RENCANA kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama kini  menjadi pembicaraan utama di tanah air, seusai hiruk pikuk Pansus Bank  Century. Yang menjadi pertanyaan adalah, selain ingin bernostalgia  sambil makan bakso dan nasi goreng bersama keluarga di Indonesia dan  kawan-kawan lama di SDN 01 Menteng, apakah Obama akan berpidato di depan  publik di Jakarta?
Obama berharap bisa berpidato  di depan publik Jakarta saat berkunjung ke Indonesia pada 21-23 Maret  2010, seperti pidato bersejarah Obama di Berlin, Jerman (Juli 2008) atau  di Kairo, Mesir (Juni 2009). Keinginan Obama itu disampaikan Wakil Duta  Besar AS Ted Osius saat bertemu Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI  Irman Gusman di  Jakarta (17/2/10).  Lapangan  Monas dan Stadion Gelora  Bung Karno diperkirakan menjadi tempat Obama menyampaikan pidato di  depan massa dalam jumlah besar.
Obama berpidato di  Jakarta atau tidak, yang jelas kedatangannya menunjukkan bahwa dirinya  dan Indonesia tak bisa dipisahkan begitu saja. Kunjungan Obama  akan  menjadi sebuah babak baru hubungan Indonesia dan Amerika Serikat.  Kunjungan tersebut, yang akan tercatat sebagai kunjungan terlama seorang  presiden AS di Indonesia, merupakan pengakuan penting terhadap  keberadaan Indonesia bagi AS.
Kedekatan emosional  antara Obama dan Indonesia seharusnya dapat dimanfaatkan untuk  meningkatkan hubungan kerja sama Indonesia-AS. Menurut Conway Henderson  dalam buku International Relations: Conflict and Cooperation in The  Turn of 21th Century (1998), ada urgensi peran individu dalam  hubungan antarbangsa. Sebagai pribadi Obama menjadi sosok penting karena  perannya sebagai public actor yang mewakili dan memimpin  negara  superpower  di satu sisi serta sebagai private actor yang  merefleksikan simbol moral (moral cause). 
Kekaguman  sebagian masyarakat Indonesia kepada sosok Obama memang hal yang wajar,  terutama melihat masa kecilnya di Jakarta dan kepiawaiannya berpidato.  Setiap kalimat yang muncul dari mulut Obama selalu padat dan bernas.  Pilihan katanya sangat tepat mewakili perasaan publik yang hadir dalam  rapat-rapat akbar. Kecerdasan Obama terpantul dari pidato-pidatonya yang  lancar tanpa pengulangan walaupun tanpa teks. Intonasi dan nada  suaranya lembut dan merangkul. Perspektif Obama dalam memandang  persoalan begitu bijak, menenangkan, namun jelas dan tegas apa yang  diinginkannya. 
Dan, yang paling penting,  paradigma yang dia bawa merupakan solusi dari persoalan negaranya dan  dunia yang sedang sakit. Karena itu, dia mengusung slogan Change  atau perubahan. Bukan sekadar mengubah kebijakan, tapi mengubah  paradigma. Apakah hal itu semua dapat langsung didengar para pengagum  Obama di Indonesia?
Kalaupun Obama tak berpidato  secara khusus di Jakarta, Indonesia tetap menjadi negara yang penting  bagi Amerika. Bukan karena memiliki latar belakang historis dengan  Obama, tapi seperti yang dikatakan Juru Bicara Gedung Putih Robert  Gibbs, Indonesia menjadi penting karena kini merupakan negara demokrasi  ketiga terbesar di dunia. Demokrasi menjadi suatu budaya baru yang  berkembang di dalam masyarakat  mayoritas muslim yang  juga menjunjung  pluralisme dan inklusivitas.
Kalangan aktivis  prodemokrasi juga berharap bisa langsung berdialog dengan Obama saat  berkunjung di Jakarta, tak terkecuali aktivis KASUM (Komite Aksi  Solidaritas untuk Munir). Sebulan sebelum bertolak ke Jakarta, Presiden  Obama menerima sejumlah masukan dari pegiat hak asasi manusia (HAM) asal  Indonesia. Obama mendapat saran agar memberikan perhatian atas kasus  pembunuhan aktivis HAM Munir, yang masih mandek, dan juga bertemu  kalangan pegiat HAM di Indonesia. Permintaan itu disampaikan Rafendi  Djamin, direktur eksekutif HRWG (Human Rights Working Groups), yang juga  anggota KASUM. Bersama para pegiat HAM dari sejumlah negara, Rafendi  diundang ke Gedung Putih untuk membahas isu-isu HAM di mancanegara.
