27 September 2010

» Home » Pikiran Rakyat » NEGARA MENYERANG BALIK TERORIS

NEGARA MENYERANG BALIK TERORIS

Oleh Arya Sandhiyudha A.S.
Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Jumat (24/9) memberikan keterangan mengenai jaringan perampokan dan rangkaian aksi Densus 88 Antiteror. Hal yang tidak biasa ialah adanya beberapa sinyalemen mengenai ide harmonisasi aktor keamanan nasional dalam agenda kontraterorisme. Ke depan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan menjadi representasi negara yang mengoordinasikan beberapa aktor keamanan.


Ide harmonisasi ini memang hadir di momen yang tepat. Pascaaksi Densus 88 Polri (19-20/9) yang menangkap lima belas orang dan menembak mati tiga orang yang dianggap terlibat dalam rangkaian perampokan Bank Sumut, Mustika, dan CIMB Niaga di Medan beberapa waktu lalu, situasi benar-benar memanas. Terlebih setelah sekelompok bersenjata melakukan penyerangan ke Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang Sumatra Utara (22/9) dan menewaskan tiga anggota Polri.
Perlindungan negara
Harmonisasi antaraktor disadari sangat urgen karena semakin besarnya potensi ancaman terhadap negara. Bukan tidak mungkin pusat-pusat keramaian (mal, bandara, pelabuhan, dan lain-lain), serta infrastruktur vital lain juga menjadi target. Oleh karena itu, di tingkat pasukan pemukul (striking force) dibutuhkan kombinasi satuan dari beberapa institusi, di antaranya Detasemen Bravo (Den Bravo-90) Angkatan Udara, Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) Angkatan Laut, dan Detasemen Gultor (Den-81 Gurlor) Angkatan Darat.
Upaya tersebut ditujukan untuk mengurangi kerentanan negara ataupun kepentingan Indonesia di luar negeri dari serangan teroris. Ini dapat dilakukan dengan, 1) penguatan keamanan perbatasan. 2) Peningkatan kualitas intelijen dan perbaikan basis data identitas tentang tersangka teroris yang melakukan perjalanan. 3) Bekerja sama dengan berbagai pihak untuk melindungi objek-objek vital. 4) Melindungi masyarakat dalam menjalani keseharian hidup, tidak hanya kerja sama antara BNPT dan Polri, tetapi juga komunitas bisnis dengan penduduk lokal. 5) Kemajuan keamanan dan kualitas transportasi untuk mengurangi risiko serangan.
Situasi dilematis dalam agenda kontrateror tidak hanya terjadi di Indonesia. Yehezkel Dror (2003), spesialis pertahanan, pernah membedahnya sebagai fenomena "the governance dilemma" (dilema pemerintah) dalam penanggulangan terorisme. Lalu bagaimana agar dilema semacam ini dapat diminimalisasi? Menurut analisis Grant Nordlaw (2001), ada empat instrumen alternatif paling fundamental menentukan ketepatan suatu strategi.
Instrumen yang pertama, aturan (legal) dalam konteks negara hukum, Indonesia melaksanakan aksi kontrateror berbasis aturan sistem peradilan pidana serta panduan UU terkait yang melihat terorisme sebagai suatu tindak pidana. Oleh karena itu, setiap aksi aparat dikontrol oleh publik atau parlemen berdasarkan kacamata hukum.
Kedua, selain koridor aturan, hal lain yang memengaruhi ialah instrumen kebijakan "keamanan" yang dipengaruhi struktur politik. Bagi Indonesia, miskomunikasi kepada publik, parlemen, dan juga institusi resmi di daerah bisa berakibat sensitif. Perilaku gegabah menindak target sebelum bukti kuat terkumpul atau ketergesa-gesaan tidak hanya akan bermasalah secara hukum, tetapi juga mendapatkan kritik keras parlemen, institusi lain dan/atau masyarakat.
Dilema pemerintah dapat berkurang jika kebijakan kontrateror dilengkapi dengan kebijakan integrasi sosial, yaitu instrumen ketiga strategi "bermasyarakat". Contoh yang patut diapresiasi ialah upaya Kapolda Sumut Inspektur Jenderal Oegroseno, pascapenyerangan Mapolsek Deli Serdang, dengan mengadakan dialog lintas agama dan penerapan agenda "satu desa satu aparat" yang melibatkan TNI. Strategi bermasyarakat yang tepat akan menciptakan situasi ketenteraman.
Instrumen keempat, penetrasi persepsi "populasi" yang dapat menciptakan keseimbangan sosial. Kuncinya, bagaimana aparat mampu membangun kesesuaian persepsi antara apa yang mereka persepsi sebagai ancaman dan persepsi nilai-nilai yang diyakini populasi. Misalnya, saat Densus 88 menganggap orang-orang tertentu merupakan ancaman keamanan, sebaliknya, populasi menganggap orang-orang itu justru berperilaku santun, agamis, dan bermanfaat bagi masyarakatnya. Dapat pula kecaman terjadi jika penerapannya dipersepsi populasi tidak proporsional secara kemanusiaan, seperti represi tanpa alasan jelas dan penembakan di depan anggota keluarga.
Prasyarat utama
Agar keempat instrumen kontrateror tersebut di bawah koordinasi BNPT dapat diterapkan dan berjalan dengan efektif, ada dua prasyarat utama. Syarat pertama dan yang utama adalah legitimasi dari otoritas politik bagi keberlakuan sistem tersebut. Dalam hal ini adalah aspek legislasi yang dibahas bersama dan terhindar dari monopoli satu komisi/institusi tertentu saja.
Syarat kedua, perencanaan jangka panjang yang matang untuk menguatkan dan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas setiap instrumen terkait dengan penanganan terorisme. Capacity building harus dilakukan terhadap aspek struktural organisasional dan aspek individual.
Penting untuk dicatat, penguatan kelembagaan ini tetap harus didasari prinsip-prinsip efektivitas serta nilai-nilai demokratik yang tengah dibangun, karena kapan pun, demokrasi tidak menginginkan adanya akumulasi kekuasaan.***
Penulis, master dalam bidang Strategic Studies dan penerima Certificate in Terrorism Studies dari S. S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura.
Opini Pikiran Rakyat 28 September 2010