Presiden menginstruksikan Panglima TNI dan Kepala Polri untuk mengecek kelengkapan persenjataan guna mencegah terulangnya peristiwa Hamparan Perak (Kompas, 24/9). Sebagai respons terhadap panglima tertinggi angkatan bersenjata, instruksi tersebut terlalu teknis dalam menyikapi terorisme.
Perang melawan terorisme memerlukan perubahan fundamental soal definisi kita tentang ”perang”, ”terorisme”, dan ”operasi mengatasi terorisme” itu sendiri. Tanpa perubahan fundamental di tataran konseptual, kita senantiasa terjebak pada kebijakan teknis yang miskin gagasan. Alhasil, deret nyawa yang hilang selalu direspons dengan deret instruksi.
Perang melawan terorisme tidak memiliki musuh yang nyata seperti negara bangsa. Perang melawan terorisme sama abstraknya dengan perang melawan kemiskinan atau kebodohan. Pelaku teror memang individu konkret, tetapi pikiran, ideologi, ruang gerak, apalagi waktu, adalah abstrak dan tak tentu. Perang melawan terorisme tidak dapat dibatasi secara ruang dan waktu seperti perang melawan negara lain. Perbuatan teror dapat terjadi di mana saja dan tidak mengenal jeda. Sel mati bisa kemudian hidup kembali. Teroris yang mendapat remisi kemudian kembali mengorganisasi perlawanan.
Perang melawan terorisme sejatinya upaya menciptakan dan mempertahankan tata sosial tertentu (kedamaian) sehingga hal itu perlu melibatkan aksentuasi kuasa dan kekuatan secara terus-menerus. Perang melawan terorisme tidak mengenal kata ”berhenti”. Perang melawan terorisme harus dimenangkan terus-menerus.
Di sini dikotomi kaku antara operasi militer atau perang dan penegakan hukum jadi sangat cair. Corak ”tak berjeda” perbuatan teror menuntut kebijakan dalam anggaran sekaligus produk hukum. Kepolisian perlu mendapat anggaran tambahan untuk terus memerangi terorisme. Produk hukum perlu dibuat guna memayungi bantuan militer terhadap kepolisian. Kepolisian akan sangat kerepotan jika berjalan sendiri melawan terorisme yang tidak kenal ruang dan waktu.
Perang melawan terorisme menjungkirbalikkan perbedaan antara hubungan internasional dan politik domestik. Perbedaan antara ”pertahanan” dan ”keamanan” menjadi kabur dan bahkan lenyap. Operasi militer dengan penegakan hukum adalah dua sisi dari mata koin yang sama. Tidak ada lagi perbedaan antara musuh luar dan musuh dalam. Pelaku teror dalam negeri disusupi ideologi asing. Pelaku teror yang melarikan diri ke negara tetangga terus berkontribusi terhadap aksi teror di dalam negeri. Di sini, perang intensitas rendah (low intensity warfare) perlu ditemukan dengan penegakan hukum berintensitas tinggi (high intensity law enforcement).
Perang melawan terorisme juga menggeser konsep aliansi atau sekutu. Seiring dengan abstraknya konsep ”terorisme”, aliansi melawan teror juga sangat ekspansif dan universal. Segenap kekuatan yang ada dapat bersekutu melawan terorisme tanpa terikat ras, etnis, atau agama. Di sini konsep ”perang yang adil” muncul di berbagai media dan forum. ”Perang yang adil” muncul sebagai wacana moral untuk menopang perang melawan terorisme. Konsep tersebut berfungsi untuk memperluas perang dari tujuan-tujuan partikular ke universal. Di sini, aliansi moral perlu dibangun dengan kekuatan-kekuatan sipil yang dapat membantu memerangi ideologi terorisme.
Siapa pelaku teror itu sesungguhnya? Pada awal abad ke-20, terorisme merujuk pada pengeboman yang dilakukan kaum anarki di Rusia, Perancis, dan Spanyol. Perbuatan teror adalah pernyataan membangkang terhadap kemapanan. Sementara pada awal abad ke-21, terorisme menjadi konsep politik yang merujuk pada tiga fenomena utama (Negri, 2004). Pertama, terorisme sebagai pembangkangan terhadap pemerintahan yang sah. Kedua, aksentuasi kekerasan politik oleh negara terhadap warganya (penggusuran, misalnya). Ketiga, penggunaan kekuatan yang menyalahi rules of engagement, misalnya penyerangan terhadap warga sipil.
Terlepas kesulitan yang muncul dari tiga definisi di atas, terorisme sejatinya adalah strategi politik. Kita sering mengartikan pelaku teror sebagai pelanggar hukum atau pelaku kriminal. Padahal, kedua konsep tersebut berbeda 180 derajat. Pelaku kriminal tidak memiliki tujuan politik apa pun, sementara pelaku teror memiliki tujuan politik yang jelas, misalnya mengganti dasar negara. Tujuan politik tersebut adalah idealitas absolut yang melumpuhkan rasa bersalah dan memompa militansi. Berharap pelaku teror bertobat di lembaga pemasyarakatan konvensional adalah kenaifan yang berbahaya.
Saya berpendapat bahwa pelaku teror sama statusnya dengan pasukan asing yang mengancam kedaulatan Republik. Pasukan asing memasuki teritori atau kedaulatan fisik sebuah negara, sementara pelaku teror mengancam teritori atau kedaulatan nonfisik negara berupa ideologi atau dasar negara. Ancaman pelaku teror terhadap dasar negara sebuah republik sudah lebih dari cukup untuk meletakan mereka dalam kategori ”kombatan” sehingga kebingungan institusional antara kepolisian dan TNI tidak perlu terjadi. TNI, menurut hemat saya, dapat menggunakan segenap infrastruktur dan sumber daya yang ada untuk membantu kepolisian memerangi terorisme.
Pemahaman baru tentang terorisme menuntut sebuah kebijakan yang terukur dari lembaga-lembaga negara. Eksekutif dan legislatif perlu duduk bersama memikirkan payung hukum yang memungkinkan peran militer dalam perang melawan terorisme. Persoalan hak asasi manusia (HAM) dapat dibicarakan dan dinegosiasikan. Sebab, dalam kedaruratan permanen seperti ini, keberlakuan HAM tidak seuniversal seperti di masa normal. Setelah itu, alokasi anggaran yang memadai perlu ditetapkan guna menopang TNI dan kepolisian dalam menjalankan peran tersebut. Tanpa itu semua, perang melawan terorisme hanya akan berupa instruksi melawan terorisme belaka.
Opini Kompas 27 September 2010