Polri seharusnya tidak perlu terbebani dengan permasalahan rekening gendut, dan tidak melawan arus keinginan masyarakat yang ingin mengetahui secara jelas
KEJELASAN masalah rekening gendut perwira Polri masih saja diburu oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) meskipun pada Juli 2010 Mabes Polri sudah mengumumkan hasil pemeriksaan terhadap 23 rekening yang diduga bermasalah itu. Disebutkan 2 rekening terindikasi pidana dan dalam proses hukum, 2 masih menunggu pembuktian, 1 belum bisa ditindaklanjuti karena objeknya sedang mengikuti pilkada, 1 pemiliknya meninggal dunia , dan 17 rekening lainnya dikategorikan wajar (SM,07/02/11).
Oleh ICW, 17 rekening yang dikategorikan wajar itulah yang masih terus dikejar dan Mabes Polri tidak menutup-nutupinya. Logika yang dipakai adalah bila rekening itu wajar mengapa Mabes keberatan diketahui publik? Sampai akhirnya ICW memohon kepada Komisi Informasi untuk memerintahkan Mabes membuka rekening gendut ini ke publik.
Bahasan mengenai rekening tersebut tentunya dipahami publik sebagai keinginan wajar mengingat alur pikirnya adalah rekening itu menurut laporan hasil analisis (LHA) Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) sangat tidak wajar. Ketidakwajaran ini berada dalam ranah siapa pemikiknya, dari mana aliran dananya, dan bermuara pada mengapa jumlahnya sedemikian besar.
Diduga tidak wajar karena dikaitkan dengan kepemilikan rekening yang berada dalam pusaran praktik mafia hukum yang tengah disorot. Pemilik rekening, konon para petinggi Polri, berada pada titik rawan bagian dari mafia hukum dan mafia pajak yang isu awalnya ditiupkan oleh Susno Duadji, mantan Kabareskrim.
Dari sinilah terus mengalir isu-isu negatif ke Mabes Polri. Meskipun Mabes telah mengumumkan hasil pemeriksaannya ke publik, hal itu tetap saja memantik ketidakpercayaan. Lebih-lebih masalah ini dikaitkan dengan keterbukaan informasi publik yang dijadikan dasar adanya gugatan ajudikasi oleh ICW.
Terlepas dari proses ajudikasi ini, bila ditelisik lebih mendalam, kasus rekening gendut bisa diibaratkan duri dalam daging. Duri itu bisa menyebabkan sekujur tubuh merasakan sakit atau tidak nyaman. Bila sakitnya tubuh ini menjadi bahasa hiperbola sebuah organisasi, tentunya menjadikan organisasi itu menjadi tidak sehat.
Sekadar menyegarkan kembali ingatan pembaca, pada 5 Juli 2010 Presiden SBY mengingatkan masalah rekening gendut itu karena sudah meluas. Bila ada pelanggaran, beri sanksi. Ditambahkan pula, publik berhak untuk mendengar dan mengetahuinya, dengan demikian ada komunikasi politik yang baik.
Upaya yang ditempuh Mabes Polri pun dengan mengajukan banding dan tetap bersikukuh menggunakan alasan yuridis UU Nomor 14 Tahun 2008 mempunyai pengecualian. Hasil LHA dari PPATK adalah dokumen penyelidikan sehingga berada dalam ranah info yang dikecualikan untuk tidak dibuka atau tidak menjadi konsumsi publik.
Tidak Terbebani Optimisme Mabes Polri tentunya membawa konsekuensi tidak ringan. Pertama; upaya banding ini, meskipun sah menurut hukum, memberikan satu persepsi yang kurang menguntungkan bagi semangat transparansi yang tengah dibangun Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Seakan-akan Polri mempertahankan ‘’sesuatu’’ yang berlawanan arus dengan keyakinan publik. Publik menganggap ada yang tidak beres dengan rekening tersebut.
Kondisi itu lebih tidak menguntungkan lagi dan kontraproduktif apabila nantinya putusan banding ditolak. Ini berarti akan menjadi pukulan telak pada institusi Polri yang tengah membangun kepercayaan dengan meniupkan ruh transparansi kepada publik. Maka, menjadi terbalik keadaannya apabila Polri tidak mengajukan banding dan menerima perintah ajudikasi untuk membuka rekening gendut dengan menindaklanjutinya, misalnya melibatkan tim independen menyidik ulang asal-usul rekening bermasalah tersebut.
Kedua; semangat yang dibangun Kapolri dalam masa kepemimpinannya adalah mendorong jajaran kepolisian untuk tidak menjadikan institusi sebagai perisai atau tameng atas kesalahan yang diperbuat. Artinya, tidak ada lagi tempat bagi anggota Polri untuk berlindung di balik seragam korpsnya. Dengan pemahaman ini maka, setiap kesalahan yang bersifat individu, menjadi risiko pribadi dan institusi tidak akan melindunginya.
