Kali ini anak-anak bangsa yang sedang menuntut ilmu menjadi korban kekerasan yang kian membatu.
Selasa, 15 Februari, persis pada peringatan kelahiran (Maulid) Nabi yang penyayang dan penuh rahmat itu, sekelompok umat Islam justru menebarkan kebencian dan menyerang Pondok Pesantren Yapi Bangil, Pasuruan.
Seolah orang lupa pada Sang Nabi yang menjunjung tinggi perbedaan dan menghargai kemanusiaan. Lupa bahwa Islam itu artinya damai (asal kata silm, berarti selamat, damai) dan berserah kepada Tuhan.
Ketika sekte Ahmadiyah dianiaya di Cikeusik dan gereja menjadi korban kerusuhan Temanggung, kita sudah geram. Kini, anarki di pesantren seperti puncaknya.
Walhasil, kita seperti hidup di hutan tanpa aturan. Jika semua itu dibiarkan, jangan heran jika ”virus” kekerasan menular dan lama-kelamaan dianggap wajar. Di sinilah perlunya keberanian menumpas tuntas kekerasan.
Sebagai pihak yang punya hak monopoli, pemerintah wajib menegakkan hukum agar kekerasan tidak berulang. Mengutip Khalifah keempat, Ali bin Abithalib, ”Apabila sikap lemah lembut menyebabkan terjadinya kerusakan dan pembangkangan, maka sikap tegas adalah bentuk lain ’kelemahlembutan’ itu sendiri.”
Rakyat menanti pernyataan pemerintah dari akan ditindak menjadi sudah ditindak, baik kepada perusuh maupun aparat keamanan yang tidak mampu mengamankan daerahnya.
Kita rindu anjuran (dakwah) yang ber-tasaamuh (mudah memaklumi dan memaafkan), aaqil (berakal sehat), dan ber-akhlaq-al-kariemah (budi baik penuh kedermawanan).
Karena sumber perbedaan biasanya berkait dengan ayat Al Quran yang sifatnya dhanniy (dugaan atau multitafsir)—yang jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat qath’i (pasti, tidak ada makna lain) seperti kebenaran Al Quran, Muhammad SAW sebagai utusan Tuhan terakhir, kita berharap ulama menekankan tidak ada salahnya berbeda pendapat sepanjang tujuannya sama.
Hindari kekerasan
Bayangkan bila setiap perbedaan penafsiran (pada ayat-ayat dhanniy) harus berujung pada bentrokan, berapa ribu kali kekerasan harus terjadi. Bukankah para pendiri lima mazhab besar (Syiah, Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafii) saling berkomunikasi dan menghormati meski mereka berbeda dalam ushul figih (hukum agama)?
Demi menghormati perbedaan, Imam Syafi’i (paling banyak pengikutnya di Indonesia) tidak membaca doa qunut ketika shalat di dekat kuburan Nukman Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) karena ia tahu Abu Hanifah tidak men-sunnah-kan qunut.
Nukman sendiri sangat menghormati gurunya, Imam Ja’far Shadiq, yang menjadi rujukan utama Muslim Syiah. Ia pernah belajar dua tahun kepada Ja’far sehingga pernah berucap, ”Jika bukan karena dua tahun, binasalah Nukman.” (Laula sanataan lahalaka Nu’man).
Kita berharap ulama mengikuti jejak para imam mazhab yang bijak itu, yang menekankan makna Islam sebagai agama yang rahmatan lil-alamien, agama damai yang cinta sesama.
Mesti digarisbawahi bahwa Islam sebagai agama sosial lebih mementingkan hubungan sesama manusia (muamalah atau hablum min-an-naas) ketimbang urusan ritual yang menyangkut hubungan kita dengan Tuhan (Hablun min-Allah). Buktinya, proporsi terbesar Al Quran dan kitab-kitab hadis untuk urusan sosial. Menurut sebagian ulama, ayat ibadah ritual di Al Quran hanya 5-10 persen dibanding ayat-ayat sosial.
Sebagaimana diriwayatkan dalam Sahih Bukhari, Nabi pernah mengundurkan waktu shalat Jumat bila udara di Madinah kelewat panas. Itu menunjukkan bila urusan ibadah bersamaan dengan urusan muamalah yang penting, ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan.
Yang jelas, Tuhan memang tidak hendak menciptakan umat yang menganut agama tunggal. ”Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan.” (QS Al-Maidah: 48).
Di keragaman itulah Islam berdiri di tengah. Di keragaman itu kita semua ”berjihad”, mengalahkan musuh dalam bentuk kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan ketidakadilan.
Syafiq Basri Assegaff Dosen Ilmu Komunikasi dan Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina
Opini Kompas 18 Februari 2011