07 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Pengawasan Pemanfaatan Ruang

Pengawasan Pemanfaatan Ruang

PEMPROV Jateng dan pemkab/ pemkot perlu  membuat peraturan baru terkait pelaksanaan penataan ruang, dengan berkaca pada bencana longsor di Ciwidey, Bandung,  23 Februari lalu. Terlebih kejadian demi kejadian itu dipicu oleh implementasi penggunaan ruang, terutama alih fungsi lahan.

Tanah longsor dan banjir merupakan persoalan yang selalu terjadi setiap tahun di Jateng dan hal itu tidak bisa dilepaskan dari belum serasinya alih fungsi lahan. Padahal pelanggar penggunaan tata ruang bisa dipidana (SM,25/02/10).


Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memberikan petunjuk cara menggunakan ruang dan sanksi bagi pelanggarannya. Perangkat hukum itu  memberikan arahan bahwa penataan ruang tanpa melihat batas administrasi pemerintahan daerah.

Jadi, pembangunan yang bertumpu pada perencanaan tata ruang sudah seharusnya saling kait-mengkait, terlepas dari daerah itu sudah melampaui batas wilayah administratifnya. Penjabarannya yakni bila ada suatu wilayah dengan fungsi, kondisi, dan karakter tanahnya sama, namun secara kewilayahan ada perbedaan administrasi kepemerintahan, maka wilayah tersebut tetap ditentukan penggunaannya sesuai peruntukan awalnya, sesuai rencana tata ruang secara nasional.

Misalnya ada wilayah hutan lindung yang dipunyai oleh dua wilayah pemda maka tetap saja wilayah itu sebagai hutan lindung. Bukannya wilayah yang satu digunakan untuk hutan lindung, namun bagi pemkab lain hutan tersebut dialihfungsikan sebagai hutan produksi.

Faktanya saat ini masih terjadi tumpang tindih, dan hal itu mengindikasikan belum adanya keterpaduan penataan ruang antara pusat dan  provinsi, beserta pemkab/ pemkot.

Pemerintah pusat telah mempunyai rencana tata ruang (RTR), yang diterjemahkan ke dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi, RTRW kota/kabupaten, sampai ke tingkat kecamatan dan kelurahan.

Perencanaan harus sampai ke tingkat kelurahan/desa mengingat wilayah terbangun pasti mempunyai data batas wilayah peruntukannya yang diketahui oleh pemerintahan tingkat kelurahan.
Karena itu, rencana tata ruang nasional harus mampu mewarnai RTRW provinsi dan kota/kabupaten.

Sebaliknya RTRW provinsi dan kota/kabupaten harus mengacu rencana nasional. Yang patut disayangkan dalam pelaksanaan penggunaan ruang saat ini adalah, pemerintah di tingkat kelurahan dalam hal izin penggunaan ruang  sebatas hanya  mengikuti perintah dari atas.

Sudah seharusnya pemerintah pusat harus menyosialisasikan rencana tata ruang nasional itu kepada pemerintah provinsi, dan selanjutnya pemerintah provinsi menyosialisasikannya kepada pemkot/ pemkab, dan seterusnya sampai ke kelurahan.
Mitigasi Isi dari sosialisasi materi, selain substansi penggunaan ruang, juga tentang filosofi normatif yang berbasis pada mitigasi bencana secara nasional. hal ini terkait dengan kejadian yang terduga maupun tidak, misalnya ancaman bencana alam atau kerusakan lahan.

Kemudian aspek keterkaitan, korelasi, dan interaksi wilayah antarprovinsi harus selalu dikedepankan. Bila pola ini diterapkan, tidak akan ada pembangunan antarprovinsi yang mandek sampai sebatas wilayah provinsi atau kabupaten itu.

Hal yang tidak kalah penting adalah tidak akan terjadi saling lempar tanggung jawab atas bencana alam yang muncul di wilayah lain tapi berdampak pada wilayah tetangga. Sosialisasi menjadi penting  ketika bencana alam terus menimpa wilayah-wilayah rawan dan selalu terulang.

Prinsip mitigasi adalah meminimalisasikan dampak bencana, jadi sebenarnya lewat perencanaan terpadu kita bisa ”terhindar” dari bencana tersebut dengan cara penanganan secara kewilayahan yaitu dengan mengatur fungsi ruang ataupun secara perekayasaan.
Pembuatan perda RTRW di tingkat provinsi ataupun kota/kabupaten perlu melibatkan masyarakat pengguna.

Hal mengingat orang awam tidak memahami penggunaan tanah (land use) di suatu wilayah, sehingga misalnya ketika mereka akan mendirikan bangunan tidak memedulikan fungsi lahannya.

Dari hasil sosialisasi, biasanya ada penolakan dari sebagian pemilik tanah, misalnya pemilik tanah yang mempunyai lahan di daerah konservasi.

Ketika ingin menjualnya kepada investor, tanah itu sulit mendapatkan pembeli karena investor kesulitan mendapatkan izin dari pemkot/ pemkab bila tanah itu digunakan untuk fungsi nonkonservasi. Kondisi ini menjadi  pemicu ketidakharmonisan antara peraturan yang dibuat pemerintah dan stakeholders.  (10)

— Tjoek Suroso Hadi, dosen Teknik Planologi Unissula
Wacana Suara Merdeka 6 Maret 2010