17 Februari 2011

» Home » Okezone » Opini » DPR versus Dirinya Sendiri

DPR versus Dirinya Sendiri

Komisi III DPR menolak kehadiran dua orang pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah, dalam rapat dengar pendapat di gedung parlemen.

Dua hari kemudian, beberapa anggota Panitia Pengawas Hak Angket Bank Century meninggalkan ruang rapat dengar pendapat dengan pimpinan KPK yang turut dihadiri Bibit dan Chandra. Ke mana arah politik DPR? Sikap tidak elegan DPR tampaknya terkait dengan penangkapan oleh KPK atas sejumlah anggota dan mantan anggota DPR yang diduga menerima suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia pada 2004. Mereka adalah sebagian dari anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR periode 1999–2004 yang meloloskan Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Gubernur BI. Seperti diketahui, kasus suap pemilihan Miranda diduga melibatkan 19 politisi Fraksi PDI Perjuangan, 12 orang dari Golkar, 4 anggota PPP, dan 4 anggota Fraksi TNI/Polri.

Tindakan DPR dikecam berbagai kalangan karena merupakan bentuk kriminalisasi terhadap KPK di bawah kepemimpinan Busyro Muqoddas. Publik khawatir penolakan DPR terhadap kehadiran Bibit dan Chandra bukan sekadar soal etis atau kepantasan terkait dengan status tersangka yang dianggap masih melekat pada dua orang pimpinan KPK tersebut, melainkan juga refleksi dari sikap ambigu DPR atas agenda pemberantasan korupsi di negeri ini.

Kriminalisasi

KPK sebenarnya merupakan lembaga ad hoc yang dibentuk dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Institusi penegakan hukum yang telah ada seperti kejaksaan dan kepolisian dianggap gagal meningkatkan kinerja pemberantasan KKN sehingga dianggap perlu menciptakan lembaga baru yang tidak hanya independen tetapi juga memiliki otoritas luas, terutama dalam tindak pidana korupsi. Namun ironisnya, lembaga yang disepakati pembentukannya oleh pemerintah dan DPR melalui UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini terus-menerus mengalami tindak kriminalisasi, baik oleh pemerintah sendiri (melalui kepolisian dan kejaksaan) maupun oleh para politisi parpol di DPR.

Kasus Bibit dan Chandra yang menjadikan keduanya sebagai “tersangka” penyalahgunaan wewenang adalah salah satu bentuk upaya kriminalisasi KPK yang dilakukan atas “kerja sama” kepolisian dan kejaksaan. Belakangan, atas desakan publik, Bibit dan Chandra dibebaskan dan kasusnya dikesampingkan (deponeering) oleh Kejaksaan Agung. Di sisi lain, kalangan politisi parpol di DPR merasa “gerah” dengan tindakan KPK yang menangkap beberapa anggota Dewan yang terlibat kasus pengalihan status hutan lindung di beberapa daerah.

Upaya kriminalisasi juga muncul dari rencana DPR merevisi UU KPK dalam rangka memangkas sebagian otoritas komisi serta juga pembatasan hanya satu tahun bagi Busyro menjabat Ketua KPK yang baru. Karena itu penangkapan massal atas lebih dari 20 orang anggota DPR terkait kasus cek pelawat dalam pemilihan Miranda Gultom tampaknya merupakan puncak kekesalan para politisi terhadap KPK.

Lembaga Terkorup

Sikap politik DPR terhadap KPK merefleksikan secara telanjang betapa rendahnya komitmen para politisi parpol kita dalam mendukung pemberantasan korupsi. Meskipun demikian, sikap politik para legislator semacam ini sebenarnya tidak begitu mengejutkan. Beberapa waktu lalu lembaga Transparency International Indonesia pernah melansir hasil survei yang menempatkan parpol sebagai salah satu institusi terkorup di negeri ini selain DPR, kejaksaan dan kepolisian. Di sisi lain, secara faktual parpol-parpol kita, hampir tanpa kecuali, tidak memiliki agenda yang jelas, terarah, dan terukur dalam menegakkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.

Dalam beberapa tahun terakhir parpol bahkan cenderung berkembang menjadi tempat nyaman bagi para koruptor untuk bersembunyi serta menghindar dari jerat hukum. Terungkapnya begitu banyak kasus korupsi yang melibatkan para gubernur, bupati, dan walikota yang berasal dari parpol akhir-akhir ini jelas mengindikasikan hal itu. Penolakan kehadiran Bibit dan Chandra bukan hanya semakin memperburuk citra publik DPR, tetapi juga mempertontonkan begitu naifnya para politisi Dewan menyikapi penangkapan massal atas rekan mereka oleh KPK. Betapa tidak, atas nama hak konstitusional yang acap kali dipahami secara absurd, para legislator secara subjektif membenarkan tindakan apa pun yang dilakukan terhadap mitra kerja DPR yang notabene diundang rapat kerja ke Senayan.

Melawan Diri Sendiri

Oleh karena menjadi keprihatinan kita bersama mengapa para politisi parpol di DPR mempertontonkan keangkuhan politik di tengah krisis kepercayaan publik terhadap mereka. Apalagi jelas tidak ada insentif politik apa pun yang diperoleh DPR dengan tindakan menolak kehadiran Bibit dan Chandra dalam rapat dengar pendapat dengan para legislator. Sebaliknya, seperti diwartakan berbagai media, tindakan penolakan atas kehadiran dua orang Pimpinan KPK tersebut justru menuai kecaman yang bertubi-tubi dari publik. Selain itu, perlawanan DPR terhadap KPK pada dasarnya adalah perlawanan terhadap diri DPR sendiri. Karena bagaimanapun KPK, baik secara institusi maupun pimpinan secara personal, adalah produk politik yang dihasilkan oleh Dewan bersama-sama dengan pemerintah.

Keberhasilan KPK menindak para koruptor semestinya dipandang sebagai bagian keberhasilan DPR, begitu pula sebaliknya. Maka ketika DPR hendak mempermalukan KPK, yang terjadi sesungguhnya adalah para politisi parpol mempermalukan diri mereka sendiri. Quo vadis DPR?(*)

Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Opini Okezone 8 Februari 2011