07 Maret 2010

» Home » Kompas » Paranoid, Konstitusi Bukan Drakula

Paranoid, Konstitusi Bukan Drakula

Situasi pasca-angket ini mungkin menggambarkan lembaga kepresidenan dan DPR saling menodongkan senjata; yang satu di leher, satu di perut. Ironisnya, penegak hukum yang harus menarik pelatuk terjepit di tengah tekanan untuk mengeksekusinya.
Nama-nama lain yang terbidik sedang berpeluh, tinggal menunggu nasib ketika tarikan pelatuk itu akan segera merobek jantungnya atas ”sabda” politik. Sungguh tersiksa para penegak hukum dijadikan alat, hukum standar ganda, kapan republik ini menjadi sehat?
Hasil keputusan angket DPR tetap adalah keputusan hukum/konstitusional karena hipotesis ini lahir dari proses hak angket (Pasal 20A UUD 1945) yang kemudian terbingkai dengan keputusan DPR melalui paripurna yang sah. Keputusan ini mengikat, tetapi dalam proses tindaklanjutnya tidak harus sama dalam proses penegakan hukum pidana karena kewenangan tersebut tetap berada pada Polri, kejaksaan, KPK, hingga pengadilan dilingkup MA untuk menentukannya.


Supremasi hukum
Dari hasil DPR ini, ketika penegak hukum pidana menindaklanjutinya dan berkesimpulan berbeda, DPR tidak bisa berbuat apa-apa dan akhirnya merendahkan wibawanya sendiri meski berbaris ribuan barikade pengawas. Jikalau terbukti pun, bukanlah prestasi DPR, tetapi tetap pada penegak hukum karena ada tidaknya angket jikalau terdapat dugaan pelanggaran maka akan ditindaklanjuti penegak hukum. Implikasi lain yang negatif, dengan rekomendasi seperti ini bisa jadi diterapkan standar ganda, mulai dengan ”mengorbankan” orang yang lemah.
Bagaimanapun, selama kita sepakat dengan supremasi hukum, tekanan politik bahkan opini publik sekalipun tidak dibenarkan untuk memenjarakan orang! Lebih baik membebaskan 100 orang bersalah daripada menghukum satu orang tak bersalah (Joseph Cascarelli, 1996). Inilah dogma konstitusi universal sebagai payung tertinggi pemidanaan di belahan dunia mana pun.
Namun, semua akan lain cerita ketika DPR fokus pada kelas konstitusinya, yaitu lembaga kepresidenan dan membawa hipotesis tersebut dalam proses konstitusi. Secara kebetulan, baik rakyat maupun kekuasaan masih memercayai pranata konstitusi, kebetulan pula jalan itu sesungguhnya terbuka. Saya pun heran mengapa tiba-tiba semua menjadi paranoid terhadap pranata konstitusi? Apakah karena istilah ”pemakzulan” yang tiba-tiba hidup di jagat wacana dan kedengaran mencekam bagai drakula mengerikan?
Oleh karena itu, mungkin istilah tersebut lebih baik dikesampingkan karena paradigma konstitusi sesungguhnya adalah bahwa ada dua warga negara yang mendapatkan forum khusus jikalau terdapat hipotesis pelanggaran hukum terhadapnya, yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Pendakwaannya dilakukan langsung oleh DPR di MK melalui penggunaan hak menyatakan pendapat. Filosofinya, agar lembaga kepresidenan segera mendapatkan kepastian hukum (konstitusional) paling lama 90 hari dan; lembaga kepresidenan tidak bisa diberhentikan dengan hipotesis semata tanpa validasi konstitusi (Pasal 7A, 7B, 24C UUD 1945).
Dakwaan DPR ini tidak otomatis bisa terbukti (Pasal 7B Ayat 5 UUD 1945) seandainya pula MK menyatakan terbukti, tidak otomatis pula Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan oleh MPR. Filosofinya, perwakilan seluruh bangsa di MPR akan memberikan sentuhan politik kearifan karena Tuhan saja Maha Pengampun, bagaimanapun lembaga kepresidenan penanggung jawab utama nasib ratusan juta rakyat.
