Ketika berwisata ke luar negeri, ada satu hal yang saya lakukan: saya ingin melihat dan berfoto di depan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik Pertamina.
Sayangnya, saya tak pernah berhasil menemukan SPBU milik Pertamina terselip di antara deretan SPBU milik perusahaan asing seperti Shell (Belanda) dan Petronas (Malaysia). Sebaliknya, ketika kita keliling Jakarta, kita bisa dengan mudah menemukan SPBU milik Shell atau Petronas terselip di antara SPBU milik Pertamina yang mendominasi pasar.
Melihat anomali ini, terbetik di benak saya: Mengapa Pertamina seolah hanya menjadi jago di kandang sendiri? Sementara, ketika harus bertanding di kandang lawan, Pertamina justru keok? Mungkinkah mengembalikan kembali kejayaan Pertamina? Bahkan, dibandingkan perusahaan minyak milik Malaysia, Pertamina tertinggal jauh.
Dalam pelantikan jajaran direksi baru Pertamina pada 19 Februari 2009 lalu, Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan sempat melontarkan kejengkelannya atas sikap under estimate masyarakat terhadap perusahaan pelat merah yang dipimpinnya dan hobi masyarakat membandingkan Pertamina dengan Petronas. Dalam acara yang digelar di kantor pusat Pertamina tersebut, Karen mengatakan Pertamina bisa lebih besar dibandingkan perusahaan minyak milik Malaysia, Petronas. Karen juga mengatakan bila Pertamina diminta mengurus Petronas, maka Petronas bisa lebih maju dari sekarang (detikcom 19/2). Wow!
Saya bisa memaklumi bila Karen sampai mengeluarkan statement seperti itu. Karena, saat ini, memang banyak di antara kita memandang rendah Pertamina. Kita (termasuk saya) selalu menyesalkan mengapa Pertamina yang pernah menjadi guru dari perusahaan Migas asal negeri jiran itu, kini justru tertinggal jauh dari muridnya. Petronas yang lebih muda dari Pertamina mampu menduduki peringkat 18 (tahun 2006) dan naik ke peringkat 17 (tahun 2007) dari Petroleum Intelligent Weekly (PIW) berdasarkan PIW index. Sementara, di tahun yang sama, Pertamina hanya menduduki peringkat 30.
Sebenarnya, tidak adil bila kita membandingkan antara Pertamina dan Petronas lantaran situasi yang dihadapi dua BUMN Migas itu sangat berbeda. Memang, Pertamina lahir lebih dulu, yaitu 1968. Sementara Petronas baru lahir pada 17 Agustus 1974. Ya, benar, Pertaminalah yang kali pertama mencetuskan dan menerapkan sistem Production Sharing Contract (PSC). Sistem ini diakui menguntungkan, sehingga sistem ini juga diadopsi Petronas. Hanya, Petronas malah lebih berjaya, sementara Pertamina malah melempem.
Tapi, perlu dicatat, keberhasilan Petronas mengungguli Pertamina tak semata berkat keberhasilannya menerapkan sistem PSC, melainkan juga dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah satunya adalah BUMN minyak kita belum sepenuhnya memiliki kemandirian dan kebebasan seperti yang telah dinikmati BUMN negeri jiran tersebut. Di setiap langkah yang hendak diambil, Pertamina harus meminta persetujuan pemerintah. Tentu, ini menyulitkan gerak langkah Pertamina. Sementara, hal yang sama tidak terjadi terhadap Petronas. Petronas hanya bertanggung jawab kepada perdana menteri.
