Kapolri, Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, Jumat (24/9) memberikan keterangan mengenai jaringan perampokan dan rangkaian aksi Densus 88 Antiteror. Hal yang tidak biasa adalah adanya beberapa sinyalemen mengenai ide harmonisasi aktor keamanan nasional dalam agenda kontraterorisme. Ke depan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan menjadi representasi negara yang mengoordinasikan beberapa aktor keamanan.
Ide harmonisasi itu memang hadir di momen yang tepat. Pascaaksi Densus 88 Polri (19-20/9) yang menangkap 15 orang dan menembak mati 3 orang yang dianggap terlibat dalam rangkaian perampokan Bank Sumut, Mustika, dan CIMB Niaga di Medan beberapa waktu lalu, situasi benar-benar memanas. Terlebih setelah sekelompok bersenjata melakukan penyerangan ke Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatra Utara (22/9), dan menewaskan tiga anggota Polri.
Maka menjadi menarik kemudian untuk mengetahui apa sebenarnya dan sebesar apa manfaat antisipatif di balik agenda harmonisasi kontrateror ini bagi negara? Lalu apa bagaimana mengatasi dilema pemerintah dalam agenda kontrateror selama ini? Mengingat di sisi lain, sebagian masyarakat juga ada yang memiliki persepsi bahwa tindakan Densus 88 pesanan asing anti-Islam, represif dan antidemokrasi, tidak prosedural secara hukum dan tidak menghiraukan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
Urgensi perlindungan negara
Harmonisasi antaraktor disadari sangat urgen karena semakin besarnya potensi ancaman terhadap negara. Setelah jaringan teroris melakukan penyerangan Mapolsek Deli Serdang, Sumut, bukan tidak mungkin pusat-pusat keramaian (mal-mal, bandara, pelabuhan, dll) dan infrastruktur vital nasional lain juga menjadi target. Oleh karena itulah, di tingkat striking force (pasukan pemukul) dibutuhkan kombinasi satuan dari beberapa institusi, di antaranya Detasemen Bravo (Den Bravo-90) Angkatan Udara, Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) Angkatan Laut, dan Detasemen Gultor (Den-81 Gurlor) Angkatan Darat.
Upaya perlindungan yang dimaksudkan untuk mengurangi kerentanan negara, maupun kepentingan Indonesia di luar negeri, dari serangan teroris. Itu dapat dilakukan dengan: 1) penguatan keamanan perbatasan; 2) peningkatan kualitas intelijen dan perbaikan basis data identitas tentang tersangka teroris yang melakukan perjalanan; 3) kerja sama dengan berbagai pihak untuk melindungi objek-objek vital; 4) melindungi warga masyarakat dalam menjalani keseharian hidup mereka; tidak hanya kerja sama antara BNPT dan Polri, tetapi juga komunitas bisnis dan penduduk lokal; 5) kemajuan keamanan dan kualitas transportasi untuk mengurangi risiko serangan.
Mengatasi dilema pemerintah
Situasi dilematis dalam agenda kontrateror tidak hanya terjadi di Indonesia. Yehezkel Dror (2003), seseorang spesialis pertahanan pernah membedahnya sebagai fenomena the governance dilemma (dilema pemerintah) dalam penanggulangan terorisme. Lalu bagaimana sebenarnya agar dilema semacam ini dapat diminimalisasi? Penting rasanya untuk melihat bagaimana 'alat-alat negara penanggulangan terorisme' (states counter-terrorism tools) dikelola menurut analisis Grant Nordlaw (2001). Ia melihat ada empat instrumen alternatif paling fundamental menentukan ketepatan sebuah strategi: aturan (legal), keamanan (sekuriti), bermasyarakat (societal), hingga penduduk (population).
Instrumen yang pertama, aturan (legal). Dalam konteks negara hukum, Indonesia melaksanakan aksi kontrateror berbasis aturan sistem peradilan pidana (criminal justice system) serta panduan UU terkait yang melihat terorisme sebagai sebuah tindak pidana. Oleh karena itulah, setiap aksi aparat dikontrol publik atau parlemen berdasarkan kacamata hukum. Ini salah satu perbedaan paling mendasar dan menjadi faktor dilema paling penting untuk diperhatikan.
