Laporan IMF tahun 2010 tentang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia menunjukkan kenaikan yang berarti bagi bangsa ini. Pasca krisis global, Indonesia dinilai berhasil dan termasuk termaju dibandingkan dengan negara lain.
Namun demikian, yang belum dapat diraih adalah bahwa justru pertumbuhan ekonomi di tingkat makro tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi di tingkat mikro. Akibatnya, pemerataan kesejahteraan tidak tercapai sehingga korupsi marak dan reformasi birokrasi menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) gagal. Tata kelola ini hanya dapat dicapai apabila sistem pelayanan birokrasi terhadap kepentingan publik dapat dikelola secara baik dan benar serta bebas KKN. Solusi untuk mencapai kemajuan tersebut salah satunya adalah diterapkannya sistem online di dalam sektor pelayanan publik.
Sistem online telah berhasil menghapuskan KKN di birokrasi, seperti telah berhasil dilaksanakan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dengan sisminbakum. Peringkat Indonesia mencapai urutan ke 44, naik signifikan 10 peringkat pada tahun 2010. Sistem pelayanan online memang memerlukan anggaran yang sangat tinggi dan kualitas teknologi yang memadai, namun dapat diatasi dengan sistem outsourcing penuh dan bekerja sama dengan pihak swasta, mengingat keterbatasan APBN. Dibangunnya sistem online dalam sisminbakum bermula dari kerisauan investor dalam negeri dan asing yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di Tanah Air, namun memiliki ketidakpercayaan (distrust) yang sangat tinggi terhadap integritas, akuntabilitas dan profesionalisme aparatur penegak hukum.
Akibatnya, sering terjadi ketidakpastian hukum, ketidakadilan dan juga tidak mencerminkan tujuan kemanfaatan. Dalam praktik penegakan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi justru terjadi ketimpangan atas ketiga tujuan tersebut, bahkan tujuan memupuk keuntungan pribadi atau kelompok lebih diutamakan sehingga terjadi pelanggaran hukum dan kode etik profesi yang menghapuskan objektivitas dan akuntabilitas profesionalisme sesuai dengan kaidah undang-undang. Pola yang sudah membaku dalam praktik penegakan hukum saat ini mirip dengan ucapan terkenal, “Le etat cest moi” (ucapanku adalah hukum) di mana hak asasi warga negara diabaikan, protes sosial dilawan melalui kolaborasi dengan pers yang tidak bertanggung jawab, kolaborasi dengan pengacara dan pengusaha hitam.
Berbagai perilaku ini tampak transparan dan tidak sungkan-sungkan sehingga kontraproduktif dengan pertumbuhan ekonomi, malah menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Untuk mengembalikan situasi menjadi lebih bersih dan bebas KKN, pembentukan Satgas Mafia Hukum bukanlah satu-satunya solusi. Momentum pergantian Jaksa Agung merupakan kesempatan terbaik untuk membalikkan citra negatif pelaku ekonomi nasional dan asing terhadap implementasi penegakan hukum yang lemah. Pelaku ekonomi sangat mengharapkan Jaksa Agung yang baru nantinya sensitif terhadap fluktuasi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal ini pun sesuai dengan tujuan pembangunan hukum yang telah dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Pendek Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 yang menegaskan: ”Pembangunan hukum (termasuk penegakan hukum––pen) diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi terutama dunia usaha dan dunia industri serta menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi terutama perlindungan hukum.”
Sosok Jaksa Agung yang cocok dengan tujuan pembangunan hukum di atas adalah mereka yang memiliki wawasan dan pengetahuan luas tentang peta politik ekonomi nasional dan internasional, selain pengetahuan teoritik dan pengalaman praktik penyelidikan, penyidikan dan penuntutan khususnya dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi. Tampaknya tipe ideal di atas sulit diwujudkan siapa pun karena pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Inpres itu salah satunya menyatakan bahwa sektor pembangunan di bawah koordinasi Menko Polhukam dan salah satu bidang tugasnya ialah pemberantasan korupsi.
Inpres tersebut telah menetapkan target keberhasilan pemberantasan korupsi yaitu sebanyak 1.700 perkara sampai dengan akhir Desember 2010 kepada Kejaksaan Agung. Sistem target dalam praktik lebih banyak mudaratnya karena terkesan Jaksa Agung memaksakan bawahannya mencapai target tersebut. Bahkan jika tidak mencapai jumlah target perkara tertentu, Kajari yang bersangkutan akan terhambat kariernya untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi. Dampak negatif dari sistem ini adalah ekses ”overkriminalisasi” perkara korupsi.Sehingga,muncul perkara dengan nilai hanya satu juta rupiah bisa sampai kasasi.
