07 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Perempuan, Keadilan, dan Perdamaian

Perempuan, Keadilan, dan Perdamaian

Oleh Nurul Huda S.A.

Hanya orang mulia yang memuliakan perempuan.
Hanya orang nista yang menistakan perempuan.
(H.R. Baihaqi)

Hari ini, Senin 8 Maret 2010, seluruh masyarakat dunia memperingati hari perempuan.  Sebelum 8 Maret ditetapkan sebagai hari perempuan sedunia, para aktivis telah meneguk inspirasi, melakukan aksi dan refleksi panjang tentang kesenjangan hidup antara kaum laki-laki dan perempuan. Berbagai pertemuan lokal, nasional, regional, dan internasional di gelar sejak awal 1900-an untuk menyatukan visi pembebasan dan keadilan bagi perempuan. Puncaknya adalah momentum 8 Maret 1917, kaum perempuan Rusia melakukan aksi massa memprotes terbunuhnya dua juta tentara Rusia dalam perang. Aksi ini pula yang menumbangkan  Raja Rusia dan untuk pertama kalinya pemerintah mengakui hak-hak politik perempuan. Sejak saat itulah, seluruh dunia selalu memperingati hari perempuan. 

Situasi hidup laki-laki dan perempuan yang secara struktural dikonstruksikan diametral (saling berlawanan); atas-bawah, menguasai-dikuasai, menindas-tertindas, publik-domestik, didengarkan-mendengarkan,  terdidik-bodoh, menjadikan kehidupan tidak seimbang. Laki-laki selalu di atas dan perempuan dilanggengkan di bawah. Keresahan seperti ini diperparah dengan kenyataan kaum laki-laki yang selalu melecut keserakahan dengan peperangan yang menyebabkan banyak korban, baik sesama laki-laki, perempuan, maupun anak. Bagi akivis perempuan, dunia  tidak akan pernah adil dan damai bila tidak menempatkan kaum perempuan secara fair (adil).



Tahun 2010 ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menetapkan tema hari perempuan ”Equal Rights, Equal Opportunities: Progress for All” (Kesetaraan Hak, Kesetaraan Kesempatan: Kemajuan untuk Semua). Tema ini sebenarnya menegaskan kembali bahwa  dalam hukum internasional, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan yang lainnya untuk membangun dunia yang adil, damai, dan sejahtera. Setiap negara yang telah melakukan ratifikasi terhadap Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), mestinya konsisten membuat perundang-undangan dan segala perangkat aplikasinya untuk terwujudnya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dengan memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi perempuan, kemajuan dunia untuk semua baru menjadi mungkin. Pendek kata, tema hari perempuan ini adalah momentum kaum perempuan menagih janji pemimpin dunia, ”mana hak, mana kesempatan, dan mana kemajuan yang kau janjikan bagi perempuan?”

Beragam gelaran dilakukan para aktivis menyambut hari perempuan, mulai dari aksi massa, seminar, kajian, testimoni, pers rilis, hingga mendesak para pemimpin negara agar memiliki komitmen yang tegas untuk mewujudkan kesetaraan bagi kaum perempuan. Desakan yang  terus dilakukan para aktivis menunjukkan bahwa masih ada jurang ketimpangan untuk hidup yang adil.

Dalam konteks keindonesiaan, pernyataan Menteri  Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari pada Desember 2009 sangat menarik.  Menurut dia, meskipun Indonesia telah memiliki UUD 1945 dan berbagai instrumen hukum seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT),  tetapi banyak kekerasan dan diskriminasi  terhadap perempuan dalam hidup sehari-hari. Diskriminasi terhadap perempuan berlangsung dalam semua bidang, politik, ekonomi, sosial, publik, hingga keluarga. Seakan gerah dengan kenyataan, Linda menegaskan Indonesia sudah 25 tahun meratifikasi CEDAW, konsekuensinya Indonesia harus menjamin terwujudnya kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan.

Namun, hari ini, saudara kita sesama rakyat Indonesia pilu;  beribu buruh migran meradang, penculikan dan perdagangan perempuan dan anak terus mengancam, berjuta perempuan tak mampu sekolah, buta huruf, dan hidup miskin. Berjuta perempuan bekerja dengan gaji yang tidak adil, hanya ada beberapa gelintir perempuan di legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Hari ini, 8 Maret 2010, perempuan Indonesia dan perempuan seluruh dunia menuntut tanggung jawab para pemimpin untuk memberikan kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian.   

Sebagai seorang menteri, Linda Amalia Sari telah menyadari bahwa komitmen CEDAW masih banyak yang belum teraplikasikan di Indonesia. Kesadaran dan pengakuan (apalagi oleh pejabat) ini penting sehingga semua pemangku kepentingan tinggal bergandengan tangan, mengeratkan jaringan, menguatkan lobi politik, dan mengawal dalam praktik keseharian. Harapannya, akselerasi untuk terwujudnya keadilan kesetaraan gender dan tumbangnya diskriminasi dapat lebih masif dan merata.

Perempuan bangkit! Menuntut  keadilan untuk perdamaian. Kita tak akan ada tanpa ada perempuan. Kita semua dari kaum perempuan, sungguh tak beretika bila kita menistakannya. Selamat hari perempuan. Selamat berjuang untuk peradaban dan kemanusiaan.***

Penulis, aktivis gerakan perempuan di  Fahmina-institute, staf pengajar Fakultas Tarbiyah, dan Deputi Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 08 maret 2010