Tidak pernah terbayangkan oleh David T Hill, pengamat masalah Asia dari Australia, bahwa ia akan memerlukan waktu tiga dasawarsa untuk menyelesaikan dan menerbitkan biografi wartawan, sastrawan, dan budayawan Mochtar Lubis, yang memasuki ulang tahun ke-88 pada 7 Maret tahun ini. Buku ini, yang diterbitkan oleh penerbit Routledge di London dan New York menjelang ulang tahun ke-11 windu itu, bukanlah biografi pesanan almarhum dan tidak pula mendapat dukungannya.
Buku ini sarat dengan analisis kritis. Salah satu bagiannya malahan ditolak oleh subyek biografi sehingga penulisnya, yang sudah amat dekat dengan pendiri harian Indonesia Raya itu, merasa gelisah selama bertahun-tahun karena penolakan ini. Tidak terhindarkan lagi, David Hill lambat laun tiba pada sikap mengagumi subyek biografinya dan bahkan merasa perkembangan kehidupannya dipengaruhi oleh Mochtar Lubis. Dalam kedekatan persahabatan ini, Mochtar Lubis memberinya fotokopi naskah asli catatan hariannya ketika ditahan selama dua setengah bulan di tempat tahanan politik Nirbaya, di tepi tenggara Jakarta, pada Februari sampai April 1975.Catatan harian itu, dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, semula hanya diterbitkan dalam terjemahan bahasa Belanda, berjudul Kampdagboek, di Nederland pada 1979, empat tahun setelah ditulis. Naskah aslinya, Nirbaya—Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru, barulah diterbitkan di Jakarta lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu pada 2008. Inilah naskah yang diperoleh David Hill dari Mochtar Lubis. Pada tahun itu pula, penerbit buku ini, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, memprakarsai pemberian penghargaan tahunan, Mochtar Lubis Award, bagi sejumlah kategori karya jurnalistik yang terbaik.
Catatan harian di Nirbaya, yang judul aslinya dari Mochtar Lubis adalah Nirbaya—Sebuah Buku Harian dalam Tempat Tahanan, jauh lebih pendek daripada Catatan Subversif yang pertama kali diterbitkan pada 1980. Naskah ini mencatat pengalamannya dalam penjara dan tahanan rumah hampir terus-menerus selama lebih dari sembilan tahun pada masa Orde Lama, dari 22 Desember 1956 sampai 17 Mei 1966.
Pada masa Orde Baru dan Orde Lama memang biasa terjadi kesulitan menerbitkan buku-buku kritis di dalam negeri. Sering pula terjadi pelarangan buku, yang bahkan masih dapat terjadi sampai sekarang, pada masa Orde Reformasi—karena masih berlaku ”Penetapan Presiden tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum”—yang sudah berumur hampir setengah abad.
Novel Senja di Jakarta, misalnya, barulah dapat diterbitkan di Jakarta pada 1970, tujuh tahun sesudah terjemahannya, Twilight in Jakarta, lebih dulu diterbitkan di London dan beredar di seputar dunia pada awal 1963. Tahun berikutnya novel itu diterbitkan di Amerika Serikat dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Melayu di Kuala Lumpur pada tahun 1965.
Novel itu, karya fiksi Mochtar Lubis yang pertama diterjemahkan dalam bahasa Inggris, digambarkan oleh penulis resensi Alan Nicholls dalam harian The Age (16 Maret 1963), surat kabar berpengaruh di Melbourne, Australia, sebagai ”novel penting yang pertama dari Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Inggris. Novel ini akan membangkitkan perhatian amat besar di mana pun novel ini dibaca”.
Akan tetapi, perselisihan pendirian antara subyek biografi dan penulisnya telah memberi hikmah. ”Bongkar pasang” penyusunan biografi ini selama 30 tahun akhirnya dapat menghadirkan kisah perjalanan panjang kehidupan Mochtar Lubis secara lengkap, sejak ia dilahirkan di Padang pada 7 Maret 1922 sampai saat meninggal di Jakarta pada 2 Juli 2004.
Pada awalnya, gagasan untuk menelusuri kehidupan pemimpin umum dan pemimpin redaksi Indonesia Raya itu merupakan proyek penulisan disertasi ketika David Hill menjadi mahasiswa doktoral pada Pusat Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia di Canberra sejak 1979. Ia memulai proyek ini sambil mengajar di Departemen Indonesia dan Melayu di Universitas Monash di Melbourne. Biografi yang dihasilkannya baru benar-benar selesai pada 2009 ketika mengajar pada Program Studi Asia di Universitas Murdoch di Perth.
