Amiruddin Sormin
Wartawan ‘Lampung Post’
Rencana Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan (Lamsel) menjual aset untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp50,4 miliar menuai pro dan kontra. Arus pendapat pro dan kontra atas rencana ini sama-sama punya argumen kuat.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, menjual aset untuk menutup defisit APBD memang bukan langkah populer dan amat jarang diambil pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota. Terlebih aset tersebut berupa harta tak bergerak seperti tanah dan bangunan.
Ada delapan langkah yang umum dipakai pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam menyiasati defisit APBD yakni penggunaan sisa lebih penggunaan anggaran (silpa). Kemudian, pinjaman dalam negeri ke pemerintah pusat, menunda pembayaran tunjangan pegawai negeri sipil (PNS) beberapa bulan, memakai dana sisa tender, mengurangi perjalanan dinas, mengurangi alokasi dana hibah, dan menunda pengadaan barang/tanah.
Solusi lain yang juga sering dipakai adalah menjadikan proyek bernilai besar dari setahun menjadi multiyears. Dari delapan solusi yang diberikan sejumlah pakar anggaran tersebut, jelas tidak direkomendasikan penjualan aset, karena itu sesungguhnya mengurangi kekayaan pemerintah.
Di Lampung, miliaran aset pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terbengkalai. Aset berupa bangunan telantar itu, dibangun dengan dana pusat, APBD provinsi, dan kabupaten/kota. Bangunan terbengkalai itu diduga tak dimanfaatkan karena dibangun tanpa perencanaan matang atau tidak diupayakan untuk dimanfaatkan kembali. (Lampung Post, 2 Maret 2009).
Di Lamsel, aset yang tak optimal digunakan sejak dibangun antara lain Kalianda Trade Center (KTC) di tepi jalinsum Kelurahan Way Urang, Kecamatan Kalianda. Gedung bernilai Rp13 miliaran yang dibangun pada 2005 itu sunyi senyap. Padahal, gedung itu terdiri atas 224 kios. Kemudian, stadion sepak bola yang dibangun tahun 1993 dan terminal yang dibangun dengan dana APBD kabupaten miliaran rupiah yang tak bisa digunakan sesuai dengan rencana.
Dalam berbagai kasus, aset telantar terjadi karena dua faktor yakni salah perencanaan sehingga tak sesuai kebutuhan dan tak diberdayakan. Kedua faktor ini juga terdapat di Lamsel.
Jika defisit yang ingin ditutupi mencapai Rp50,4 miliar, tentu aset yang akan dijual lebih dari itu. Sebagai kabupaten induk, Lamsel memang memiliki ratusan aset tidak bergerak yang tersebar di Lamsel hingga Bandar Lampung. Sebut saja, gedung tua di Jalan Kapten Tendean, Palapa, Bandar Lampung, yang jadi kandang kambing, padahal berada di pusat bisnis.
Tulisan ini tidak ingin mempermasalahkan mengapa aset-aset tersebut terbengkalai, tapi bagaimana memaksimalkannya sehingga bisa menambah pundi-pundi APBD lewat pendapatan asli daerah (PAD). Salah satunya dengan membentuk perusahaan daerah (PD).
Lamsel tergolong kabupaten induk yang minim perusahaan daerah. Hingga kini kabupaten yang terbentuk bersamaan dengan pembentukan Provinsi Lampung tahun 1964 ini, hanya memiliki satu BUMD, yakni Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Jasa. Kondisi ini berbeda dengan daerah otonom yang terbentuk belakangan seperti Tanggamus, Tulangbawang, dan Metro.
Di Tanggamus misalnya, selain memiliki PDAM Way Agung ada PD Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). BPRS yang didirikan pada 2003 ini, bahkan mampu memasukkan PAD dalam tempo delapan bulan sejak beroperasi.
Demikian halnya di Tulangbawang. Selain PDAM, Pemkab Tulangbawang membentuk PD Aneka Karya Agung yang bergerak di bidang perdagangan umum dan agrobisnis. Untuk wilayah otonom yang setara dengan Lampung Selatan yakni Bandar Lampung, memiliki tiga PD yakni PDAM Way Rilau, PD Bank Pasar, dan PD BPR Syariah Bandar Lampung.
Tulisan ini juga tidak ingin mengajari buaya berenang, karena Lamsel kini dinakhodai pebisnis kampium. Wakil Bupati Eky Setyanto adalah pemilik kelompok bisnis Natar Perdana Group yang menaungi lebih dari 14 perusahaan. Demikian halnya Bupati Rycko Menoza yang memiliki latar belakang pendidikan bisnis.
Mendirikan BUMD untuk meningkatkan PAD memang bukan langkah tokcer mengatasi defisit APBD. Langkah ini juga bukan seperti makan cabai. Tapi dengan memberdayakan aset, sejarah akan mencatat tidak ada aset Lamsel yang tergadai dan hilang. Malah berdiri BUMD baru yang bakal terus menambah PAD, meski Rycko-Eki tidak lagi memimpin Lamsel.
Opini Lampung Post 27 September 2010