Pilihan itu merupakan pukulan telak bagi Amien Rais, sekaligus tanda bahwa aura dirinya di partai yang didirikan dan dibesarkannya sudah berakhir
HASIL sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 3 Maret 2010 tidak hanya membuktikan bahwa koalisi parpol pendukung pemerintah sangat tidak solid, dibuktikan dengan dukungan Partai Golkar, PKS, dan PPP terhadap Opsi C yang menyatakan bail out Bank Century bermasalah, namun juga membuktikan secara kasat mata betapa aura politik tokoh reformasi, Prof Dr Amien Rais sudah sangat redup.
Jangankan untuk menggerakkan hati nurani anggota DPR dari luar PAN, untuk mengarahkan anggota legislatif dari partai yang pernah dia komandani saja tidak bisa.
Lihatlah pernyataan Amien Rais beberapa waktu lalu ketika Pansus Hak Angket DPR Kasus Bank Century menjelang memasuki pandangan fraksi-fraksi. Ia berulang kali mengimbau anggota Dewan dari PAN agar menyebut nama yang harus bertanggung jawab. Namun, dalam pandangannya FPAN sama sekali mengabaikan petuah pendirinya itu.
Pengacuhan anggota FPAN terhadap keinginan Amien itu berlanjut ketika voting untuk menentukan alternatif mana yang harus dipilih dalam rangka mengambil keputusan. Legislator dari partainya memilih alternatif yang memasukkan Opsi A+C sebuah opsi yang sama sekali tidak pantas untuk orang-orang bergelar terhormat, karena sama sekali tidak logis. Bagaimana mungkin yang menyatakan benar bisa digabungkan dengan yang menyatakan salah. Lebih terang lagi, ketika PAN dalam voting jauh lebih ”istiqamah” dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), karena 100 persen berada di barisan pendukung bail out. Sedangkan PKB masih ada Lily Wahid yang berani berseberangan dari arus fraksinya sehingga ke-istiqamah-an FPKB menjadi tidak bulat. Terlepas menyempalnya Lily, kedua partai berbasis massa Islam tersebut jelas tidak menjadikan acuan amar ma’ruf nahi munkar sebagai pijakan, karena ternyata kekuasaan bagi keduanya jauh lebih penting.
Sikap PAN melalui fraksinya di DPR jelas sebuah pengabaian terhadap aspirasi pendiri partai itu. Bahkan, Dradjat Wibowo pun yang sangat getol mendukung Pansus ketika diwawancarai bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfudz MD SH SU terkesan bertolak belakang dari idealisme awalnya. Alasannya itu sudah merupakan keputusan partai melalui musyawarah nasional (munas).
Hilangnya aura politik Amien tersebut bisa jadi lantaran Amien sudah tidak memiliki posisi yang kuat. Apalah fungsi ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) karena yang berkuasa adalah ketua umum DPP. Atas dasar itulah barangkali dia berniat keluar dari MPP dan berniat kembali ke Muhammadiyah. Orang internal PAN seperti Patrialis Akbar tentu sangat senang karena jika ia kembali ke Muhammadiyah, PAN tidak akan direcokin dan DPP merasa bebas dari bayang-bayangnya.
Kekuasaan Selain itu, hilangnya aura politik Amien menurut penulis lebih banyak disebabkan ulah politiknya yang dalam banyak hal bertindak sebagai pengejar kekuasaan. Paling tidak ada tiga kasus petualangan yang membuat aura politiknya memudar.
Pertama, ketika tiba-tiba mendukung sekuat tenaga agar Sutrisno Bachir (SB) terpilih sebagai ketua umum. Padahal tidak sedikit kader yang sejak awal memang sudak ikut bahu-membahu membesarkan PAN seperti Didik J Rachbini dan Fuad Bawazir. Kedua orang tersebut mencalonkan diri sebagai calon ketua umum, namun Amien tidak mendukung.
Banyak pihak menilai dukungan Amien terhadap SB lantaran balas jasa karena ketika mencalonkan diri sebagai presiden banyak mendapatkan ”gizi” dari SB. Di samping, Amien begitu percaya diri bahwa orang yang didukungnya akan berada ”di bawah ketiaknya”. Namun, kepercayaan diri sang pendiri PAN itu meleset. Salah satunya adalah dalam soal penentuan para calon legislatif di mana SB banyak membawa selebritis. Walhasil, dalam soal itu, Amien sudah mulai diabaikan karena kritik yang dilontarkan banyak tidak digubris SB.
Kedua, ketika polarisasi politik begitu kuat perihal kepada siapa dukungan PAN akan diarahkan dan SB ketika itu belum juga menunjukkan sikapnya, Amien bertindak cepat melakukan ”kudeta” melalui pertemuan di Yogyakarta. Atas desakan kelompok Hatta Rajasa orang kepercayaannya, Amien merasa bahwa ”kudeta” itu dilakukan untuk kepentingan PAN di samping, tentunya untuk memulihkan pengaruhnya. Namun, tanpa disadari tindakannya itu semakin merusak citranya. Bahkan, tidak sedikit orang yang mengapresiasi berbalik mencelanya.
Ketiga, ketika kongres PAN di Batam Amien ragu mendukung Dradjat dan terkesan netral meskipun sebenarnya ia lebih berat kepada orang kepercayaannya. Dan, ketika Dradjat mulai goyah karena dukungan kepadanya tipis, Amien mendukung Hatta sambil memberikan solusi agar Dradjat menjadi wakil ketua umum. Tindakannya yang lebih mendukung Hatta itu sebenarnya ia takut kalau PAN tidak mendapatkan jatah kekuasaan meskipun hal itu bukan untuk dirinya.
Sebagaimana ketika memilih SB, Amien berharap agar ia masih bisa menunjukkan pengaruhnya melalui kedudukannya sebagai ketua MPP PAN. Namun, dalam hal ini ia harus kembali gigit jari dan puncaknya ketika fraksi partai berlambang matahari itu memilih Opsi A seperti Partai Demokrat.
Pilihan itu merupakan pukulan telak bagi profesor politik itu sekaligus tanda bahwa aura dirinya di partai yang didirikan dan dibesarkan sudah berakhir. Bandingkan dengan ”kudeta” Yogyakarta, Hatta dan kawan-kawan sangat mendengarkan fatwa politiknya, karena takut tidak mendapatkan jatah jabatan. Setelah jabatan itu, tinggallah sang guru besar dalam kesendirian, karena para pendukungnya ketika melakukan ”kudeta” ternyata mengabaikan seruannya. Bagi mereka tentu sangat sayang kehilangan jabatan yang dipenuhi fasilitas mewah.
Ketika keadaan sudah seperti itu, wajar saja jika sang profesor politik ingin balik kandang ke Muhammadiyah, tempat yang telah melambungkan namanya. Barangkali, hal itu sebagai bentuk tobat yang bersangkutan dari petualangan politik yang tidak hanya membuatnya ”bunuh diri”, tapi telah menorehkan luka yang sangat membekas di sejumlah kalangan NU ketika ia pasang badan menggulingkan Gus Dur. Semoga saja organisasi massa Islam itu tidak menjadi alat untuk petualangan berikutnya. (10)
— Doktor Mahmudi Asyari, peminat masalah politik
Wacana Suara MErdeka 6 Maret 2010