PASTI banyak di antara kita yang tidak tidak meragukan lagi kompetensi Boediono dan Sri Mulyani Indrawati di bidang ekonomi moneter. Keandalan mereka tidak hanya diakui di dalam negeri, pihak asing pun juga mengakui hal sama.
Dalam jabatan-jabatan Boediono sebelumnya, stabilitas ekonomi negara relatif terjaga. Sementara, Sri Mulyani, menurut Majalah Forbes, menempati peringkat 71 dalam daftar 100 Tokoh Perempuan Berpengaruh di Dunia. Namun kini, seusai rapat paripurna DPR, posisi mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono dan mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani berada di ujung tanduk (SM, 04/03/10).
Sebagaimana diberitakan, 325 anggota DPR menganggap kebijakan pemberian FPJP dan PMS kepada Bank Century serta pelaksanaannya ber-masalah. Hanya 212 suara yang beranggapan kebijakan dan pelaksanaan pemberian FPJP dan PMS sudah tepat untuk menyelamatkan perekonomian nasional. Tudingan keterlibatan Boediono dan Sri Mulyani sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini jauh-jauh hari sudah berhembus. Dalam demonstrasi-demonstrasi di awal pengusutan kasus Century, kritikan-kritikan yang bernada hujatan sudah bermunculan. Dalam rapat-rapat Pansus Hak Angket DPR, nama mereka sering disebut. Beberapa fraksi (PDIP, Golkar, PKS, dan Hanura) bahkan secara eksplisit menyebut nama mereka dan nama lain yang diduga terlibat dalam pandangan akhir fraksi.
Gencarnya berbagai kalangan yang menyudutkan posisi Boediono dan Sri Mulyani bisa jadi bukan hanya dikarenakan oleh dugaan keterlibatan mereka dalam skandal kasus Century. Tanggung jawab mereka dalam kasus Century memang pemicu utama, namun ada faktor lain yang diperkirakan ikut menjadi ”kayu bakar” sehingga upaya sejumlah kalangan untuk membidik Boediono dan Sri Mulyani semakin kuat.
Beberapa faktor tersebut, pertama, keterkaitannya dalam mendelegitimasi kekuasaan. Posisi Boediono dan Sri Mulyani yang sekarang menjabat Wapres dan Menteri Keuangan harus diakui merupakan jabatan strategis dalam pemerintahan.
Menggiurkan Di sisi lain, pemberitaan kasus Century sudah demikian meluas sehingga kasus ini menjadi komoditas politik yang menggiurkan. Dengan berkembangnya opini publik yang menempatkan kasus Century sebagai suatu bentuk penyimpangan, maka mereka yang berada di belakangnya juga dianggap sebagai pihak yang salah, termasuk pemerintahan SBY.
Bagi lawan politik SBY (Partai Demokrat dan mitra koalisinya), kasus Century adalah ”berkah” untuk mendongkrak popularitas mereka di mata publik. Sebaliknya, bagi kubu SBY, kasus Century berpotensi menurunkan popularitas dan legitimasi sebagai pemegang kekuasaan.
Hal ini amat mungkin memengaruhi kubu SBY dalam pemilu, pilpres, atau pilkada mendatang jika mereka tidak segera mengelola citranya yang merosot akibat kasus Century. Kedua, ketiadaan backing politik. Babak belurnya Boediono dan Sri Mulyani salah satunya juga disinyalir disebabkan mereka tidak mempunyai dukungan dari partai politik yang kuat.
Profesional Sebagai pejabat publik yang beranjak dari unsur profesional mereka tidak memiliki backing kuat dalam menghadapi gempuran dan tekanan politik. Parpol lawan bisa dengan leluasanya menjadikan Boediono dan Sri Mulyani bulan-bulanan kasus Century.
Dukungan dari kalangan profesional (bankir misalnya) belum mampu melindungi mereka. Kalangan akademisi yang merupakan habitat awal Boediono dan Sri Mulyani, sepertinya tidak terlihat di belakang mereka. Para mahasiswa justru mengambil posisi berhadap-hadapan dengan mereka saat berdemo.
Ketiga, penolakan terhadap kekuatan neoliberal. Kelompok anti neoliberal mungkin menemukan momentum emas untuk menyerang kekuatan neolib ketika kasus Century mencuat menjadi isu nasional. Bagaimanapun juga, pandangan publik melihat kasus Century merupakan kegagalan dari neoliberalisme. Sementara Boediono dan Sri Mulyani sering disimbolkan berada di balik paham neolib tersebut.
Kekuatan antineoliberal yang menolak Boediono dan Sri Mulyani bisa dibaca sejak menjelang pilpres dan penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II lalu. Bagi kekuatan antineoliberal, masuknya nama Boediono dalam bursa calon wapres maupun Sri Mulyani dalam komposisi KIB II seakan telah menegaskan pemerintahan SBY-Boediono mengusung paham neoliberal, sehingga harus dilawan.
Selain ketiga hal itu, diduga masih terdapat kekuatan-kekuatan lain yang membonceng kasus Century untuk melengserkan Boediono dan Sri Mulyani demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Penumpang gelap (free rider) itu bisa berasal dari manapun. Antara lain dari mereka yang selama ini merasa tidak diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan Boediono dan Sri Mulyani. Dengan kedua tokoh nasional tersebut mereka berharap ada perubahan-perubahan kebijakan.
Penumpang gelap lain ialah mereka yang menginginkan adanya kocok ulang wapres dan kabinet. Turunnya wakil presiden dan anggota kabinet berarti ada kursi-kursi kosong untuk bisa diperebutkan.Dari catatan singkat tersebut, terlihat bahwa Boediono dan Sri Mulyani berada posisi tersudut. Mereka menempati mata rantai yang lemah dalam pemerintahan KIB II.
Posisinya amat tergantung Presiden SBY. Ketika SBY berkeinginan mempertahankan keduanya, maka usaha untuk menggusur mereka diyakini tidak mudah. Apabila memang Boediono dan Sri Mulyani akhirnya menjadi korban politik dari kasus Century, bukan berarti mereka pasti bersalah secara hukum. Karenanya, proses hukum dipandang perlu dalam rangka memberikan kepastian hukum dan keadilan atas kasus ini. (10)
— Didik G Suharto, dosen FISIP UNS
Wacana Suara Merdeka 6 Maret 2009
07 Maret 2010
» Home »
Suara Merdeka » Haruskah Boediono-Sri Mulyani...
Haruskah Boediono-Sri Mulyani...
Thank You!