07 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Politik tubuh & kesetaraan perempuan

Politik tubuh & kesetaraan perempuan

Menyongsong peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret tahun ini, PBB mengeluarkan tema Kesetaraan hak, kesetaraan kesempatan: Kemajuan bagi semua. Kesetaraan yang dimaksud mencakup kepentingan ekonomi dan sosial bagi perempuan dan anak perempuan.
Di Indonesia, merunut sejarah, usaha perempuan dalam mengorganisir diri sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Nama Raden Ajeng Kartini (1879-1904) misalnya, tak bisa dinafikan sebagai pejuang kesetaraan perempuan.



Sejarah juga mencatat bahwa pada tahun 1920, di hampir setiap kota besar terdapat organisasi-organisasi perempuan (minimal berbasis keagamaan) seperti Muhammadiyah yang mempunyai divisi pendidikan perempuan, Aisyiyah. Perjuangan kaum perempuan ketika itu banyak yang meliputi seputar persoalan-persoalan budaya dan sosial.

Pada tahun 1928, Kongres Perempuan Indonesia menghasilkan berbagai organisasi perempuan seperti Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia, Isteri Sedar. Organisasi-organisasi perempuan awal ini lebih memfokuskan diri pada pendidikan dan peningkatan kesejahteraan perempuan.

Perjuangan lain yang menarik disimak adalah perjuangan hak untuk berpolitik bagi perempuan. Pada bulan Juni 1938, organisasi perempuan, Isteri Indonesia, memutuskan memperjuangkan perempuan sebagai anggota legislatif di setiap kota.

Pada 6 Agustus 1939, para perempuan berdemonstrasi memprotes diskriminasi perempuan di bidang politik. Aksi protes berlanjut hingga pada tahun 1941 di mana anggota Dewan akhirnya menerima pernyataan Mohammad Yamin untuk membolehkan perempuan mempunyai hak untuk memilih. Perjuangan Kongres Perempuan Indonesia yang mempunyai anggota 30 organisasi dan ribuan anggota tidak sia-sia. Organisasi-organisasi ini pun yang turut mendukung pergerakan perjuangan Indonesia merdeka.

Sejarah bergulir banyak catatan penting yang telah digores oleh pergerakan perempuan Indonesia. Berbagai duka telah dilalui di antaranya pengejaran, pemenjaraan dan pengeksekusian anggota Gerwani di tahun-tahun 1966-an, sebuah organisasi yang dianggap pro komunis hingga perkosaan ratusan perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan 1998 di Jakarta.

Isu-isu lama seperti poligami pun tidak kunjung selesai, pendidikan dan kesehatan perempuan terus hingga kini sangat rendah. Selain itu, diskriminasi dan stereotyping terus berlangsung di semua kebudayaan dan komunitas. Perkawinan paksa, praktik honor killing (pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan atas nama ”kehormatan” keluarga), kekejian seksual dan meningkatnya kegiatan kriminal perdagangan perempuan dan anak perempuan.

Menurut data Front Oposisi Rakyat Indonesia (Fori), setiap hari, 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, 48 perempuan meninggal terkait dengan kehamilannya atau dua perempuan per jam, dan setiap empat hari, satu perempuan bunuh diri (Kompas, 5/3).

Pemerintahan SBY justru sibuk mengurus soal perempuan bersikap dan berpakaian, membiarkan pro-kontra berkepanjangan mengenai peraturan dan perundangan yang bertendensi mengontrol integritas tubuh dan ruang gerak perempuan.

Rezim ini, menurut pandangan Fori, membiarkan kelompok-kelompok tertentu memanfaatkan otonomi daerah membuat 154 peraturan daerah, 19 di tingkat provinsi dan 143 di tingkat kabupaten, menjadi sarana pelembagaan diskriminasi, kriminalisasi, dan politisasi tubuh perempuan (Maria Hartiningsih, 2009).

Hal ini seturut Michel Foucault (dalam Juliastuti, 1999) yang memunculkan studi analisis tentang kekuasaan yang bekerja dalam tubuh. Analisis utamanya adalah adanya kekuatan mekanis dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku, seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah dimekanisasikan. Ia mengatakan bahwa pada akhirnya tubuh adalah instrumen negara. Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana seorang tentara berdiri, gerak tubuh anak sekolah, bahkan model hubungan seksual.

Foucault membuat kategori analisis. Pertama, Force relations: kekuasaan dalam formasinya yang lokal dan global dalam hukum, negara dan ideologi. Kedua, The body: anatomi dan perwujudan kekuasaan dalam tingkah laku. Ketiga, The social body: perwujudan kolektif target kekuasaan, tubuh sebagai ”spesies”.

Feminisme

Politik tubuh (bio-politics) dijalankan untuk mempertahankan bio-power. Bio-power dipertahankan dengan metode pendisiplinan dan kontrol regulatif. Dalam pendisiplinan tubuh dianggap sebagai mesin yang harus dioptimalkan kapabilitasnya, dibuat berguna dan patuh. Kontrol regulatif meliputi politik populasi, kelahiran dan kematian dan tingkat kesehatan. Bio-power bertujuan untuk kesehatan, kesejahteraan dan produktivitas. Dan ia didukung dengan normalisasi (penciptaan kategori normal - tidak normal, praktik kekuasaan dalam pengetahuan) oleh wacana ilmu pengetahuan modern, terutama kedokteran, psikiatri, psikologi dan kriminologi.

Untuk mengimbanginya, feminisme menjadi alat yang memiliki kepekaan dengan tingkat akurasi tinggi dalam melihat bentuk-bentuk artikulasi simbolik, yang dianggap berpotensi mendiskriminasi perempuan. Feminisme menjadi wilayah untuk selalu mempertanyakan di mana saja kekuasaan tampil. Perempuan, menurut Helene Cixous, seorang tokoh feminis Prancis, seharusnya dapat mengubah dunia dengan cara mewacanakan apa yang dipikir dan dirasakannya agar tercipta suara baru, dunia baru dan makna-makna baru.

Oleh karenanya, untuk menyikapi diskriminasi dengan memaknai gerakan emansipasi dan feminisme yang sedang marak sebagai budaya tanding (counter culture) secara proporsional dan kontekstual adalah keniscayaan di era global.

Untuk mewujudkannya, perlu upaya lebih besar untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesetaraan dan keadilan gender sehingga berbagai ketimpangan akibat masalah struktural dan nilai-nilai sosial budaya, yang telah lama ada dan berkembang dalam masyarakat dapat dikurangi.

Lelaki dan perempuan memang berbeda, tetapi secara substansial dan policy, lelaki dan perempuan sama. Yang penting adalah bagaimana agar perempuan nyaman menjalani fitrahnya yang memang berbeda dengan laki-laki tanpa diskriminasi sehingga berhasil membuat konstruksi sosial yang harmonis. - Oleh : Andriani Agustina Alumnus FISIP UNS, bekerja di lembaga pemerintah di Jakarta
Opini Solo Pos 8 Maret 2009