MALAYSIA masih menjadi magnet  kuat bagi mereka yang ingin mengubah  penghidupan. Tak heran, negara semenanjung ini menawarkan kesempatan  kerja luas dengan penghasilan yang menggiurkan. Dampaknya, buruh migran  dari berbagai negara tetangga yang berdekatan dengan Malaysia  berdatangan ke sana untuk mengadu nasib.
Berbagai upaya dan cara ditempuh untuk mendapatkan pekerjaan di sana.  Ada yang melalui jalur formal dengan mendatangi penyalur jasa tenaga  kerja Indonesia (PJTKI), ada pula yang menempuh cara ilegal atau di sana  biasa disebut sebagai pendatang haram. Biasanya para pendatang haram  ini datang melalui jalur laut dengan kapal kayu yang populer dengan  sebutan entekong. 
Pemerintah Malaysia sebenarnya sering melakukan razia terhadap pendatang  haram dan memulangkan ke Indonesia. Namun hal itu tidak menyurutkan  langkah migran ilegal untuk mendapatkan penghasilan yang besar guna  memperoleh penghidupan yang lebih baik.
Informasi tersebut diketahui ketika penulis mendapat kesempatan  mendatangi Malaysia dan Thailand dalam kegiatan press tour. Dalam  perjalanan  ke dua negara yang ditempuh memakai pesawat, bus dan kereta  api, banyak hal didapat, salah satunya tentang buruh migran. 
Ada beberapa titik keberangkatan buruh migran ke Malaysia. Buruh migran  dari Sumatra Utara memilih Bandara Polonia Medan ataupun Pelabuhan Laut  Belawan, sedangkan buruh migran dari daerah Riau dan sekitarnya memilih  titik keberangkatan dari Pelabuhan Laut Batam Center, Pulau Batam.  Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten dan Husein Sastranegara,  Bandung juga menjadi titik keberangkatan buruh migran ke Malaysia dan  daerah sekitarnya.
Yang menarik Bandara Husein Sastranegara Bandung lebih disukai sebagai  titik keberangkatan ke Malaysia dibanding Bandara Soekarno-Hatta.  Seperti  dikemukakan Suharyati (39), buruh migran asal Bandar Lampung.  Ibu dua anak yang bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga  setahun ini, kembali ke Malaysia sesudah berlibur  di kampung halaman.  Dia diminta majikannya kembali ke Malaysia melalui Bandara Husein  Sastranegara. 
Padahal, lebih mudah bila Suharyati memilih titik keberangkatan melalui  Bandara Soekarno-Hatta. Selain lebih efisien, di Bandara Soekarno-Hatta   tersedia banyak penerbangan langsung maupun tidak ke Kuala Lumpur.  Berbeda dengan Bandara Husein Sastranegara, hanya satu maskapai  penerbangan yang melayani penerbangan ke Kuala Lumpur. ”Saya tidak tahu  kenapa majikan menyuruh kembali ke Malaysia dari Bandara Husein. Padahal  dari Lampung saya singgah di Jakarta,” katanya.
Hal sama dilakukan buruh migran lain, seperti Sri dan Julianti asal  Jepara yang memilih Bandara Husein Sastranegara sebagai titik  keberangkatan ke Malaysia. Bahkan Sri yang bekerja di salah satu  industri yang ada di Kuala Lumpur membawa teman sekampungnya untuk  bekerja. 
Saat ditanya mengapa mencari kerja sampai ke negara tetangga, jawaban  yang diterima sangat klise, tidak sulit mencari pekerjaan di sana,  majikannya baik, dan gajinya besar.  
**
Pendapatan buruh migran yang bekerja di sektor rumah tangga sekitar Rp  1,4 juta/bulan, sedangkan yang bekerja di pabrik, gajinya sekitar Rp 1,2  juta hingga Rp 1,7 juta per bulan. Bagi yang bekerja di pabrik, uang  tersebut belum termasuk uang lembur atau kerajinan.
”Bila saya rajin, dapat uang kerajinan 50 ringgit per minggunya, tetapi  kalau bolos dua hari berturut-turut dipotong 50 ringgit. Uang lebih juga  didapat kalau piket dari jam tujuh pagi hingga jam tujuh malam sebesar  30 ringgit,” ucap Pondang, pekerja industri yang ditemui penulis sedang  makan di Butterworth, yaitu daerah pelabuhan penghubung dengan Pulau  Penang melalui feri. 
