07 Maret 2010

» Home » Republika » Penanganan Longsor

Penanganan Longsor

Herry Hermawan
(Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta)

Seiring dengan tingginya curah hujan saat ini, selain menimbulkan banjir, peristiwa longsor pun kerap terjadi. Pada 2010 saja tercatat 33 kejadian longsor di Indonesia, 21 di antaranya terjadi di Jawa Barat. Oleh sebab itu, Jawa Barat diposisikan pada peringkat pertama daerah yang dilanda longsor. Diperkirakan, pada Maret 2010 hujan masih akan terjadi.

Hasil pemetaan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, yang dirilis pada 10 September 2008, menunjukkan adanya 33 titik rawan longsor di Jawa Barat. Bahkan, pada 2008 terjadi bencana longsor di Kabupaten Cianjur yang menewaskan 15 orang. Jawa Barat memang dikategorikan sebagai provinsi yang memiliki daerah longsor terbanyak di Indonesia.

Secara alamiah longsor diakibatkan oleh banyaknya lereng yang curam karena banyaknya daerah pegunungan. Selain itu, kondisi tanah yang rentan pun dapat menimbulkan longsor. Pada musim penghujan, rekahan-rekahan pada lapisan tanah akibat musim kemarau yang panjang akan terisi oleh air hujan sehingga terjadi penggemburan tanah. Jika fenomena ini terjadi pada lereng yang curam, besar kemungkinan akan menimbulkan longsor.

Bencana longsor juga dapat disebabkan oleh rusaknya hutan akibat tata guna lahan yang tidak terkendali. Ada dua hal utama penyebab kerusakan hutan, yaitu penebangan dan kebakaran. Penebangan hutan, baik yang dimaksudkan sebagai eksploitasi sumber daya hutan maupun sebagai pengembangan kawasan permukiman di pedesaan, sering menimbulkan degradasi tanah dan berkurangnya areal hutan yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan keragaman hayati.

Kusnaka Adimihardja (2005) mencatat, pada 1989 saja di Indonesia telah terjadi kerusakan sekitar 1,32 juta hektare, dengan rincian 367,7 ribu hektare di Sumatra; 610,9 ribu hektare di Kalimantan; 117,5 ribu hektare di Sulawesi; 24,3 ribu hektare di Maluku; 163,7 ribu hektare di Papua; 14,5 ribu hektare di Nusa Tenggara; dan 16,1 ribu hektare di Jawa. Di Jawa Barat, misalnya, 90 persen dari total luas hutannya rusak parah. Secara fisik, hanya berupa tanah kosong yang tidak lagi berfungsi sebagai hutan.

Bahkan dalam skala negara, Indonesia tercatat sebagai negara yang laju kerusakan hutannya tertinggi. Menurut Tacconi (2003), setiap tahunnya, Indonesia kehilangan 3,8 juta hektare hutan. Selain itu, kebakaran hutan juga menjadi salah satu penyumbang terbesar hilangnya hutan. Pada 1997/1998 saja, Indonesia telah kehilangan hutan seluas 9,75 juta hektare dan merupakan kebakaran hutan terhebat di dunia.

Dari angka-angka tersebut, tampak adanya percepatan dan perluasan kerusakan hutan di Indonesia. Agaknya penjarahan dan perluasan tanaman industri, perkebunan, pertambangan, permukiman, dan kebakaran hutan telah menjadi penyumbang terbesar hilangnya setengah luas hutan hujan tropis di Indonesia secara keseluruhan, dan bersamaan dengan itu musnah pula berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Indonesia yang pernah dikenal sebagai negara megabiodiversity terbesar di dunia, dengan keragaman hayatinya yang melimpah, agaknya sekarang hanya tingal kenangan.

Kerusakan hutan ini juga berakibat terjadinya erosi, sehingga lahan (soil) tidak bisa melakukan fungsinya sebagai unsur produksi media pengatur tata air (hidrologik) dan media perlindungan alam lingkungan (ekologik). Hasil pengolahan manusia yang keliru telah menghancurkan dan menghanyutkan 10 cm lapisan lahan yang subur hanya dalam waktu 35 tahun, padahal alam memerlukan waktu 1200 tahun untuk menghasilkan secara alamiah lapisan lahan setinggi 10 cm tersebut.

Dalam menangani masalah longsor ini, tentu saja, pemerintah setempat harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat, terutama yang berada di titik-titik rawan longsor tersebut. Dalam sosialisasi perlu disampaikan materi-materi mengenai pencegahan terjadinya longsor, kewaspadaan, evakuasi jika terjadi longsor, dan rehabilitasi. Oleh karena itu, sosialisasi menjadi hal yang penting dan genting dalam pencegahan dan penanganan longsor.

Sosialisasi mengenai pencegahan dan penanganan bencana longsor ini dapat berjalan efektif, jika di dalam diri masyarakat terdapat keinginan yang kuat untuk secara bersama-sama meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh longsor.

Dengan demikian, sosialisasi akan efektif jika masyarakat turut dilibatkan. Masyarakat sendiri akan terlibat secara aktif jika mereka dipahami atau dilihat sebagai subjek bukan sebagai objek. Oleh sebab itu, pemerintah setempat perlu melakukan kerja sama dengan semua pihak, termasuk para tokoh masyarakat setempat, baik tokoh agama maupun tokoh adat.

Sejauh ini, kasus longsor ini lebih banyak dilihat dari sudut pandang pemerintah. Dalam menyosialisasikan pencegahan dan penanganan bencana longsor, pemerintah tidak pernah melihat bencana longsor dari perspektif masyarakat, dari nilai-nilai tradisi dan adaptasi masyarakat dengan nilai-nilai dari luar. Masyarakat hanya diharapkan menerima apa saja yang dianggap baik oleh pemerintah. Masyarakat pun tidak pernah belajar untuk berpartisipasi aktif karena kemandiriannya tidak dijaga. Akhirnya, masyarakat akan selalu menjadi sosok yang pasif dan tidak kreatif karena tidak pernah dilibatkan untuk memecahkan setiap masalah yang dihadapinya.

Kesadaran masyarakat akan timbul, jika mereka selain merasakan manfaatnya juga mempunyai rasa memiliki. Sadar bahwa sesuatu yang dikerjakannya itu akan bermanfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain. Artinya, setiap pemberdayaan masyarakat harus didasarkan pada nilai-nilai dasar yang tumbuh di dalam masyarakat tersebut.

Oleh sebab itu, setiap bentuk sosialisasi pencegahan dan penanganan bencana longsor harus melibatkan sistem pengetahuan lokal. Di sini berbagai bentuk pengetahuan lokal perlu dipahami, dihargai, dan dijadikan pedoman utama dalam kehidupan masyarakat. Tanpa memahami sistem pengetahuan masyarakat lokal terhadap bencana longsor, sosialisasi pencegahan dan penanganan bencana tersebut tidak akan efektif.

Opini Republika 6 Maret 2009