Oleh : Harmada Sibuea
Alkisah seorang anak kecil bertanya kepada ayahnya yang kebetulan sedang menonton berita di televisi. Dalam kepolosan dan dalam keingintahuan yang besar, si anak tersebut bertanya, "pak, pemerintah itu apa ya? Dimana mereka berada dan apa kerjaan mereka?"
Sekilas, pertanyaan si anak kecil tersebut cukup sederhana. Namun kenyataannya, si ayah yang kebetulan seorang Guru besar di salah satu Universitas terkemuka di Indonesia itu, harus memutar kepala agar bisa menjawab pertanyaan anak kecil tersebut. Harus diakui, jawaban pertanyaan tersebut ternyata tidak sesederhana pertanyaannya.
Jika kita mencoba mengkaitkan pertanyaan tersebut dengan kenyataan riil sekarang ini, agaknya, pertanyaan si anak kecil tersebut merupakan pertanyaan juta orang di negeri ini. Di tengah krisis panjang yang mendera dan di tengah kehidupan yang bukannya semakin membaik namun semakin mengalami kesukaran, wajar jika jutaan orang di republik ini mempertanyakan kehadiran pemerintah. Sebab kesejahteraan yang dijanjikan pemerintah tidak kunjung bisa disajikan. Jangankan kesejahteraan, kehidupan yang ala kadarnya yang sedikit di atas kemeralatan pun sekarang ini terasa sulit. Makin hari, jutaan orang di negeri yang dulu bermimpi menjadi negeri yang "gemah ripah loh jinawi" ini, semakin merasakan kehidupan yang berat. Harga-harga naik, sedangkan daya beli semakin menurun.
Si Kaya dan Si Miskin
Tak pelak, jutaan orang di nusantara ini harus hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Jutaan anak tak bisa menikmati makanan dan tempat tinggal yang sehat. Di banyak tempat di negeri ini, kita bisa menyaksikan langsung banyak anak-anak yang harus tumbuh dan besar dalam kondisi yang memprihatinkan. Tinggal di tempat yang kumuh dan dengan makanan yang apa adanya. Belum lagi jika kita bicara soal pendidikan. Padahal Negara pernah berjanji untuk memberikan kesempatan kepada mereka untuk menikmati pendidikan sebagaimana diatur dalam konstitusi. Namun sayang, janji tersebut masih tinggal janji. Jutaan anak tak bisa mengecap nikmatnya pendidikan. Bahkan, banyak diantara mereka yang dieksploitasi untuk kepentingan tertentu. Baik oleh orang tua, preman berdasi, pengusaha dan lain sebagainya.
Memang, tak semua orang di negeri ini yang mengalami kondisi demikian. Masih ada orang-orang yang bisa menikmati kesejahteraan, bahkan beberapa diantaranya bisa menikmati kemewahan. Ironisnya, kehidupan antar si kaya dan si miskin sangat kontradiktif di republik ini. Menurut data yang ada, 20 persen jumlah penduduk di negeri ini menguasai 80 persen sumber daya yang tersedia, sedangkan 80 persen penduduk lainnya harus berbagi dan berebut sumber daya yang tersisa. Supaya lebih konkrit, baru-baru ini majalah Forbes baru merilis nama-nama orang yang termasuk para penikmat kekayaan di negeri ini. Coba kita bandingkan kekayaan para taipan tersebut dengan kekayaan yang dimiliki jutaan orang yang oleh Negara menyebut mereka sebagai penduduk miskin. Kalau para taipan memiliki kekayaan jutaan dolar AS, sedangkan para penduduk bernasib "sial" cuma bisa menikmati hidup dengan uang sepuluh ribu rupiah per hari.
Ironis sekali bukan? Kesenjangan semakin terbuka lebar. Disinilah fungsi Negara (pemerintah) seharusnya nyata, untuk mempersempit kesenjangan yang ada. Jangan sampai hanya 20 persen orang yang menikmati mayoritas kekayaan di negeri ini, sementara 80 persen lainnya saling sikut untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari. Tugas negaralah untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Dan tugas Negara pulalah untuk memastikan agar seluruh rakyat bisa mengakses setiap kebutuhan yang mereka butuhkan.
Kalau kita mereviw kembali sejarah, Negara lahir/dibentuk karena ada rakyat, bukan sebaliknya. Rakyat menginginkan supaya ada lembaga/organisasi yang mengatur dan menjamin berjalannya kehidupan dengan teratur. Karena itu, rakyat membayar upeti atau pajak untuk membiayai jalannya roda pemerintahan. Jadi pemerintah digaji dan dibiayai untuk melayani rakyat dan memastikan agar rakyat bisa menikmati kehidupan. Secara hirarkis –kalaupun mau bicara hirarkis, rakyat merupakan atasan pemerintah karena rakyat yang mengangkat dan membiayai pemerintah. Sayangnya, yang kerap terjadi malah yang sebaliknya. Rakyat yang senantiasa dipaksa memenuhi kebutuhan pemerintah, sedangkan sebaliknya sangat jarang terjadi.
Pemerintah Absen
Dalam banyak kesulitan yang dihadapi masyarakat, kerap sekali pemerintah absen. Masyarakat sering tidak tahu mau mengadu dan minta tolong kepada siapa karena pemerintah tuli dan tidak peduli terhadap keadaan masyarakat. Ambil contoh para petani. Baik ketika panen maupun ketika gagal panen, petani jarang merasakan kehadiran pemerintah. Ketika panen, mereka habis dijarah tengkulak. Ketika gagal panen baik karena cuaca, bencana maupun karena hama, mereka menanggung sendiri "nasib sial"-nya. Petani dibiarkan bertarung sendiri melawan sulitnya kehidupan, sedangkan pemerintah tidak tahu entah dimana.
Contoh lain, soal TKI dan bencana alam. Bolak-balik para TKI menanggung derita di negeri orang, namun Negara tak kunjung bisa memberi perlindungan. Tak sedikit TKI yang pulang dengan tangan hampa dan dengan luka sekujur tubuh, bahkan beberapa diantaranya sudah terbujur kaku di dalam peti, namun Negara hanya bisa mengatakan turut prihatin dan akan membentuk tim advokasi.
Ketika bencana pun datang menghadang, pemerintah tidak pernah siap untuk menanggulanginya. Padahal pemerintah sendiri yang bilang bahwa negeri ini rawan bencana. Namun kita menyaksikan, ketika bencana datang menghampiri, pemerintah kelabakan dan tak jarang masyarakat korban bencana dibiarkan terlantar. Dengan dalih seribu satu alasan, pemerintah menggunakan retorika-retorika klasik untuk membela diri. Sedangkan para korban, tak punya pilihan lain selain menunggu, menunggu dan menunggu.
Tentu masih banyak lagi bukti-bukti konkrit kealpaan Negara dalam melayani masyarakat. Parahnya, Negara malah sibuk dengan dirinya sendiri, sehingga rakyat kerap terlupakan. Mulai dari urusan internal seperti perebutan kekuasaan, hingga sibuk memperkaya diri sendiri. Berbagai macam cara dilakukan supaya uang rakyat bisa masuk ke kantong sendiri. Dengan dalih gaji tak mencukupi, mulailah mereka beramai-ramai menjarah uang rakyat. Urusan rakyat? "Peduli amat!"
Salahkah jika rakyat mulai sering bertanya, "pemerintah itu apa dan dimana mereka sekarang?" Hanya waktu yang bisa menjawabnya.***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik, aktif di Perkamen.
Opini Analisa Daily 14 Desember 2010