Kedua, selain koridor aturan, hal lain yang memengaruhi adalah instrumen kebijakan 'keamanan' (sekuriti) yang dipengaruhi struktur politik (political structure). Apakah sistemnya presidensial atau parlementer, federal atau kesatuan, diktator atau demokratik. Bagi negara demokrasi seperti Indonesia yang menerapkan sistem presidensial dan berbentuk negara kesatuan, miskomunikasi kepada publik, parlemen, dan juga institusi resmi di daerah bisa berakibat sangat sensitif. Dengan begitu, perilaku gegabah menindak target sebelum seluruh bukti kuat terkumpul atau ketergesa-gesaan dan tertib prosedural tidak hanya akan bermasalah secara hukum, tapi juga akan mendapatkan kritik keras parlemen, institusi lain dan/atau masyarakat. Contoh kasus yang terjadi adalah kericuhan komunikasi antara Densus 88 dan Polda Sumut dan TNI-AU di Medan baru-baru ini. Serta potensial menjadi 'bulan-bulanan' opini kalangan aktivis keagamaan, hukum, dan kemanusiaan.
Dilema pemerintah dapat berkurang jika kebijakan kontrateror dilengkapi kebijakan integrasi sosial, yaitu instrumen ketiga strategi 'bermasyarakat' (societal). Salah satu contoh yang patut diapresiasi adalah upaya yang dilakukan Kapolda Sumut Irjen Oegroseno, pascapenyerangan Mapolsek Deli Serdang, Sumut, dengan mengadakan dialog lintas agama dan penerapan agenda Satu Desa Satu Aparat yang melibatkan TNI. Strategi bermasyarakat yang tepat akan menciptakan situasi ketenteraman. Terutama sekali jika diterapkan pelibatan institusi formal (formal structures), masyarakat sipil (civil society), dengan pemanfaatan nilai-nilai yang telah mengakar di masyarakat (local wisdom).
Instrumen keempat, penetrasi persepsi 'populasi' (population) yang dapat berhasil menciptakan keseimbangan sosial (social balancing). Kuncinya, bagaimana aparat mampu membangun kesesuaian persepsi antara apa yang mereka persepsi sebagai ancaman (threat perception) dan persepsi nilai-nilai yang diyakini populasi (values perception). Misalnya saat Densus 88 menganggap orang-orang tertentu merupakan ancaman keamanan, tapi sebaliknya populasi menganggap orang-orang itu justru berperilaku santun, agamis, dan bermanfaat bagi masyarakatnya. Penetrasi populasi dapat menjadikan negara dapat menang di lapangan 'tembak-tembakan', tapi kalah secara dukungan karena salah sasaran atau tidak dapat menjelaskan secara jernih situasi yang terjadi. Dapat pula kecaman terjadi jika penerapannya dipersepsi populasi tidak proporsional secara kemanusiaan, seperti represi tanpa alasan jelas dan penembakan di depan anggota keluarga.
Mempersiapkan prasyarat utama
Agar keempat instrumen kontrateror tersebut (aturan, keamanan, masyarakat, populasi) di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dapat diterapkan dan berjalan dengan efektif. Ada dua prasyarat utama. Syarat pertama dan yang utama adalah adanya sebuah legitimasi dari otoritas politik bagi keberlakuan sistem tersebut, dalam hal ini adalah aspek legislasi yang dibahas bersama dan terhindar dari monopoli satu komisi/institusi tertentu saja.
Syarat kedua adalah adanya sebuah perencanaan jangka panjang yang matang untuk menguatkan dan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas setiap instrumen terkait dengan penanganan terorisme. Capacity building harus dilakukan terhadap dua aspek dalam sistem, yaitu aspek struktural organisasional dan aspek individual. Penting untuk dicatat bahwa penguatan kelembagaan ini tetap harus didasari prinsip-prinsip efektivitas serta nilai-nilai demokratik yang tengah dibangun. Karena kapan pun, demokrasi tidak menginginkan adanya akumulasi kekuasaan.
Senja Kala Ideologi
BAK gayung bersambut, kelahiran Sekretariat Bersama yang disponsori Istana segera memantik aneka wacana. Muncullah berbagai gagasan dengan rupa-rupa 'brand': konfederasi, asimilasi, bahkan istilah masa lalu warisan awal era kekuasaan Soeharto, fusi. Padahal, jika disimak secara semantis, wujud berbagai 'brand' itu akan terpulang kepada makna yang sama, yakni gabungan dari beberapa komunitas sosial, politik, atau bahkan state, yang dipersatukan oleh kepentingan yang sama tanpa meninggalkan identitas komunitasnya.
