SEJUMLAH mahasiswa membentangkan poster menuntut pencabutan izin produksi dan distribusi minuman keras (miras) saat berdemonstrasi di DPRD Kota Bandung, Jumat (5/2) lalu.* ANDRI GURNITA/"PR"
Semua elemen masyarakat menyambut baik pembentukan peraturan daerah minuman beralkohol Kota Bandung. Apalagi Insiden Babakansari Kiaracondong yang merenggut nyawa lima orang akibat pesta minumunan beralkohol menjadi catatan tersendiri di kalangan elite dan tokoh masyarakat di Kota Bandung. Hanya saja, tentang isinya, belum seluruhnya disepakati.
Sebagian mengingingkan perda tersebut mengharamkan minuman beralkohol. Sebagian lagi menginginkan perda itu lebih berfungsi sebagai regulasi untuk penertiban dan pengendalian yang artinya memperbolehkan minuman beralkohol beredar secara terbatas di Kota Bandung.
Sebagian mengingingkan perda tersebut mengharamkan minuman beralkohol. Sebagian lagi menginginkan perda itu lebih berfungsi sebagai regulasi untuk penertiban dan pengendalian yang artinya memperbolehkan minuman beralkohol beredar secara terbatas di Kota Bandung.
Bisa dibilang, munculnya kepentingan berseberangan tersebut berakar dari konsep Kota Bandung sebagai kota agamis yang saat ini dihadapkan dengan Kota Bandung sebagai tujuan wisata, termasuk di dalamnya hiburan.
Sebagai tujuan wisata, Kota Bandung mempunyai 21 hotel bintang tiga, 11 hotel bintang empat, dan 5 hotel bintang lima (data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia/PHRI Kota Bandung).
Selain hotel, fasilitas hiburan seperti klub, diskotek, dan karaoke pun telah lama berdiri di ibu kota Provinsi Jawa Barat ini. Jumlahnya, berdasarkan data dari Himpunan Pengusaha Pariwisata Hiburan Indonesia (Hiphi) Kota Bandung adalah sekitar 200 fasilitas tersebut.
Masalahnya bukan kepada jumlah, tetapi hotel dan tempat hiburan tadi sudah terbiasa ”menjamu” para tamu dengan minuman beralkohol. Meskipun tidak semua tamu membelinya, minuman tersebut selalu tersedia.
Dalam hitungan kasar, menurut Ketua PHRI Kota Bandung Momon Abdurochman, jumlah pembeli minuman beralkohol berkisar lima persen dari jumlah penginap. Itu pun biasanya wisatawan mancanegara, meskipun tidak dimungkiri ada orang-orang lokal atau wisatawan domestik.
Untuk hotel berbintang tiga, empat, dan lima, rata-rata tingkat hunian (okupansi) mencapai 85 persen per bulan dengan jumlah kamar di atas seratus unit. ”Untuk angka pasti pengunjung hotel kami memang tidak punya,” katanya.
Lebih jauh, dia mengatakan, minuman tersebut berizin. Izin penjualan tempat minuman beralkohol (IPTMB) telah diperoleh bersamaan dengan izin usaha hotel berbintang tiga, empat, dan lima.
Dalam branding hotel, minuman beralkohol tetap dipandang mempertinggi brand hotel, terutama dilihat dari kelengkapan fasilitas. ”Oleh karena itu, diharapkan perda mengakomodasi itu. Sementara untuk orang muslim, kembalikan kepada individunya karena di agama sudah dilarang,” ujar Momon.
Ketua Hiphi Kota Bandung Barli Iskandar menambahkan, berfungsinya perda sebagai penertib juga akan memberantas penjualan minuman beralkohol dalam skala kecil, terutama di warung-warung.
Sementara untuk pengusaha hiburan, perda minuman beralkohol memang akan membuat usaha berjalan lebih aman dan nyaman, karena pada kenyataannya, menurut Barli, selama ini tanpa pengaturan yang jelas sekitar 30 dari 100 tempat hiburan yang menyediakan minuman beralkohol di-sweeping setiap tahunnya.
Berdasarkan narasumber yang tidak mau disebutkan namanya, untuk menebus minuman beralkohol setiap kali terkena sweeping pengusaha harus mengeluarkan sekitar Rp 10 juta. Masing-masing diberikan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), bea cukai, dan kepolisian. ”Kepolisian biasanya lebih banyak mintanya,” ujar sumber tersebut.
Tebusan itu memungkinkan karena sweeping yang lebih didasarkan kepada Perda K3 (Keindahan, Kebersihan, dan Ketertiban), pada akhirnya tidak bisa memberikan alasan tegas perampasan minuman beralkohol.
Kondisi seperti itu pula yang akhirnya membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung tidak mengharamkan sepenuhnya minuman beralkohol, tetapi membuat perkecualian. Usulan dari MUI Kota Bandung di antaranya adalah diperbolehkan hanya untuk orang non-Muslim, kata minuman beralkohol diganti dengan minuman yang memabukkan agar mencakup minuman oplosan, dan dijual di hotel bintang lima saja.
Tidak rasional
Namun, kembali ke konsep Kota Bandung sebagai kota agamis, perda minuman beralkohol dengan pengecualian, menurut Ketua Tim Kajian Raperda Minuman Beralkohol Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Luthfi Afandi justru akan membuka peluang bagi semua umat, khususnya Islam untuk tetap mengonsumsinya.
”Lagipula, bagaimana mau agamis kalau sumber pendanaan untuk pembangunan saja dari hal haram,” tuturnya.
Alasan tamu asing, menurut dia, tidaklah rasional. Jika mau berpikir rasional, kedatangan tamu asing ke Kota Bandung bukanlah untuk menikmati minuman beralkohol. Lagipula sebagai tuan rumah seharusnya Pemkot Bandung tidak harus pusing menyesuaikan diri dengan tamunya. Justru tamunyalah yang seharusnya menyesuaikan diri dengan kebijakan Kota Bandung.
”Jika memang digolkan, unsur kompromi sangat terlihat. Artinya ini hanya sebagai upaya legalitas dan mengamankan retribusi untuk pemerintah kota,” katanya.
Terlepas dari polemik itu, adanya perda soal minuman beralkohol tampaknya mendesak segera dituntaskan. Hanya bagaimana formulasi isinya, terutama terhadap pasal-pasal yang kontroversi dan menimbulkan polemik, tentu yang diharapkan ada solusi jalan tengah yang menguntungkan semua pihak sekaligus menegaskan Kota Bandung sebagai kota agamis dan tujuan wisata. (Amaliya/”PR”)***
Opini Pikiran Rakyat 08 maret 2010