Dua tahun lamanya, 1980 sampai 1982, ia melakukan riset di Indonesia tentang makna posisi Mochtar Lubis dalam pertarungan media pers serta pergolakan kebudayaan, sosial, dan politik di Indonesia selama setengah abad sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Tesis doktoralnya baru rampung enam tahun kemudian, Juli 1988, dengan judul ”Mochtar Lubis: Author, Editor, Political Actor”.
Ada perubahan pada judul biografi yang diterbitkan menjelang hari ulang tahun ”wartawan jihad” itu tahun ini: Journalism and Politics in Indonesia—A Critical Biography of Mochtar Lubis (1922-2004) as Editor and Author. Namun, esensi isinya tetap konstan dan penulisnya tak mundur dari pertentangan pendiriannya dengan subyek biografi. Perhatian penulisnya terutama dipusatkan kepada peranan Mochtar Lubis sebagai redaktur surat kabar dan wartawan selain ketenarannya sebagai pengarang dan tokoh kebudayaan. Akan tetapi, kata David Hill, ”Sadar atau tidak sadar, informasi yang dipilih tentu saja mencerminkan nilai-nilai, perspektif, dan asumsi saya sendiri.”
Mochtar Lubis adalah budaya- wan dan wartawan. Ia adalah sas- trawan, pengarang cerita anak- anak dan satir, kolumnis, pelukis, pematung, pembuat keramik, pencinta pelestarian alam, dan aktivis lingkungan hidup—untuk hanya menyebutkan beberapa di antara kegiatannya. Ia juga peminat, pengamat, dan penulis sejarah. David Hill menyebutnya pula sebagai aktor politik.
Mochtar Lubis bagaikan prisma, menurut David Hill. Melalui prisma ini, orang dapat mengamati berbagai lingkungan kehidupan sosial yang digaulinya: intelektual, artistik, jurnalistik, dan politik. Melalui prisma ini pula, orang juga dapat melihat perjalanan sejarah nasional selama masa hidup Mochtar Lubis.
Dalam masyarakat internasional ia adalah wartawan Indonesia yang paling dikenal. Untuk waktu lama, ia merupakan pengarang yang karyanya paling banyak diterjemahkan, sebelum kemudian mengalir terjemahan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. David Hill mengatakan, orang lain mungkin dapat melebihi pencapaiannya dalam satu bidang tertentu. Namun, sulit membayangkan bahwa ada seorang tokoh Indonesia yang lain yang mampu mengungguli keterkenalannya secara internasional dalam dua bidang sekaligus—kesusastraan dan kewartawanan.
David Hill menyebutkan beberapa kekurangan Mochtar Lubis dibandingkan dengan kekuatan atau kelebihan sejumlah wartawan, pemikir, seniman, tahanan politik, dan ”pembangun institusi” sezamannya, seperti Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Adnan Buyung Nasution, Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, atau Rendra. Walaupun demikian, ia berkesimpulan: ”Sebagai wartawan jihad (crusading journalist), Mochtar Lubis menunjukkan keberanian yang gigih, semangat moral yang berapi-api, dan tekad yang teguh.”
Dalam pengamatannya, Mochtar Lubis bagi para wartawan muda merupakan lambang yang berpengaruh, yang memiliki komitmen pada pandangan tertentu tentang apa yang harus dilakukan oleh profesi kewartawanan, yang mempertahankan prinsip-prinsipnya dan akan menanggung akibat-akibatnya. Apabila tidak dapat menerbitkan apa yang menurut keyakinannya perlu dikatakan, Mochtar Lubis akan menerima pembredelan surat kabarnya daripada berkompromi.
”Jurnalismenya yang langsung dan tanpa kompromi (direct, unyielding journalism) berakhir dengan kekalahan, baik pada 1950-an maupun pada 1970-an,” kata David Hill. Surat kabar yang dipimpinnya dibredel pada kedua masa pemerintahan oleh pemerintahan Presiden Soekarno (September 1958) dan pemerintahan Presiden Soeharto (Januari 1974). Ia ditahan pada masa Orde Lama dan juga pada masa Orde Baru tanpa diadili.
Akan tetapi, amatlah besar kekuatan ilham dari upaya (yang dilakukan Mochtar Lubis) itu karena sejumlah besar orang Indonesia, baik para wartawan maupun para pembaca surat kabar, tidak menyukai dan menolak alternatif lain, yaitu jurnalisme berhati-hati dan bermakna ganda (cautious and ambiguous journalism) yang selama beberapa dasawarsa mendominasi jurnalisme Indonesia.