Rafendi yang juga komisioner Komisi HAM ASEAN itu meminta  Obama  membangun kemitraan yang lebih kuat dan baik dengan Indonesia  dengan mendorong reformasi internal Indonesia. Dan, kasus Munir menjadi  salah satu indikator keberhasilan reformasi internal tersebut. Selain  kasus Munir, Rafendi menyampaikan permintaan agar Obama bisa bertemu civil  society Indonesia ketika berkunjung ke tanah air. Dari pertemuan  itu, Obama bisa mendapatkan informasi berimbang dan mendapatkan  substansi yang tepat ketika membangun kemitraan berbasis HAM dan  demokrasi dengan Indonesia. 
Memberi Inspirasi   
Kita sepakat bahwa Obama adalah presiden Amerika  yang tentu saja akan bekerja untuk kepentingan rakyat Amerika yang  memilihnya. Dalam sejarah Amerika, politik luar negeri Paman Sam itu tak  banyak berubah dari waktu ke waktu. Hanya gayanya yang sedikit berubah,  bergantung apakah orang Partai Demokrat atau Partai Republik yang  berkuasa di Gedung Putih. Karena itu, berharap terlalu banyak kepada  Obama agar memberikan banyak keuntungan untuk Indonesia, sangatlah  kurang pada tempatnya. 
Gaya dan pendekatan saat  Obama berkuasa jelas berbeda secara fundamental, karena plebih  menekankan rinsip multilateral. Namun, secara prioritas tidak akan ada  perubahan dramatis. Secara spesifik mengenai Asia, kebijakan luar negeri  Amerika  tetap pula didominasi isu-isu klasik, seperti berkembangnya  China sebagai sebuah kekuatan ekonomi dan militer, penyelesaian isu  program nuklir Korea Utara dan Iran, instabilitas di Pakistan dan  Afghanistan, serta berkembangnya India sebagai kekuatan ekonomi. Amerika  juga tetap akan mempertahankan hubungan dengan sekutu-sekutu  tradisionalnya di Asia Pasifik, yaitu Jepang, Korea Selatan, dan  Australia.
Bahwa di bawah Obama wajah Amerika  tidak sesangar dulu kita akui. Bahwa Amerika kini lebih friendly  dengan dunia Islam, banyak yang sepakat. Bahwa Amerika kian rajin  menyeru pentingnya pencegahan pemanasan global tak ada yang membantah.  Namun, ketika ditanyakan tentang apa keuntungan Indonesia saat Obama  berkuasa, tak ada jawaban yang memuaskan. Obama sejauh ini belum  mempunyai kebijakan khusus untuk Indonesia. Yang ada hanya keinginan  Obama bernostalgia di Jakarta dan pelesir di Bali sambil menikmati  bakso, rambutan, dan nasi goreng. 
Namun,  masyarakat Indonesia tetap bisa belajar dari kisah sukses Obama dan  pidato-pidato yang mengguncang dunia. Kisah hidupnya bisa menginspirasi  ''Obama-Obama''  Indonesia yang datang dari berbagai latar belakang yang  beragam untuk berani tampil menjadi calon presiden Republik Indonesia.  Pengalaman Obama yang menabrak mitos presiden Amerika harus WASP (white,  Anglo Saxon, and Protestan) patut dicontoh. Presiden Indonesia tak  harus dari suku Jawa, agama Islam dan dari kalangan militer. Semua orang  dari mana pun suku, agama, dan profesi, mempunyai kesempatan yang sama  untuk menjadi presiden RI. 
*)         Tri Agus S. Siswowiharjo,       alumnus Magister Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Menulis  buku Obama Bicara: Sepuluh Pidato Obama yang Mengguncang Dunia, tinggal  di Jogjakarta.
Opini Jawa Pos 8 Maret 2010
07 Maret 2010
Menunggu Obama di Jakarta
Thank You!