Siti asal Garut, yang bertemu di tempat yang sama, mengatakan buruh  migran perempuan dari Jabar, biasanya memilih bekerja di industri yang  ada di sekitar Kuala Lumpur, seperti di pabrik kaus kaki. Sementara yang  laki-lakinya bekerja di sektor bangunan. Siti tinggal di sana selama  tujuh tahun dan memilih menjual air sebagai pekerjaannya. ”Tidak banyak  orang Jabar yang berjualan di sini,” tuturnya.
Sektor perdagangan kecil, meskipun merupakan salah satu peluang ekonomi  yang bisa diraih buruh migran Jabar, tampaknya kurang atau belum  diminati. Tidak heran di antara rumah makan, pedagang kelontong eceran  ataupun penjual minuman dan makanan  tidak banyak ditemui buruh migran  asal Jabar. Pada umumnya, di sektor seperti itu yang banyak ditemui  adalah buruh migran dari Minang atau Jawa.
Soeroso Dasar, pengamat masalah sosial yang menjadi teman seperjalanan  penulis, menuturkan, tidak terlalu dominannya buruh migran asal Jabar  mungkin karena cenderung memilih bekerja di Timur Tengah dengan alasan  seagama. Malaysia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam masih  belum merupakan daya tarik.
Pernyataan menarik dan mengejutkan tentang buruh migran asal Jabar  datang dari Adi, pedagang makanan dan minuman asal Aceh. Menurut dia,  buruh migran Jabar jarang mengaku orang Sunda, mereka lebih senang  mengaku Indon (sebutan orang Indonesia di Malaysia). Ketika penulis  mengejarnya dengan menanyakan alasannya, Adi mengatakan tidak tahu.
Saat diminta pendapatnya seputar berita miring majikan yang kejam  terhadap pembantu rumah tangga dan sisi kelam lainnya, buruh migran yang  ditemui penulis mengatakan tidak tahu dan tidak pernah mendengar.  Mereka jarang berkomunikasi dengan sesama buruh migran lainnya yang  bekerja di sektor rumah tangga. Mereka hanya bekerja dan menunggu libur  panjang untuk bisa pulang ke kampung halamannya.
”Kondisi berbeda terjadi di Singapura. Di sana buruh migran Indonesia,  setiap Sabtu sore berkumpul sepanjang Orchard Road untuk melepas rindu  bersama buruh migran lain,” ucap Soeroso. 
Soeroso yang menjadi teman diskusi penulis berpendapat melihat gencarnya  pembangunan fisik yang dilakukan pemerintah Malaysia, sebenarnya buruh  migran asal Jabar mempunyai potensi memperoleh pekerjaan di Malaysia  dalam sektor informal, karena sektor tersebut sangat diminati buruh  migran asal Jabar. Contohnya, setelah tsunami di Aceh, banyak buruh  migran dari Jabar yang bekerja di sektor bangunan datang ke sana. 
”Malaysia yang serumpun Melayu dengan Indonesia menjadikan komunikasi  begitu mudah dan hubungan kedua negara tetangga ini tidak masalah.  Sebenarnya ini bisa dijadikan daya tarik tersendiri bagi buruh migran  asal Jabar. Apalagi jarak yang tidak terlalu jauh dan adanya penerbangan  langsung dari Bandung bisa menggoda untuk melonjakkan buruh migran asal  Jabar,” tuturnya.
Tingginya akselerasi pembangunan di Malaysia bisa dijadikan contoh  bagaimana menggerakkan dan memanfaatkan potensi yang ada. Negara yang  ditopang sektor perminyakan, pertambangan, dan perkebunan tersebut  ternyata bukan hanya memberikan kesejahteraan bagi bangsanya, tetapi  juga bagi bangsa di sekitarnya. Negeri jiran (tetangga) juga kecipratan  rezeki dengan pembangunan yang terjadi di sana.
”Tidak terhitung berapa banyak buruh migran yang menggerakkan  pembangunan di Malaysia. Tidak dapat dibayangkan bagaimana wajah  Malaysia tanpa adanya buruh migran. Di satu pihak, Malaysia kekurangan  tenaga kerja, di lain pihak negara tetangga kelebihan tenaga kerja,”  ujarnya. (Yeni Ratnadewi/”PR”)***
Opini Pikiran Rakyat 08 Maret 2010
07 Maret 2010
» Home » 
Pikiran Rakyat » Magnet Malaysia Bagi Pekerja Indonesia
Magnet Malaysia Bagi Pekerja Indonesia
Thank You!