MULAI 2 Februari 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama 13 kementerian mencanangkan Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN). Program itu juga tepat untuk Jateng karena tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Target yang ingin dicapai yaitu meningkatnya jumlah wirausaha Indonesia yang sekarang baru 0,24% atau 600 ribu dari populasi penduduk menjadi minimal 1% atau 2,4 juta wirausaha pada 2014.
Sebuah tujuan dan target idealis di tengah realitas wacana dan praktik kewirausahaan di Indonesia, termasuk Jateng, yang belum memadai. Apakah gerakan ini efektif mengurangi jumlah penganggur dan menekan angka kemiskinan?
Jika kita baca data pembanding, Singapura memiliki pelaku wirausaha 7,2%, Malaysia 2,1%, Thailand 4,1%, Korsel 4%, dan Amerika Serikat 11,5% dari seluruh populasi penduduknya. Target 2,4 juta wirausahawan pada 2014 itu artinya tiap tahun selama 3 tahun ke depan pemerintah harus mampu melahirkan 900 ribu wirausahawan baru.. Angka yang cukup besar mengingat peningkatan jumlah wirausahawan dari tahun ke tahun tidak lebih dari 100 ribu. Melihat kenyataan ini, saya pesimistis target itu tercapai. Meski diakui, bagi wirausahawan (entrepreneur) ada ungkapan ’’tidak ada yang tidak mungkin di bawah langit ini’’.
Jika target sulit tercapai, bagaimana mungkin tujuan mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan terwujud. Logika inilah yang sejak awal semestinya dibangun sebelum mencanangkan gerakan itu sehingga, antara target dan realisasi bisa terukur. Inilah yang dalam kajian ilmu kewirausahaan disebut konsep SMART (specific, measurable, accesable, reasonable, dan timeline).
Lalu, pertanyaannya mengapa wirausahawan sulit berkembang di Indonesia? Inilah yang mestinya dicarikan solusinya sebelum berbicara masalah pengurangan pengangguran dan kemiskinan. GKN seyogianya diarahkan ke sana agar memberi kemudahan demi lahirnya generasi wirausaha. Menurut saya, ada tiga masalah mendasar yang menyebabkan wirausahawan sulit berkembang di Indonesia.
Bisnis Kampus Pertama; kesalahan pengertian. Selama ini, wirausahawan dipahami sebagai pedagang. Padahal, menurut hasil kesepakatan Konferensi International Kewirausahaan (International Conference on Entrepreneurship) 2010 di Amerika Serikat, kewirausahaan diartikan sebagai cara memandang sesuatu (a world view).
Jadi apapun profesinya, bisa menjadi seorang wirausaha asal cara memandangnya terkait dengan hasil karya (created). Sebut saja istilah edupreneurship, technopreneurship, dan socialpreneurship. Ketiganya adalah turunan dari istilah entrepreneurship. Sementara kalau pedagang hanya identik dengan beli barang lalu barang itu dijual kembali. Tidak ada aktivitas kekaryaan.
Kedua; kesalahan kebijakan. Disadari atau tidak kebijakan yang selama ini dirasakan untuk penyebarluasan kewirausahaan baru sebatas kemudahan akses dana lewat program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL), program pembiayaan CSR, PNPM Mandiri, atau kredit usaha rakyat (KUR) yang tahun ini ditarget Rp 20 triliun tanpa jaminan. Sayangnya, berbagai kebijakan tersebut belum menyentuh sisi substansi kewirausahaani.
Ketiga; masalah pengajar. Jika kita tengok pemberlakuan kurikulum kewirausahaan di sebagian besar perguruan tinggi (PT) baik negeri maupun swasta, kita melihat sejumlah dosen pengampu mata kuliah Kewirausahaan berasal dari akademisi an sich. Materi yang disampaikan pun terasa hambar dan tidak efektif.
Sejatinya, pemerintah lewat perbankan sering membuat program training of trainer (TOT) bagi dosen itu namun hasilnya belum maksimal. Akan lebih maksimal jika dosen tersebut, selain mengajar mata kuliah Kewirausahaan, aktif dalam aktivitas bisnis kampus. Hal itu bisa dilakukan lewat unit-unit bisnis yang dikelola perguruan tinggi itu atau antardosen bekerja sama membuat unit bisnis sebagai latihan pembentukan karakter bisnis. (10)
— Abdul Muid Badrun, pelaku usaha, dosen mata kuliah Kewirausahaan Solo Business School (SBS) dan STAIN Surakarta
Sebuah tujuan dan target idealis di tengah realitas wacana dan praktik kewirausahaan di Indonesia, termasuk Jateng, yang belum memadai. Apakah gerakan ini efektif mengurangi jumlah penganggur dan menekan angka kemiskinan?
