Menyongsong peringatan Hari Perempuan Internasional  yang jatuh pada 8 Maret tahun ini, PBB mengeluarkan tema Kesetaraan hak,  kesetaraan kesempatan: Kemajuan bagi semua. Kesetaraan yang dimaksud  mencakup kepentingan ekonomi dan sosial bagi perempuan dan anak  perempuan. 
Di  Indonesia, merunut sejarah, usaha perempuan dalam mengorganisir diri  sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Nama Raden Ajeng Kartini  (1879-1904) misalnya, tak bisa dinafikan sebagai pejuang kesetaraan  perempuan. 
Sejarah juga mencatat bahwa pada tahun 1920, di  hampir setiap kota besar terdapat organisasi-organisasi perempuan  (minimal berbasis keagamaan) seperti Muhammadiyah yang mempunyai divisi  pendidikan perempuan, Aisyiyah. Perjuangan kaum perempuan ketika itu  banyak yang meliputi seputar persoalan-persoalan budaya dan sosial. 
Pada  tahun 1928, Kongres Perempuan Indonesia menghasilkan berbagai  organisasi perempuan seperti Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia,  Isteri Sedar. Organisasi-organisasi perempuan awal ini lebih memfokuskan  diri pada pendidikan dan peningkatan kesejahteraan perempuan. 
Perjuangan  lain yang menarik disimak adalah perjuangan hak untuk berpolitik bagi  perempuan. Pada bulan Juni 1938, organisasi perempuan, Isteri Indonesia,  memutuskan memperjuangkan perempuan sebagai anggota legislatif di  setiap kota.
Pada 6 Agustus 1939, para perempuan berdemonstrasi  memprotes diskriminasi perempuan di bidang politik. Aksi protes  berlanjut hingga pada tahun 1941 di mana anggota Dewan akhirnya menerima  pernyataan Mohammad Yamin untuk membolehkan perempuan mempunyai hak  untuk memilih. Perjuangan Kongres Perempuan Indonesia yang mempunyai  anggota 30 organisasi dan ribuan anggota tidak sia-sia.  Organisasi-organisasi ini pun yang turut mendukung pergerakan perjuangan  Indonesia merdeka.
Sejarah bergulir banyak catatan penting yang  telah digores oleh pergerakan perempuan Indonesia. Berbagai duka telah  dilalui di antaranya pengejaran, pemenjaraan dan pengeksekusian anggota  Gerwani di tahun-tahun 1966-an, sebuah organisasi yang dianggap pro  komunis hingga perkosaan ratusan perempuan etnis Tionghoa dalam  kerusuhan 1998 di Jakarta. 
Isu-isu lama seperti poligami pun  tidak kunjung selesai, pendidikan dan kesehatan perempuan terus hingga  kini sangat rendah. Selain itu, diskriminasi dan stereotyping terus  berlangsung di semua kebudayaan dan komunitas. Perkawinan paksa, praktik  honor killing (pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan atas  nama ”kehormatan” keluarga), kekejian seksual dan meningkatnya kegiatan  kriminal perdagangan perempuan dan anak perempuan.
Menurut data  Front Oposisi Rakyat Indonesia (Fori), setiap hari, 12 perempuan menjadi  korban kekerasan seksual, 48 perempuan meninggal terkait dengan  kehamilannya atau dua perempuan per jam, dan setiap empat hari, satu  perempuan bunuh diri (Kompas, 5/3).
Pemerintahan SBY justru sibuk  mengurus soal perempuan bersikap dan berpakaian, membiarkan pro-kontra  berkepanjangan mengenai peraturan dan perundangan yang bertendensi  mengontrol integritas tubuh dan ruang gerak perempuan.
Rezim ini,  menurut pandangan Fori, membiarkan kelompok-kelompok tertentu  memanfaatkan otonomi daerah membuat 154 peraturan daerah, 19 di tingkat  provinsi dan 143 di tingkat kabupaten, menjadi sarana pelembagaan  diskriminasi, kriminalisasi, dan politisasi tubuh perempuan (Maria  Hartiningsih, 2009).
Hal ini seturut Michel Foucault (dalam  Juliastuti, 1999) yang memunculkan studi analisis tentang kekuasaan yang  bekerja dalam tubuh. Analisis utamanya adalah adanya kekuatan mekanis  dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku,  seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah  dimekanisasikan. Ia mengatakan bahwa pada akhirnya tubuh adalah  instrumen negara. Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana  seorang tentara berdiri, gerak tubuh anak sekolah, bahkan model hubungan  seksual.
Foucault membuat kategori analisis. Pertama, Force  relations: kekuasaan dalam formasinya yang lokal dan global dalam hukum,  negara dan ideologi. Kedua, The body: anatomi dan perwujudan kekuasaan  dalam tingkah laku. Ketiga, The social body: perwujudan kolektif target  kekuasaan, tubuh sebagai ”spesies”.
Feminisme 
Politik  tubuh (bio-politics) dijalankan untuk mempertahankan bio-power.  Bio-power dipertahankan dengan metode pendisiplinan dan kontrol  regulatif. Dalam pendisiplinan tubuh dianggap sebagai mesin yang harus  dioptimalkan kapabilitasnya, dibuat berguna dan patuh. Kontrol regulatif  meliputi politik populasi, kelahiran dan kematian dan tingkat  kesehatan. Bio-power bertujuan untuk kesehatan, kesejahteraan dan  produktivitas. Dan ia didukung dengan normalisasi (penciptaan kategori  normal - tidak normal, praktik kekuasaan dalam pengetahuan) oleh wacana  ilmu pengetahuan modern, terutama kedokteran, psikiatri, psikologi dan  kriminologi.
Untuk mengimbanginya, feminisme menjadi alat yang  memiliki kepekaan dengan tingkat akurasi tinggi dalam melihat  bentuk-bentuk artikulasi simbolik, yang dianggap berpotensi  mendiskriminasi perempuan. Feminisme menjadi wilayah untuk selalu  mempertanyakan di mana saja kekuasaan tampil. Perempuan, menurut Helene  Cixous, seorang tokoh feminis Prancis, seharusnya dapat mengubah dunia  dengan cara mewacanakan apa yang dipikir dan dirasakannya agar tercipta  suara baru, dunia baru dan makna-makna baru. 
Oleh karenanya,  untuk menyikapi diskriminasi dengan memaknai gerakan emansipasi dan  feminisme yang sedang marak sebagai budaya tanding (counter culture)  secara proporsional dan kontekstual adalah keniscayaan di era global. 
Untuk  mewujudkannya, perlu upaya lebih besar untuk meningkatkan pemahaman  masyarakat tentang kesetaraan dan keadilan gender sehingga berbagai  ketimpangan akibat masalah struktural dan nilai-nilai sosial budaya,  yang telah lama ada dan berkembang dalam masyarakat dapat dikurangi.
Lelaki dan perempuan memang berbeda, tetapi secara substansial dan  policy, lelaki dan perempuan sama. Yang penting adalah bagaimana agar  perempuan nyaman menjalani fitrahnya yang memang berbeda dengan  laki-laki tanpa diskriminasi sehingga berhasil membuat konstruksi sosial  yang  harmonis.  - Oleh : Andriani Agustina Alumnus FISIP UNS,  bekerja di lembaga pemerintah di Jakarta
Opini Solo Pos 8 Maret 2009 
07 Maret 2010
Politik tubuh & kesetaraan perempuan
Thank You!