Peradaban Islam pernah mengalami perkembangan pesat pada abad pertengahan. Karakteristik peradaban yang dikembangkan pada saat itu berlandaskan pada dua hal. Pertama, berkembangnya nilai-nilai masyarakat yang terbuka (open society) yang menghasilkan kontak dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Kontak kebudayaan ini kemudian melahirkan nilai-nilai baru yang modern dan egaliter. Kedua, perkembangan humanisme yang melahirkan perhatian terhadap masalah hubungan antarsesama manusia. Dalam perspektif ini manusia memiliki otoritas yang lebih luas dalam menentukan makna kehidupan dan peradabannya. Kedua nilai ini menjadi spirit dalam membangun peradaban yang modern.
Namun pada perkembangan berikutnya akar peradaban modern yang berbasis pada open society dan humanisme ini tidak berkembang baik di negara-negara Islam. Justru spirit ini telah diambil alih oleh negara Barat, sehingga sekarang mereka memimpin peradaban dunia. Sekarang spirit yang sama dikembangkan oleh negara-negara non-Barat yang non-Islam seperti India, China, Jepang, dan Korea. Mereka adalah negara modern baru yang mengembangkan peradaban Timur dengan memasukkan elemen-elemen tradisi Timur dengan elemen modernitas Barat menjadi peradaban modern baru yang berbasis pada induk budaya (mother culture) agama.
India mengadopsi sistem pendidikan modern Barat yang liberal dan diterapkan secara masif di kelas-kelas sekolah. Tidak mengherankan jika India mengalami perkembangan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologinya. India juga mengadopsi sistem politik yang demokratis seperti Barat. Tetapi mengadopsi sistem modern Barat bukan sebagai tujuan akhir melainkan sebagai jalan yang efisien untuk mencapai tujuan hidup orang India yakni sampai pada ‘pencerahan jiwa’, ‘perbaikan’, ‘peningkatan’, ‘keuntungan’, dan ‘kebahagiaan hidup’ yang berlandaskan pada nilai-nilai agama Hindu (Ramohun Roy, dalam Steven Hay, 1985).
Contoh yang lainnya, Jepang. Kemajuan Jepang disebabkan mereka mampu menemukan esensi, makna, dan spirit kultur mereka sebagai elemen penting dalam membangun peradaban modern. Modernisasi yang datang dari nilai-nilai eksternal tidak memuaskan orang Jepang, karena mereka sudah memiliki sejarah dan kultur Timur yang cukup tua. Makna dan spirit Bushido menjadi cahaya dan aliran darah yang melekat kuat dalam diri orang Jepang. Terjadinya kontak kebudayaan dengan modernisasi Barat menjadi pemicu terjadinya pertemuan nilai (melting values,) yang menguntungkan. Pertemuan nilai tidak dikonfrontasi berhadap-hadapan (vis a vis), tetapi diadaptasi dengan baik dengan memasukkan elemen kultur lokal dalam elemen modern Barat menjadi kekuatan pendorong untuk membangun peradaban modern yang non-Barat (John Whitney Hall, 1985).
Dawam Raharjo (2005) menyebut fenomena ini sebagai lahirnya negara-negara non-Barat yang mengembangkan peradaban baru berbasis empat aspek, yakni kebudayaan induk (mother culture) yang berbasis agama, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kebudayaan tekno ekonomi, majunya sistem dan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi, berkembangnya sistem politik dan kenegaraan yang berakar pada trilogi liberalisme, pluralisme, dan sekularisme.
Bertumbuh kembangnya negara modern baru non-Barat yang non-Islam ini melahirkan pertanyaan epistemologis. Mengapa negara-negara Islam dan berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia yang memiliki kebudayaan induk sangat kohesif justru tertinggal dari negara-negara lainnya? Padahal modal sosial yang dimiliki lebih dari cukup untuk membangun sebuah peradaban Islam modern.
Mother culture
Jika nilai-nilai Islam yang memiliki induk kebudayaan (mother culture) amat kohesif, sesungguhnya jati diri itulah yang harus dikembangkan oleh model pengembangan pendidikan Islam. Di mana pun Islam berkembang, seharusnya tempat tersebut mampu menjadi melting values untuk membangun peradaban baru yang lebih maju. Karena itu tantangan yang paling besar adalah mengubah paradigma Islam eksklusif menjadi paradigma Islam inklusif. Ketika kita menempatkan Islam vis a vis dengan peradaban modern dan menjadi sangat eksklusif, maka sekohesif apa pun induk kebudayaan ini tidak akan mampu membangun peradaban.
Sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk Islam terbesar di dunia, seharusnya Indonesia mampu mengembangkan pendidikan Islam yang modern untuk menjadi soko guru peradaban unggul. Hal inilah yang sudah dilakukan oleh negara-negara non-Barat yang non-Islam dalam membangun peradaban modern mereka tanpa kehilangan akar budaya dan karakteristik kulturalnya. Mereka bangga dengan identitas kultural yang distingtif dalam modernisasi peradaban dunia.
Sistem pendidikan Islam harus dikembangkan untuk menanamkan pemahaman Islam yang moderat, terbuka, toleran, dan menghargai ragam perbedaan. Dengan memahami realitas masyarakat yang majemuk, konsepsi pendidikan yang dikembangkan pada lembaga pendidikan Islam adalah pemahaman, semangat, dan cara pengelolaan yang mampu mengakomodasi perbedaan dan keragaman dengan tanpa mengorbankan keyakinan dalam keberagamaan masing-masing individu. Tetapi selama pemahaman keagamaan berada pada ujung yang ekstrem, pendidikan Islam akan tetap menjadi periferal dan marginal.
Selain itu pendidikan Islam juga harus responsif terhadap kehidupan berdemokrasi. Pendidikan demokrasi perlu dikembangkan sebagai upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih menghargai hak-hak individu, termasuk kebebasan berpikir, berserikat, berpendapat, dan bebas dari ketakutan (Cohen: 2002; Cristoper: 1989). Upaya ini penting untuk menciptakan kohesivitas nasional dan komitmen warganya dalam membangun warga negara kesatuan yang demokratis.
Meskipun secara politik posisi umat Islam telah mendapatkan porsi penghargaan dan penerimaan yang positif dalam perkembangan kehidupan demokrasi di Indonesia, hal yang sama belum terlihat dari sisi pendidikan. Sudah saatnya sekarang ini pendidikan Islam juga mampu untuk mengembangkan dan menjalankan pola pikir yang sama, yaitu sebuah cara berpikir maju dan moderat yang sejauh ini belum terlihat secara maksimal di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Peluang untuk sampai ke arah itu telah tersedia, yaitu dengan diakomodasinya pola pengelolaan pendidikan Islam ke dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan Islam juga dituntut untuk responsif terhadap modernisasi pembelajaran yang telah berjalan pada lembaga-lembaga pendidikan sekolah umum di bawah kementerian pendidikan. Ada dua hal yang bisa dikembangkan. Pertama, mengembangkan strategi pembelajaran aktif dengan berpusat pada siswa. Di samping itu dikembangkan sikap yang sensitif terhadap perubahan melalui berbagai strategi pembelajaran yang tepat dan dikembangkan sesuai dengan kondisi psiko-sosial anak. Yang tidak kalah pentingnya adalah yang kedua, yaitu memodernisasi fasilitas pembelajaran, lingkunga, dan faktor pendukung seperti manajemen sekolah yang terbuka, transparan, dan akuntabel, termasuk keterlibatan dari orang tua, pemerintah, masyarakat, serta para stakeholder pendidikan lainnya.
Spirit yang selama ini telah ditunjukkan oleh lembaga pendidikan Islam yang memiliki basis dukungan dari masyarakat secara penuh perlu ditumbuhkan kembali. Salah satu yang menyebabkan pendidikan Islam di Indonesia tidak kompatibel dengan dunia modern adalah rata-rata lembaga pendidikan Islam seperti telah kehilangan ruh dukungan dari masyarakat sekitarnya. Faktor ini jugalah yang mungkin menyebabkan lembaga pendidikan Islam terkesan sangat eksklusif, karena telah kehilangan independensi pengelolaan yang menyebabkan mereka sangat tergantung pada uluran tangan pemerintah.
Persoalan-persoalan krusial di atas adalah gambaran bahwa lembaga pendidikan Islam masih eksklusif. Tetapi jika nilai-nilai di atas dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh para pengelola dan pengasuh dalam lingkup pendidikan Islam, maka peluang untuk tampil sebagai pilar peradaban baru yang modern dan kukuh berlandaskan nilai-nilai keislaman sangat terbuka luas. Berbagai tantangan khas umat Islam di Indonesia membutuhkan sikap yang terbuka dari pemerintah dan lembaga pendidikan Islam itu sendiri untuk mengembangkan berbagai model pendidikan yang inklusif, terbuka, dialogis, serta bertumpu pada kebutuhan siswa. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan Islam mampu melahirkan SDM tangguh dan berkarakter kuat yang akan berkiprah mengisi dan menciptakan peradaban baru yang bertumpu pada nilai keagamaan, spiritualitas, dan humanisme.
Oleh Aan Hasanah, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Bandung
Opini Media Indonesia 08 Maret 2010