MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah pada 18-20 Februari 2011 menyelenggarakan musyawarah daerah (musda) ke-8 di Semarang. Musda yang merupakan forum tertinggi organisasi di tingkat regional itu akan membahas laporan pertanggungjawaban pengurus masa khidmat 2006-2010, menyusun program tahun 2011-2015, dan memilih pengurus baru untuk mengemban amanat program hasil musda tersebut.
Tema yang diusung musda kali ini datar-datar saja, yakni ”Meneguhkan Peran MUI dalam Membina Akhlak, Sosial, Politik, dan Ekonomi Bangsa”. Namun karena bangsa ini sedang mengalami keterpurukan justru dalam bidang akhlak, sosial, politik, dan ekonomi maka tema tersebut meskipun sederhana mengandung pesan penting dan strategis.
Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT sebagai Rasul, untuk membentuk akhlak yang mulia (akhlaq al-karimah). Akhlak akan membentuk karakter dan jati diri bangsa. Ini mengingatkan pesan seorang ulama Ahmad Syauqi yang mengatakan,” Sesungguhnya entitas dan jati diri suatu bangsa adalah karena akhlaknya. Jadi ketika akhlak suatu bangsa lenyap maka ‘lenyap’ pula bangsa tersebut.”
Ironisnya, krisis akhlak inilah yang dalam beberapa dekade terakhir ini, secara kasat mata makin menjadi-jadi. Lebih buruk lagi, justru krisis akhlak dipertontonkan oleh para petinggi dan pejabat penting di negeri ini, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Lebih dari separo jumlah gubernur, ditambah lagi banyak bupati/ wali kota, harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Lebih parah lagi, aparat penegak hukum, yang seharusnya menjadi panutan justru banyak yang mempermainkan hukum itu sendiri.
Jika MUI dalam Munas 2010 dan Rakorda MUI Wilayah II Jawa (minus Jawa Timur) dan Lampung merekomendasikan agar pelaksanaan pilkada dengan sistem demokrasi langsung ditinjau kembali, dengan pesan Pancasila dan UUD 1945 yang mengusung sistem perwakilan, hal itu bukan pendapat asal-asalan melainkan telah melalui kajian matang, tentu menurut perspektif MUI dan ulama.
Bukan rahasia lagi dalam praktik pemilu, baik legislatif, presiden, maupun pilkada penuh dengan permainan politik uang, yang diperhalus dengan istilah dana operasional rekomendasi, mahar politik, atau dana pembinaan partai. Semua itu menjadi entry point terjadinya korupsi secara masif, untuk mengembalikan modal. Ujung-ujungnya, korupsi makin hari kian merajalela dan menggurita.
Memegang Prinsip Masyarakat pun makin lama larut dalam budaya korupsi, dan ikut-ikutan menjual suara. Preferensi memilih pemimpin, tidak lagi didasarkan pada akhlak dan integritas kepribadian, kompetensi, dan kredibilitas calon, tetapi pada seberapa besar calon itu memberikan mahar politik atau uang pengganti upah pekerjaan mengingat para pemilih rela meninggalkan pekerjaan.
MUI yang merupakan komponen bangsa, secara ideal, adalah sekelompok manusia yang apabila teguh pada prinsip dan pendiriannya, diharapkan dapat mengawal bangsa ini menjadi lebih baik.
Tentu MUI dan ulama, tidak bisa sendirian. Rasulullah SAW menegaskan,”Shinfani min al-nas, idza shaluha shaluha al-nas, wa idza fasada fasada al-nas, al-’ulama wa al-umara”, yang artinya, ”Dua kelompok manusia, apabila mereka baik maka baiklah masyarakatnya, dan apabila dua kelompok tersebut buruk maka buruklah masyarakat, yakni ulama dan umara.”
Tentu maksudnya adalah ulama yang istikamah, memiliki integritas akhlak baik, dan tidak larut dalam politik kekuasaan tetapi memilih politik perjuangan, kerakyatan, dan kebangsaan. Umara maksudnya adalah pemimpin dan pejabat yang adil, bisa menjadi panutan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan perbaikan akhlak dan ekonomi rakyatnya.