Jika kita baca data pembanding, Singapura memiliki pelaku wirausaha 7,2%, Malaysia 2,1%, Thailand 4,1%, Korsel 4%, dan Amerika Serikat 11,5% dari seluruh populasi penduduknya. Target 2,4 juta wirausahawan pada 2014 itu artinya tiap tahun selama 3 tahun ke depan pemerintah harus mampu melahirkan 900 ribu wirausahawan baru.. Angka yang cukup besar mengingat peningkatan jumlah wirausahawan dari tahun ke tahun tidak lebih dari 100 ribu. Melihat kenyataan ini, saya pesimistis target itu tercapai. Meski diakui, bagi wirausahawan (entrepreneur) ada ungkapan ’’tidak ada yang tidak mungkin di bawah langit ini’’.
Jika target sulit tercapai, bagaimana mungkin tujuan mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan terwujud. Logika inilah yang sejak awal semestinya dibangun sebelum mencanangkan gerakan itu sehingga, antara target dan realisasi bisa terukur. Inilah yang dalam kajian ilmu kewirausahaan disebut konsep SMART (specific, measurable, accesable, reasonable, dan timeline).
Lalu, pertanyaannya mengapa wirausahawan sulit berkembang di Indonesia? Inilah yang mestinya dicarikan solusinya sebelum berbicara masalah pengurangan pengangguran dan kemiskinan. GKN seyogianya diarahkan ke sana agar memberi kemudahan demi lahirnya generasi wirausaha. Menurut saya, ada tiga masalah mendasar yang menyebabkan wirausahawan sulit berkembang di Indonesia.
Bisnis Kampus Pertama; kesalahan pengertian. Selama ini, wirausahawan dipahami sebagai pedagang. Padahal, menurut hasil kesepakatan Konferensi International Kewirausahaan (International Conference on Entrepreneurship) 2010 di Amerika Serikat, kewirausahaan diartikan sebagai cara memandang sesuatu (a world view).
Jadi apapun profesinya, bisa menjadi seorang wirausaha asal cara memandangnya terkait dengan hasil karya (created). Sebut saja istilah edupreneurship, technopreneurship, dan socialpreneurship. Ketiganya adalah turunan dari istilah entrepreneurship. Sementara kalau pedagang hanya identik dengan beli barang lalu barang itu dijual kembali. Tidak ada aktivitas kekaryaan.
Kedua; kesalahan kebijakan. Disadari atau tidak kebijakan yang selama ini dirasakan untuk penyebarluasan kewirausahaan baru sebatas kemudahan akses dana lewat program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL), program pembiayaan CSR, PNPM Mandiri, atau kredit usaha rakyat (KUR) yang tahun ini ditarget Rp 20 triliun tanpa jaminan. Sayangnya, berbagai kebijakan tersebut belum menyentuh sisi substansi kewirausahaani.
Ketiga; masalah pengajar. Jika kita tengok pemberlakuan kurikulum kewirausahaan di sebagian besar perguruan tinggi (PT) baik negeri maupun swasta, kita melihat sejumlah dosen pengampu mata kuliah Kewirausahaan berasal dari akademisi an sich. Materi yang disampaikan pun terasa hambar dan tidak efektif.
Sejatinya, pemerintah lewat perbankan sering membuat program training of trainer (TOT) bagi dosen itu namun hasilnya belum maksimal. Akan lebih maksimal jika dosen tersebut, selain mengajar mata kuliah Kewirausahaan, aktif dalam aktivitas bisnis kampus. Hal itu bisa dilakukan lewat unit-unit bisnis yang dikelola perguruan tinggi itu atau antardosen bekerja sama membuat unit bisnis sebagai latihan pembentukan karakter bisnis. (10)
— Abdul Muid Badrun, pelaku usaha, dosen mata kuliah Kewirausahaan Solo Business School (SBS) dan STAIN Surakarta
Wacana Suara Merdeka 18 Februari 2011