Faktor kedua adalah tingginya angka konsumsi energi dalam negeri. Jika dulu kita bisa memproduksi minyak hingga lebih 1 juta barel per hari (bph), maka mulai tahun 2000 produksi minyak terus turun hingga di bawah level 1 juta barel per hari. Di satu sisi, konsumsi minyak Indonesia justru meningkat hingga lebih dari 1 juta bph. Inilah sebabnya Indonesia harus hengkang dari OPEC. Diprediksi pada 2010, konsumsi minyak akan mencapai angka 1,6 juta bph. Pada 2010 ini, Pertamina memang ditargetkan mampu lifting minyak hingga 960.000 bph. Tapi, toh, produksi sebesar itu belum mampu menutup seluruh kebutuhan konsumsi dalam negeri. Kekurangannya dari mana? Sudah pasti dari impor!
Selain itu, tingginya konsumsi dalam negeri juga berpengaruh terhadap subsidi BBM. Tak heran, kita tak bisa menikmati kenaikan harga minyak mentah dunia dari USD65 per barel menjadi USD80 per barel. Pemerintah harus menyiapkan anggaran untuk menambal kekurangan subsidi yang diprediksi naik hingga Rp 150 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan (APBN-P) 2010 (Kompas 1/3). Naiknya subsidi ini disebabkan naiknya beban yang harus ditanggung pemerintah akibat kenaikan harga minyak dan harga BBM yang tidak naik.
Moving forward
Jadi, saya pikir, daripada kita sibuk membandingkan antara Pertamina dan Petronas, alangkah baiknya jika kita turut membantu agar Pertamina kembali memperoleh performa gemilangnya agar dapat bergerak maju (moving forward). Mengembalikan status Negara kita dari konsumen menjadi produsen minyak memang bukan hal mudah. Terlebih Pertamina akan menghadapi tugas yang sangat berat di masa depan: memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dan luar negeri, sementara minyak dan gas bumi bukan termasuk sumber daya alam yang bisa diperbarui.
Beragam langkah telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap BBM, seperti mengenalkan sumber energi alternatif dan mengenalkan kendaraan non BBM. Namun, langkah ini sepertinya kurang berhasil. Pengalihan penggunaan dari bahan bakar fosil ke sumber energi alternatif (biogas, biodisel dan listrik) butuh biaya yang tak sedikit, alhasil hanya orang berduit yang mampu mengurangi ketergantungan terhadap BBM tersebut. Selain itu, pabrikan otomotif Indonesia masih dominan memproduksi kendaraan berbahan bakar fosil. Kendaraan-kendaraan berbahan bakar energi alternatif belum tampil mendominasi karena sarana dan prasarana pendukung belum maksimal tersedia.
Bisa jadi penyebabnya adalah tingginya biaya investasi yang harus dikeluarkan pabrikan. Saya ambil contoh produk Nissan Leaf keluaran pabrikan Nissan. Untuk melihat mobil konsep bertenaga listrik ini bisa melenggang di jalanan Indonesia, pihak pabrikan harus membangun sejumlah mesin charger dalam radius tertentu mengingat mobil ini hanya bisa menempuh jarak sejauh 160 km.
Secara konseptual, energi alternatif memang terlihat menjanjikan. Namun, faktanya, masih sulit diterapkan. Karena itu, mengapa kita tak melirik cara yang lebih mudah dilakukan semua kalangan? Tak ada salahnya melirik sepeda angin atau jalan kaki untuk bepergian jarak kurang dari 1 km. Jika setengah saja warga Indonesia rutin menghemat 1 liter pemakaian BBM, maka secara nasional kita telah menghemat 100 -an juta liter (1 barel=159 liter)! Kelihatannya sederhana, tapi efek domino dari penghematan bahan bakar fosil ini sangat luar biasa, di antaranya mengurangi angka subsidi dan ketergantungan kita terhadap impor minyak mentah. Semoga, dengan cara seperti ini, kita bisa membantu mengembalikan kejayaan Indonesia dan Pertamina sebagai produsen minyak dunia. Semoga. - Oleh : Astrid Prihatini WD Wartawan SOLOPOS
Opini SOlo Pos 6 Maret 2009
07 Maret 2010
Menuju kejayaan Pertamina, mungkinkah?
Thank You!