Dalam konteks belantika politik Indonesia, gejala ini sama sekali bukan barang baru. Meski dipoles dengan alasan apa pun, tujuan akhir manuver ini, sebetulnya, adalah penyederhanaan partai politik. Kita tentu tak bisa melupakan suasana politik menjelang Pemilihan Umum 1955, yang oleh sebagian besar pengamat Barat sering dinyatakan sebagai pemilihan umum paling demokratis di Indonesia. Ketika itu puluhan partai politik muncul dalam seketika, begitu grasah-grusuhnya sehingga ada partai yang menggunakan tanda gambar singkong, atau tokoh wayang Semar padahal judul partainya Angkatan Cumunist Muda!
Tamasya politik warisan liberalisme itu ternyata tidak berkenan di hati Soekarno. Setelah Manifesto Politik, 1959, sang 'Pemimpin Besar Revolusi' mulai secara berangsur-angsur melakukan 'penyederhanaan partai politik', dengan merujuk pada hasil Pemilihan Umum 1955. Memasuki era 'Demokrasi Terpimpin', penyederhanaan sistem kepartaian itu semakin mengkristal dalam gagasan nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) dengan Partai Nasional Indonesia sebagai representasi 'mas', Partai Nahdlatul Ulama sebagai representasi 'a’, dan Partai Komunis Indonesia sebagai representasi 'kom'. Betul, masih ada beberapa partai lain yang kehadirannya bila kita mau jujur tak lebih dari sekadar penggembira. Hasil akhir 'nasakomisasi' itu, seperti kita ketahui, adalah megabencana 1965 yang menimbulkan korban tiada terhingga.
Soeharto, pada dasarnya, adalah 'pengikut' Soekarno yang bijaksana. Di bawah rezim Orde Baru, penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia mengambil bentuk yang paling lugas, tidak lagi tedeng aling-aling. Pada 1973, di bawah bendera fusi, hanya tinggal dua partai yang tersisa, yakni Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Untuk menampung 'aspirasi' yang berada di luar kedua partai itu, tampillah Golongan Karya yang bukan partai tapi yang kekuasaannya kelak melebih partai apa pun dalam sejarah kepartaian di republik ini.
Di bawah semboyan 'penyederhanaan sistem kepartaian', selalu tersembunyi sebuah cita-cita pragmatis yang menisbikan eksistensi ideologi. Dengan 'nasakomisasi', Soekarno sebetulnya sedang melemahkan identitas 'ideologi' nasionalisme, agama, dan komunisme, dan menempatkannya sebagai kendaraan politik sang Proklamator dengan bendera ideologi nasakom. Almarhum Jenderal Ahmad Yani kemudian seperti 'menyempurnakan' wacana itu dengan melontarkan semboyan 'Nasakom Jiwaku', mengimbangi semboyan yang diuarkan Soekarno, 'Nasakom Bersatu'. Pada tingkat ini, identitas ideologi mengalami abstraksi yang makin menjauhkannya dari program dan agenda setiap komponen yang mencoba menggalang 'konfederasi'.
Jika disimak dengan jernih, penyederhanaan sistem kepartaian di bawah Orde Baru hanyalah duplikasi tersamar-–tapi konkret--dari rezim sebelumnya. Setelah semua partai warisan Orde Lama difusikan menjadi hanya tiga partai, ideologi serta-merta kehilangan daya pukaunya. Sejak itu, sebetulnya, sebagaimana arahan dan 'petunjuk' sang Bapak Pembangunan, cuma ada satu ideologi resmi di Indonesia, yakni 'ideologi pembangunan'. Praktis tak ada yang berani menyangkal realitas ini, sebab ia didukung mantra sakti 'asas tunggal Pancasila'.*
REFORMASI mengantarkan negeri ini memasuki era euforia demokrasi yang memicu bangkitnya hasrat berideologi. Puluhan partai berdiri dengan berbagai lambang, simbol, semboyan, dan janji perjuangan. Tetapi, ketika tiba seleksi alamiah melalui Pemilihan Umum 1999, hanya beberapa partai yang tinggal bertahan. Dalam konstelasi ini mulai terasa, ideologi sepertinya kembali memainkan peranannya, walaupun belum terartikulasi secara meyakinkan. Perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilihan Umum 2004, misalnya, seperti membenarkan asumsi itu.
