07 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Bahasa Politik SBY

Bahasa Politik SBY

Reslawati
Pengajar di Universitas Pelita Harapan Jakarta
Dalam pidato menanggapi hasil kerja Pansus DPR, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengungkapkan sosok dirinya yang sesungguhnya. Pidato tanpa teks itu membeberkan kepada publik bahwa SBY hanyalah seorang pemimpin yang tidak punya cukup keberanian untuk mengambil sikap tegas.
Presiden SBY lebih memilih berada dalam posisi mengambang. Di satu sisi, SBY mengaku menghormati proses politik di DPR yang memutuskan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah bersalah mengambil kebijakan bailout Bank Century. Tetapi, SBY juga menilai proses politik itu hanya berlandaskan hukum (rules of law), bukan berlandaskan pada akal sehat (rules of reason). Sehingga, keputusan politik legislatif itu mengabaikan kesulitan Indonesia menghadapi dampak krisis ekonomi global pada 2008 lalu. Bagi SBY, para anggota legislatif tidak memiliki sense of crisis.


Di sisi lain, SBY memuji dan menyanjung bekas Gubernur Bank Indonesia Boediono dan bekas Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati sebagai manusia paling berjasa menyelamatkan perekonomian Indonesia dari dampak krisis global tahun 2008. Tetapi, SBY juga mengakui adanya kesalahan dan penyimpangan mengingat kebijakan bailout untuk Bank Century dan merugikan keuangan negara itu dibuat saat krisis berlangsung sehingga setiap orang bekerja secara terburu-buru.
Pidato SBY tersebut lebih diterima publik pada tataran sebagai bahasa politik SBY karena hasil Pansus DPR menempatkan Partai Demokrat--yang mengantar SBY sebagai Presiden RI--pada posisi berseberangan dengan arus dominan di legislatif. Artinya, publik lebih melihat SBY sebagai kader Partai Demokrat dalam menyikapi hasil kerja Pansus DPR meskipun posisinya sebagai Presiden sangat melekat.
Bahasa politik sebagaimana diungkapkan George Orwell (2004) dirancang untuk membuat kebohongan kelihatan jujur. Sebagai bahasa politik, pidato SBY memantulkan pandangan politiknya sebagai pribadi lewat citra keberbahasaannya. Selain itu, jika kita melihat pilihan gramatikal dalam pidatonya, SBY terkesan bukan saja ingin membeberkan kebenaran kepada publik, mengajak publik memercayai kebenaran itu, dan membujuk publik agar melihat dampak krisis moneter seperti cara pemerintah. Melainkan, SBY terlihat sedang berusaha untuk menguasai publik dengan menciptakan pendapat umum yang baru.
Dalam bukunya, From Grammar to Politics: Linguistic Anthropology in a Western Samoan Village (1994), Alessandro Duranti mengatakan language does not simply reflect the world, is also shapes itu, fashions it. Sebab itu, pidato SBY yang ditampilkan dengan tingkat kesantunan yang luar biasa terhadap proses demokrasi di DPR sesungguhnya muncul dari keinginan SBY untuk membangun kesan betapa wajar proses demokrasi di legislatif menghasilkan opsi C karena mereka telah kehilangan kesantunan berbahasa.
SBY memang tidak secara langsung mengatakan legislatif tidak mengandalkan rasionalitas dalam bertindak. Tapi, penggunaan frase berupa peraturan perundang-undangan untuk mengambil kebijakan bailout, menunjukkan bahwa pemerintahan SBY bekerja berdasarkan peraturan yang disahkan DPR. Hal ini merupakan kemajuan bila dibandingkan dengan kebijakan serupa yang pernah diambil rezim pemerintah sebelumnya.
Saat berpidato, SBY tampak tidak tenang, tidak seperti gaya berpidatonya selama ini. Tindak tuturnya kali ini acap mengulang-ulang, mengucapkan kalimat-kalimat tertentu, terutama yang berkaitan dengan pembenaran undang-undang atas pengambilan keputusan bailout Bank Century. Berkali-kali pula SBY berusaha membangun citra positif pemerintahan yang dikelolanya dengan membanding-bandingkan dengan pemerintahan rezim-rezim sebelumnya.
Sebetulnya pidato tersebut sudah sering disampaikan SBY, terakhir disampaikan di hadapan 54 anggota Masyarakat Perbankan Indonesia, Senin (1-3). Bedanya, kali ini SBY tidak menyinggung soal pertanggungjawabannya atas hasil kebijakan kasus penalangan dana Bank Century yang merugikan negara itu. Penekanan terbesar justru pada redanden, yang mengesankan betapa SBY konsisten dengan sikap awalnya.
Dengan mengulang-ulang menceritakan proses pengambilan kebijakan bailout dan mengaitkannya dengan dampak krisis moneter tahun 2008, SBY berusaha menjadikan dirinya sebagai sumbu berbahasa dalam kasus tersebut. Sebagai sumbu, SBY berharap bahwa makna dalam pidatonya yang akan mengubah persepsi publik, sehingga perlu dibumbui dengan mengangkat kembali kekhawatiran nasional bernama krisis moneter.
Dari pilihan cara berbahasa politik itu, sesungguhnya SBY menyadari betul pola bertuturnya dapat menimbulkan ragam tafsir pada publik karena tingkat kesadarannya atas pluralisme publik dalam hal ilmu dan pengetahuan sangat tinggi. SBY tahu persis bahwa tidak semua rakyat di negeri ini menjadi begitu peduli dan memahami persoalan bailout Bank Century, tetapi mereka menjadi sangat terpengaruh ketika media menampilkan persidangan-persidangan Pansus DPR secara apa adanya.
Permainan Semantik
Pada tataran ini, kita melihat sosok SBY sebagai pemimpin yang memahami dampak kesantunan berbahasa bagi publik. Ketika legislatif mengobarkan semangat pemakzulan, SBY memang sangat reaktif. Tapi, reaksi SBY selalu disampaikan dengan turut bahasa yang santun, yang mana pilihan diksi dan leksem bahasanya sangat kaya akan frasa dan metafora.
Berbeda dengan Presiden Gus Dur saat menyikapi anggota-anggota DPR. SBY bukan saja sangat mengandalkan kesantunan berbahasa, tetapi ia memiliki kepiawaian untuk menjadi mainstream dalam komunikasi politik. Kemampuan SBY melakukan permainan semantik (semantic competence) muncul dari keandalan mengubah eufemisme berbahasa Orde Baru dan vulgarisme berbahasa Orde Reformasi sehingga tercipta fenomena baru dalam bahasa politik kita. N
Opini Lampung post 08 Maret 2010