Karena itu, musda kali ini dituntut dapat merumuskan program yang realistis, yang bisa dilaksanakan, dan dapat memilih pengurus yang mampu mengemban amanah, untuk melakukan restorasi akhlak bangsa ini, dengan akhlaq al-karimah, termasuk para pemimpinnya, demi meraih kajayaan bangsa Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur, negeri gemah ripah loh jinawi di bawah siraman ampunan Tuhan Yang Maha Pengampunî. Selamat bermusyawarah, semoga sukses dan Allah memberkahi. (10)
— Ahmad Rofiq, Sekretaris Umum MUI Jawa Tengah
Tema yang diusung musda kali ini datar-datar saja, yakni ”Meneguhkan Peran MUI dalam Membina Akhlak, Sosial, Politik, dan Ekonomi Bangsa”. Namun karena bangsa ini sedang mengalami keterpurukan justru dalam bidang akhlak, sosial, politik, dan ekonomi maka tema tersebut meskipun sederhana mengandung pesan penting dan strategis.
Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT sebagai Rasul, untuk membentuk akhlak yang mulia (akhlaq al-karimah). Akhlak akan membentuk karakter dan jati diri bangsa. Ini mengingatkan pesan seorang ulama Ahmad Syauqi yang mengatakan,” Sesungguhnya entitas dan jati diri suatu bangsa adalah karena akhlaknya. Jadi ketika akhlak suatu bangsa lenyap maka ‘lenyap’ pula bangsa tersebut.”
Ironisnya, krisis akhlak inilah yang dalam beberapa dekade terakhir ini, secara kasat mata makin menjadi-jadi. Lebih buruk lagi, justru krisis akhlak dipertontonkan oleh para petinggi dan pejabat penting di negeri ini, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Lebih dari separo jumlah gubernur, ditambah lagi banyak bupati/ wali kota, harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Lebih parah lagi, aparat penegak hukum, yang seharusnya menjadi panutan justru banyak yang mempermainkan hukum itu sendiri.
Jika MUI dalam Munas 2010 dan Rakorda MUI Wilayah II Jawa (minus Jawa Timur) dan Lampung merekomendasikan agar pelaksanaan pilkada dengan sistem demokrasi langsung ditinjau kembali, dengan pesan Pancasila dan UUD 1945 yang mengusung sistem perwakilan, hal itu bukan pendapat asal-asalan melainkan telah melalui kajian matang, tentu menurut perspektif MUI dan ulama.
Bukan rahasia lagi dalam praktik pemilu, baik legislatif, presiden, maupun pilkada penuh dengan permainan politik uang, yang diperhalus dengan istilah dana operasional rekomendasi, mahar politik, atau dana pembinaan partai. Semua itu menjadi entry point terjadinya korupsi secara masif, untuk mengembalikan modal. Ujung-ujungnya, korupsi makin hari kian merajalela dan menggurita.
Memegang Prinsip Masyarakat pun makin lama larut dalam budaya korupsi, dan ikut-ikutan menjual suara. Preferensi memilih pemimpin, tidak lagi didasarkan pada akhlak dan integritas kepribadian, kompetensi, dan kredibilitas calon, tetapi pada seberapa besar calon itu memberikan mahar politik atau uang pengganti upah pekerjaan mengingat para pemilih rela meninggalkan pekerjaan.
MUI yang merupakan komponen bangsa, secara ideal, adalah sekelompok manusia yang apabila teguh pada prinsip dan pendiriannya, diharapkan dapat mengawal bangsa ini menjadi lebih baik.
Tentu MUI dan ulama, tidak bisa sendirian. Rasulullah SAW menegaskan,”Shinfani min al-nas, idza shaluha shaluha al-nas, wa idza fasada fasada al-nas, al-’ulama wa al-umara”, yang artinya, ”Dua kelompok manusia, apabila mereka baik maka baiklah masyarakatnya, dan apabila dua kelompok tersebut buruk maka buruklah masyarakat, yakni ulama dan umara.”
Tentu maksudnya adalah ulama yang istikamah, memiliki integritas akhlak baik, dan tidak larut dalam politik kekuasaan tetapi memilih politik perjuangan, kerakyatan, dan kebangsaan. Umara maksudnya adalah pemimpin dan pejabat yang adil, bisa menjadi panutan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan perbaikan akhlak dan ekonomi rakyatnya.
Karena itu, musda kali ini dituntut dapat merumuskan program yang realistis, yang bisa dilaksanakan, dan dapat memilih pengurus yang mampu mengemban amanah, untuk melakukan restorasi akhlak bangsa ini, dengan akhlaq al-karimah, termasuk para pemimpinnya, demi meraih kajayaan bangsa Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur, negeri gemah ripah loh jinawi di bawah siraman ampunan Tuhan Yang Maha Pengampunî. Selamat bermusyawarah, semoga sukses dan Allah memberkahi. (10)
— Ahmad Rofiq, Sekretaris Umum MUI Jawa Tengah
Opini Suara Merdeka 18 Februari 2011