membela diri sekaligus juga mengindikasikan adanya pembangkangan terhadap putusan MK. Kalangan Istana seolah tidak mau tahu bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga harus diterima dan dipenuhi. Hal demikian menjadi contoh buruk ketidaktaatan pemerintah terhadap hukum.

Ketiga, kejadian ini mengindikasikan buruknya tata kelola pemerintahan dan tidak adanya keakuratan manajemen administrasi di lingkungan Istana untuk hal-hal yang sangat strategis. Apalagi kasus mirip seperti itu pernah menimpa Anggito Abimanyu yang gagal dilantik menjadi Wakil Menkeu dan Fahmi Idris yang gagal dilantik menjadi Wakil Menkes hanya gara-gara alasan yang katanya bersifat “administratif”.

Keempat, tidak adanya budaya malu dan konsisten di kalangan petinggi negara hukum. Mestinya, Hendarman lebih elegan dan terpuji, apabila secepat mungkin meletakkan jabatan pascaputusan MK. Tidak perlu berlama-lama menunggu surat pemberhentian dari Presiden. Jika mau, Keppres bisa menyusul sembari ditunggu di rumah kediaman saja, bukan di Kantor Kejakgung. Sikap demikian akan lebih memiliki harga diri, harkat serta martabat bagi seorang pejabat. Budaya pantang mundur sekalipun sudah kehilangan kepercayaan dan landasan moral di kalangan pejabat kita tampaknya masih kuat melekat di negara ini.

Sudah seharusnya pemerintah, DPR, lembaga penegak hukum menjaga tegaknya rule of law dengan menerima dan mematuhi putusan MK, sebagai lembaga peradilan konstitusi di Indonesia, yang dibentuk melalui amanat UUD 1945. - Oleh : Moh Jamin (Dosen Sosiologi Hukum FH UNS)
Opini Solo Pos 27 September 2010