Proses konstitusi ini tujuan sesungguhnya bukanlah berhenti atau tidaknya lembaga kepresidenan, ini hanyalah akibat karena tujuan sesungguhnya adalah terbangunnya sistem baru yang sehat buat kehidupan konstitusi. Inilah konsekuensi prinsip demokrasi konstitusional ketika rakyat tidak mau organ kekuasaannya saling menodongkan senjata tanpa kepastian yang berimplikasi ketidakpastian di segala sektor kehidupan konstitusi.
Pisau konstitusi
Oleh karenanya, kasus Bank Century ini—jikalau semua mau berkepala dingin dan tidak terpancing konflik wacana untuk kemudian eksekutif membalas dengan ”molotov-molotov” yang tidak perlu ke legislatif—sesungguhnya bisa menjadi pintu masuk dalam penyelesaian seluruh fenomena kekuasaan, termasuk penegakan hukum pidana yang terkesan standar ganda dan hukum tata negara yang karut-marut.
Bagaimanapun, hipotesis pelanggaran hukum oleh DPR termasuk Polri, kejaksaan, dan KPK yang sedang atau akan bekerja hanya dibedah pakai pisau undang-undang. Di hadapan MK, semua kasus ini akan dibedah bukanlah dengan pisau undang-undang semata, tetapi yang utama adalah pisau konstitusi dan akan digenggam dengan sentuhan kenegarawanan (Pasal 24C Ayat 5 UUD 1945).
Pembedahan ini nantinya akan menghasilkan premis mayor atau kerangka konstitusi tentang dugaan pelanggaran itu sendiri. Bagaimanapun, kebijakan adalah pranata mutlak pengelolaan negara dan pasti berimplikasi penggunaan uang negara, minimal untuk membeli tinta dan kertas guna menulis kebijakan tersebut. Apakah semua ini memang harus membuat negara itu maling dan harus dipenjara? Jangan sampai suatu saat ”malaikat” pun enggan turun mengelola republik ini!
Dari premis konstitusi inilah nantinya bisa terbentuk hukum konstitusi yang berlaku umum tentang kebijakan (erga omnes). Dari premis ini juga seluruh hipotesis kejahatan dengan instrumen kebijakan, di bawah level lembaga kepresidenan yang disebut namanya atau lainnya, harus dijadikan acuan dalam penegakan hukum pidana, baik yang sementara proses, tersangka, terdakwa, bahkan terpidana. Harapannya, penegakan hukum dengan perilaku mengorbankan orang ke depan diharapkan dapat diminimalkan sedemikian rupa. Mungkin republik harus merenung, relung hati penegak hukum pun sesungguhnya sedang berkecamuk, dipaksa memenjarakan orang, inilah sakit pikir euforia penegakan hukum.
Premis konstitusi akan kebijakan ini pulalah nantinya akan menjadi acuan guna pengelolaan negara mulai dari level lurah hingga presiden karena pasti mereka menggunakan kebijakan. Oleh karenanya, proses konstitusi tidak otomatis membuat seseorang terhipotesa melanggar hukum adalah racun, bisa jadi adalah madu. Kalaupun menjadi racun, itu hanyalah konsekuensi. Dengan sentuhan konstitusi, racun itu sesungguhnya bisa diracik menjadi obat.
Cerita akhir dari semua ini sesungguhnya adalah terbangunnya sebuah sistem bahwa ke depan negara tidak lagi mudah merugikan uang rakyat dan publik tidak dengan mudah menuduh negaranya adalah maling. Kita tentu masih percaya bahwa republik masih memiliki delapan Sulaiman dan seorang Dewi Keadilan konstitusi. Premis konstitusi inilah harus menjadi acuan di segala sektor hukum pidana, tata negara, dan seterusnya. Tentunya, selama kita masih sepakat konstitusi adalah hukum tertinggi, kecuali kita ingkar, mau jalan dengan logika hukum sendiri, maka robeklah konstitusi dan masukkanlah ke tong sampah! Namun, saya yakin kita semua arif untuk merenungkan semuanya.
A Irmanputra Sidin Doktor Hukum Tata Negara
Opini Kompas 8 Maret 2010