Selain itu, sistem target juga menyebabkan diskresi penyidik korupsi menjadi lebih besar dan leluasa untuk menetapkan peningkatan penyelidikan kepada tahap penyidikan dan penetapan tersangka, apalagi melibatkan tersangka yang memiliki status sosial tinggi atau jabatan politik. Sistem target dengan ekses negatif di atas terbukti tidak memberikan kontribusi signifikan untuk memulihkan tingkat kepercayaan publik, terutama pelaku ekonomi untuk melakukan investasinya di Indonesia. Semua ekses negatif akibat sistem target dalam pemberantasan korupsi hanya dapat diatasi oleh Jaksa Agung yang memahami perencanaan pembangunan ekonomi nasional dan target pencapaiannya.
Selain itu, sebaiknya sistem target tersebut dievaluasi kembali karena banyaknya ekses negatif yang tidak diperkirakan sebelumnya. Adalah benar pendapat Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum dan juga penegakan hukum harusnya menjadi sarana menciptakan kesadaran hukum masyarakat secara luas, bukan alat (kekuasaan) semata-mata untuk mendukung pembangunan nasional. Karena itu, Jaksa agung yang baru nantinya tidak hanya memiliki integritas dan akuntabilitas semata-mata melainkan juga calon-calon yang dapat membedakan maslahat dan mudarat tindakan hukum aparaturnya bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.
Untuk membantu mewujudkan hal ini, diperlukan perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yaitu menghapuskan unsur kerugian (keuangan) negara vide Pasal 2 dan Pasal 3, digantikan dengan larangan menerima gratifikasi oleh penyelenggara negara, larangan perbuatan memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment), larangan penggelapan harta kekayaan negara sekecil apapun nilainya, larangan suap bagi penerima (suap pasif) dan pemberi (suap aktif). Semua larangan atas perbuatan tersebut merupakan strategi pencegahan yang andal tanpa perlu menimbulkan gejolak sosial yang tidak perlu. Strategi tersebut harus diperkuat pola perampasan aset dalam tindak pidana pencucian uang.
Semua larangan tersebut hanya akan berlaku efektif jika laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara (LHKPN) segera ditindaklanjuti klarifikasi oleh divisi pencegahan KPK dengan menggunakan teknologi modern tanpa perlu menunggu terjadi kasus pada penyelenggara negara yang bersangkutan. Kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi saat ini seharusnya dialihkan dari penindakan kepada strategi pencegahan, yaitu dengan memperkuat ketegasan dan komitmen aparatur hukum dan presiden dalam implementasi perbuatan yang dilarang tersebut di atas.
Saat ini dalam agenda legislasi Tahun 2010/2011 telah dipersiapkan rancangan undang-undang tentang perampasan aset tindak pidana, suatu UU yang diharapkan memperkuat strategi penindakan dari pada pencegahan dengan tujuan utama merampas dan mengembalikan aset negara yang hilang karena tindak pidana korupsi. Sudah saatnya politik hukum pemberantasan korupsi dititikberatkan pada strategi pencegahan yang harus dilaksanakan secara konsisten dan tanpa campur tangan pihak manapun. Strategi itu perlu diperkuat dengan perampasan aset hasil tindak pidana atas dasar hukum acara pembuktian terbalik murni terhadap aset-aset yang diduga kuat (sekurang-kurangnya dua alat bukti) adalah hasil tindak pidana melalui tuntutan secara keperdataan.
Strategi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dibandingkan dengan strategi penindakan dengan cara penghukuman dan pengembalian kerugian keuangan negara secara kumulatif––yang terbukti lebih banyak mudarat dari maslahatnya––kecuali hanya sekadar merupakan tontonan dalam “selebrity show” saja. Bahkan secara kuantitatif, rasio antara uang negara yang dikembalikan jauh lebih kecil dan tidak signifikan dari anggaran negara yang telah dikeluarkan untuk memburu uang negara dengan segala fasilitas yang diperlukannya.
Kondisi ini diperparah dengan praktik penegakan hukum yang selektif dan diskriminatif yang semakin jauh dari kepastian hukum, keadilan dan juga kemanfaatannya. Negara ini ke depannya memerlukan Jaksa Agung yang berani melakukan langkah-langkah strategi pencegahan progresif yang meningkatkan kemaslahatan bagi bangsa ini daripada mempertontonkan “keberhasilan semu dan bias” yang bersifat kontraproduktif untuk pembangunan ekonomi nasional.(*)
Romli Atmasasmita
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Opini Okezone 27 September 2010
27 September 2010
Jaksa Agung, Pemberantasan Korupsi, dan Pertumbuhan
Thank You!