Demi menggalang kekuatan yang masif di lembaga legislatif, partai-partai pemenang kemudian menggalang kubu koalisi untuk menguasai proses pengambilan keputusan. Tapi, tanpa dinyana, kubu yang diharapkan solid dan kedap itu kemudian terganggu oleh kasus dana talangan Bank Century, yang menyebabkan beberapa komponen Koalisi mengambil jarak dengan partai penguasa. Friksi inilah yang kemudian mendorong Istana merintis Sekretariat Bersama yang, sesungguhnya, seperti menciptakan garis frontal antara 'koalisi yang diperbarui' dan partai-partai kecil di luar kubu.
Perdebatan di sekitar ambang batas parlemen (parliamentary threshold) membuktikan tiada lain daripada bertambah renggangnya jarak antara partai-partai yang bermain dan apa yang disebut sebagai 'ideologi kepartaian'. Di tengah polemik '2,5% versus 5%', sebagian elite politik lebih sibuk bermain angka ketimbang menawarkan gagasan yang bisa mengangkat kehidupan dan martabat umat. Angka menjadi sangat penting, melebihi apa pun, karena sang angkalah yang akan memproyeksikan 'habitat' yang bisa menampung para elite: apakah di parlemen atau langsung di lembaga eksekutif.
Di depan mata, ideologi dilumpuhkan oleh kepentingan pragmatis yang sangat singkat. Tanpa bisa berlindung di balik lalang sebatang, kita melihat betapa sejumlah kepala daerah beralih loyalitas, dari partai yang tadinya mendukung mereka ketika mencalonkan diri sebagai kepala atau wakil kepala daerah, beralih ke 'the ruler’s party' yang jelas-jelas bakal menjanjikan ketenteraman. Pada tingkat ini, 'ideologi' sama sekali sudah keluar dari nalar politik. Ada yang menjelaskan fenomena ini sebagai rendahnya etika politik dan orientasi berlebihan terhadap kekuasaan. Tetapi, jika diingat bahwa saat ini terdapat sekitar 100 kepala daerah yang diduga terlibat persoalan hukum, termasuk korupsi, langkah 'pindah perahu' itu mungkinlah bisa dipahami.
Jika ideologi dimaknai sebagai sistem kepercayaan praktis (a system of practical belief) yang dikembangkan dan disifati sebuah komunitas yang dipersatukan oleh ikatan politik, ekonomi, dan budaya dalam kebersamaan cita-cita, makna itu kini sudah berganti dengan permainan matematika yang merujuk kepada pembagian pangsa kekuasaan. Sasarannya juga tak lebih jauh dari Pemilihan Umum 2014, ketika perjalanan 'reformasi' menjejaki tapal yang sangat krusial, yakni memilih presiden baru-–ketika incumbent tak lagi mempunyai hak untuk maju.
Proyeksi ini, sebetulnya, lumayan mengkhawatirkan. Masa sekitar empat tahun menjelang pemilihan umum yang akan datang merupakan masa yang singkat untuk menegosiasikan, apalagi menggalang kekuatan politik yang saling berimbang. Dengan berbagai problem ekonomi dan lingkungan hidup yang sedang merasuk secara mondial, sukar dibayangkan kontrak-kontrak politik yang bersifat kefusian bisa tercapai dalam waktu yang diidam-idamkan. Ideologi sebenarnya hal yang sangat mendasar, tapi saat ini seakan-akan memang telah kehilangan pesonanya. Ibarat daur hari, ideologi sedang merayap di ambang senja kalanya. Tapi, paling tidak, tak ada salahnya para elit politik berkonsentrasi menyusun program konkret yang bisa menyelamatkan umat dan bangsa ini dari ancaman kelam malam panjang.
Oleh Arya Sandhiyudha AS, Master dalam bidang strategic studies dan penerima Certificate in Terrorism Studies dari SS Rajaratnam School of International Studies, Singapura