Dengan semangat ini, tentunya Polri seharusnya tidak perlu terbebani dengan permasalahan rekening gendut, dan tidak melawan arus keinginan masyarakat yang ingin mengetahui secara jelas detail rekening tersebut. (10)
— Herie Purwanto, pemerihati masalah hukum dan kepolisian
KEJELASAN masalah rekening gendut perwira Polri masih saja diburu oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) meskipun pada Juli 2010 Mabes Polri sudah mengumumkan hasil pemeriksaan terhadap 23 rekening yang diduga bermasalah itu. Disebutkan 2 rekening terindikasi pidana dan dalam proses hukum, 2 masih menunggu pembuktian, 1 belum bisa ditindaklanjuti karena objeknya sedang mengikuti pilkada, 1 pemiliknya meninggal dunia , dan 17 rekening lainnya dikategorikan wajar (SM,07/02/11).
Oleh ICW, 17 rekening yang dikategorikan wajar itulah yang masih terus dikejar dan Mabes Polri tidak menutup-nutupinya. Logika yang dipakai adalah bila rekening itu wajar mengapa Mabes keberatan diketahui publik? Sampai akhirnya ICW memohon kepada Komisi Informasi untuk memerintahkan Mabes membuka rekening gendut ini ke publik.
Bahasan mengenai rekening tersebut tentunya dipahami publik sebagai keinginan wajar mengingat alur pikirnya adalah rekening itu menurut laporan hasil analisis (LHA) Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) sangat tidak wajar. Ketidakwajaran ini berada dalam ranah siapa pemikiknya, dari mana aliran dananya, dan bermuara pada mengapa jumlahnya sedemikian besar.
Diduga tidak wajar karena dikaitkan dengan kepemilikan rekening yang berada dalam pusaran praktik mafia hukum yang tengah disorot. Pemilik rekening, konon para petinggi Polri, berada pada titik rawan bagian dari mafia hukum dan mafia pajak yang isu awalnya ditiupkan oleh Susno Duadji, mantan Kabareskrim.
Dari sinilah terus mengalir isu-isu negatif ke Mabes Polri. Meskipun Mabes telah mengumumkan hasil pemeriksaannya ke publik, hal itu tetap saja memantik ketidakpercayaan. Lebih-lebih masalah ini dikaitkan dengan keterbukaan informasi publik yang dijadikan dasar adanya gugatan ajudikasi oleh ICW.
Terlepas dari proses ajudikasi ini, bila ditelisik lebih mendalam, kasus rekening gendut bisa diibaratkan duri dalam daging. Duri itu bisa menyebabkan sekujur tubuh merasakan sakit atau tidak nyaman. Bila sakitnya tubuh ini menjadi bahasa hiperbola sebuah organisasi, tentunya menjadikan organisasi itu menjadi tidak sehat.
Sekadar menyegarkan kembali ingatan pembaca, pada 5 Juli 2010 Presiden SBY mengingatkan masalah rekening gendut itu karena sudah meluas. Bila ada pelanggaran, beri sanksi. Ditambahkan pula, publik berhak untuk mendengar dan mengetahuinya, dengan demikian ada komunikasi politik yang baik.
Upaya yang ditempuh Mabes Polri pun dengan mengajukan banding dan tetap bersikukuh menggunakan alasan yuridis UU Nomor 14 Tahun 2008 mempunyai pengecualian. Hasil LHA dari PPATK adalah dokumen penyelidikan sehingga berada dalam ranah info yang dikecualikan untuk tidak dibuka atau tidak menjadi konsumsi publik.
Tidak Terbebani Optimisme Mabes Polri tentunya membawa konsekuensi tidak ringan. Pertama; upaya banding ini, meskipun sah menurut hukum, memberikan satu persepsi yang kurang menguntungkan bagi semangat transparansi yang tengah dibangun Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Seakan-akan Polri mempertahankan ‘’sesuatu’’ yang berlawanan arus dengan keyakinan publik. Publik menganggap ada yang tidak beres dengan rekening tersebut.
Kondisi itu lebih tidak menguntungkan lagi dan kontraproduktif apabila nantinya putusan banding ditolak. Ini berarti akan menjadi pukulan telak pada institusi Polri yang tengah membangun kepercayaan dengan meniupkan ruh transparansi kepada publik. Maka, menjadi terbalik keadaannya apabila Polri tidak mengajukan banding dan menerima perintah ajudikasi untuk membuka rekening gendut dengan menindaklanjutinya, misalnya melibatkan tim independen menyidik ulang asal-usul rekening bermasalah tersebut.
Kedua; semangat yang dibangun Kapolri dalam masa kepemimpinannya adalah mendorong jajaran kepolisian untuk tidak menjadikan institusi sebagai perisai atau tameng atas kesalahan yang diperbuat. Artinya, tidak ada lagi tempat bagi anggota Polri untuk berlindung di balik seragam korpsnya. Dengan pemahaman ini maka, setiap kesalahan yang bersifat individu, menjadi risiko pribadi dan institusi tidak akan melindunginya.
Dengan semangat ini, tentunya Polri seharusnya tidak perlu terbebani dengan permasalahan rekening gendut, dan tidak melawan arus keinginan masyarakat yang ingin mengetahui secara jelas detail rekening tersebut. (10)
— Herie Purwanto, pemerihati masalah hukum dan kepolisian
Wacana Suara Merdeka 18 Februari 2011