Ada banyak alasan bagi kita untuk mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti dikembangkan dan diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah. Setiap bentuk anomali perilaku anak-anak di sekolah, baik dalam bentuk tawuran antarsiswa, penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan perilaku seksual, hingga penistaan peran guru melalui Facebook, misalnya, selalu disikapi dengan pendekatan serbaformal, termasuk di antaranya usulan tentang perlunya membuat model kurikulum pengembangan pendidikan moral dan budi pekerti. Selain kurikulum, sepertinya tidak ada lagi cara lain untuk memperbaiki perilaku siswa menyimpang. Pertanyaannya adalah, kurikulum yang bagaimana lagi ingin kita buat untuk pendidikan moral dan budi pekerti di sekolah?
Para penggiat dan pemikir pendidikan sejak lama gundah tentang suasana pendidikan yang berlangsung di sekolah. Orang seperti Ivan Illich dan Paolo Freire bahkan mengkritik dengan pedas sekali bahwa sekolah telah menjadikan para siswa seperti robot karena kurangnya mereka dilatih untuk memberi respons kreatif.
Lebih hebat lagi bahkan keduanya juga menuduh sekolah telah memasung kebebasan, kreativitas, serta membunuh daya pikir anak. Sejak lama sistem sekolah lebih banyak menggunakan pendekatan kognitif, tetapi abai dalam menumbuhkan dan melatih aspek afektif dan psikomotorik siswa secara tajam.
Soal-soal (tes) di sekolah lebih banyak menuntut siswa untuk hanya menjawab benar dan salah, tetapi lalai dalam melakukan otokritik terhadap pelembagaan ujian meskipun saat ini, katanya, pemerintah telah memberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang seharusnya memberi ruang yang lebih banyak bagi guru dan siswa untuk mendesain pola pembelajarannya. Kenyataannya? Kurikulum masih sentralistik, terlalu banyak mengatur ini boleh dan itu tidak boleh, sehingga antara guru dan birokrasi pendidikan kita menjadi setali tiga uang; saling memengaruhi untuk menumbuhkan budaya kepatuhan tanpa inovasi yang berarti.
Kritik lain juga menyebutkan bahwa pendidikan dengan pola sekolah sama saja dengan industri yang bak sebuah mesin, memperlakukan anak-anak sebagai bahan baku yang siap dicetak menjadi orang yang hanya siap bekerja di pabrik. Karena lebih mementingkan aspek kognitif, sekolah sangat mendorong para siswa untuk menjadi manusia-manusia individualis yang lupa bahwa sesungguhnya mereka adalah makhluk sosial. Belajar seperti kompetisi untuk saling mengalahkan dan menyisihkan orang lain, sehingga menimbulkan banyak sekali labeling seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus, sekolah nasional dan sekolah internasional. Karena itu wajar jika orang seperti Ivan Illich dan Paulo Freire menganggap bahwa proses pendidikan di sekolah tak ubahnya seperti ladang tempat di mana para guru membunuh dan menindas potensi kemanusiaan siswa-siswi mereka. Dalam konteks ini, maka wajar jika sekarang kita disibukkan dengan rencana dan wacana untuk membuat model kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Phi Delta Kappa/Gallup Study tahun 2004, 73% responden setuju bahwa kelemahan mendasar pendidikan adalah jarangnya guru baik hati yang pro pada perasaan dan sikap/perilaku anak. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa jika karena kondisi terpaksa/mendesak seseorang harus berhenti dari profesinya sebagai seorang guru, jawaban yang paling banyak dipilih adalah karena alasan rendahnya gaji dan fasilitas (67%), kekakuan birokrasi (21%), kesulitan dalam menghadapi orang tua siswa (8%), dan alasan kondisi siswa (4%). Artinya, hanya 4% saja sebenarnya guru yang selalu memiliki keterikatan secara emosional terhadap siswa mereka (Rosanne Liesveld and Jo Ann Miller: 2005). Tetapi ketika ditanya kepada para orang tua dan guru tentang apa yang menyebabkan mereka kurang peduli terhadap siswa, 76% menjawab karena rata-rata siswa malas, tidak disiplin, dan bodoh.
Cerita dan fakta di atas menunjukkan bahwa keterikatan (engagement) secara psikologis atau emosional sesungguhnya musuh guru itu sendiri. Dalam konteks pendidikan di sekolah, jangan-jangan lebih banyak guru yang memberi PR daripada yang memeluk dan mencium siswanya di kelas. Jangan-jangan guru-guru kita memang benar seperti dugaan Paulo Freire, menganggap siswa-siswi mereka sebagai tahanan (prisoners) atau pekerja (employees) yang harus selalu ditekan untuk belajar dan belajar, tetapi bukan mendidik. Di sinilah sesungguhnya pembeda antara pengajar dan pendidik. Dibutuhkan guru dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena ikatan emosional yang lebih akan menyebabkan hubungan guru-siswa menjadi lebih akrab, dinamis, dan mudah membuat mereka memahami sekaligus mematuhi aturan yang ada.
Ahmad Baedowi
Opini Media Indonesia 08 Maret 2010