Sarjana Australia, Ed Aspinall, mengungkap secara jitu karakter negativitas dalam gembar-gembor dan optimisme demokrasi di Indonesia.
Pada artikel berjudul ”Indonesia: Irony of Success” dalam Journal of Democracy Vol 21, April 2010, Aspinall mengatakan, realitas berdemokrasi di Indonesia dideterminasi secara unik oleh hal-hal di luar normativitasnya, substansinya. Di Indonesia demokrasi disebut sebagai demokrasi justru karena ia membolehkan merajalelanya kehadiran praktik yang memusuhi demokrasi sendiri: kekerasan berbasis agama, bos-bos lokal yang menyandera pilkada, reproduksi kekuasaan birokrasi lama, dan politik akomodasi terhadap kekuatan militer dengan ongkos penyingkiran persoalan hak asasi manusia.
Indonesia memang sedikit beruntung karena memiliki pemimpin yang ingin dipandang oleh dunia internasional sebagai pemimpin dengan komitmen kepada demokrasi. Meski demikian, kelemahan dalam ”politik demokrasi” dan pembiarannya terhadap menguatnya kecenderungan konservatif dalam legislatif maupun pemerintahan dianggap bisa membawa akibat buruk kepada demokrasi di masa depan.
Sifat-sifat yang disebut Aspinall di atas secara kompleks juga berposisi paralel dengan modus konvensional yang ditempuh banyak kalangan, baik domestik maupun internasional, untuk demokrasi Indonesia: model demokrasi yang distandardisasi oleh pendekatan institusional.
Pendekatan ini mencoba meringkas dan menyederhanakan seluruh praktik, tindakan politik demokrasi ke dalam kelembagaan yang normal dalam demokrasi modern, seperti partai politik, lembaga legislatif, komisi negara, dan pers bebas.
Normalisasi ini diposisikan sebagai ”arena” yang sah bagi pembahasan ideal demokrasi kepolitikan secara umum. Standardisasi dan formalisasi ini pula yang kiranya bisa kita rujuk sebagai asal-muasal munculnya ”gaya politik” yang serba formal dan normatif yang diadopsi oleh kepemimpinan politik sekarang.
Dengan demikian, dari dua penjelasan ini kita menemukan bahwa demokrasi Indonesia dideterminasi oleh dua arus yang ganjil: yang pertama adalah dinamisasi demokrasi tapi oleh arus negativitasnya: kekerasan, diskriminasi, bos lokal. Yang kedua adalah pemapanan institusi demokrasi melalui formalisasi seluruh praktik politik, termasuk gaya kepemimpinannya. Dengan komposisi ini, demokrasi Indonesia sebagaimana diklaim dalam aneka pidato memang relatif stabil.
Konsensus ortodoks
Dengan citra stabilitas inilah kemudian muncul semacam konsensus ortodoks untuk memapankan situasi kini bahwa demokrasi mesti dipisahkan dengan ide dan kemungkinan perubahan. Konsensus ortodoks menginginkan agar kritik tak boleh melebihi imbauan. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa karena semua sudah diperbolehkan dan disediakan dalam demokrasi, perubahan sudah tak terlampau diperlukan.
Pandangan ini menganjurkan bahwa kalau ada kesalahan dari kerja sistem, itu mesti dilihat sebagai ”kekurangan” sewajarnya yang justru harus ditambal oleh mereka yang mengetahuinya. Di titik ini, demokrasi membagi tanggung jawab keburukan kepada semua pihak, tetapi menyerahkan semua fasilitasnya bagi segelintir elite penikmat. Lalu, apa yang keliru atau kurang dari situasi ini?
Pemikir politik Perancis, Jacques Ranciere, pernah mengatakan bahwa demokrasi senantiasa ditandai dengan ”kesalahan hitung” dan politik yang rutin serta konvensional terus berupaya menyembunyikan kesalahan itu. Kesalahan hitung dalam demokrasi muncul ketika institusi dan formalisasi politik yang eksis mendefinisikan dirinya, tetapi sambil mengusir mereka yang terlemah dalam masyarakat. Di sini, apa yang dinyatakan secara normatif oleh instalasi demokrasi resmi sering kali tak bersesuaian dengan kenyataan yang ada.
Normativitas demokrasi kita secara formal mengagungkan ”kedaulatan rakyat”. Namun, rakyat di situ sebenarnya adalah ”rakyat” yang sudah mengalami ”sterilisasi” . Karena yang terlemah di dalam masyarakat tak dimasukkan sebagai ”rakyat”: kaum minoritas yang mengalami gangguan dan kekerasan, kelompok gay dan lesbian yang mengalami diskriminasi, buruh migran yang terlunta, kaum miskin di perkotaan, suku terasing di pedalaman. Kata rakyat dalam formalisasi demokrasi kita adalah rakyat sejauh yang diterima dalam konsensus ortodoks itu.
Di titik ini, reputasi demokrasi kita secara ironis berjalan seiring dengan ”pengusiran” mereka yang terlemah dalam masyarakat. Pengusiran ini belum lagi menghitung mereka yang juga tersisihkan atau mengalami pemburukan akibat ketakmerataan dalam diskursus. Ketakmerataan ini berkaitan dengan situasi di mana masalah dan agenda demokrasi dikendalikan oleh para elite, kaum kaya, dan sekaligus industrialis media.
Penataan agenda ini nyaris membuat ideal ”kebebasan berpendapat” menjadi absurd. Karena ”kebebasan berpendapat” tidak lebih menjadi sekadar etalase dari industri opini-opini yang dikendalikan oleh politisi pemilik media untuk memenangkan kepentingan mereka masing-masing.
Disensus
Dengan melihat situasi ironi dalam demokrasi, muncul pertanyaan, apa yang masih bisa kita lakukan untuk memperbaiki keadaan? Apakah masih mungkin sesuatu dilakukan melalui apa yang tersedia dalam matriks kepolitikan yang ada?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa kembali mengundang Ranciere. Mengenai politik, Ranciere menganjurkan agar kita membedakan ”yang politis” sebagai lawan dari ”politik”. Politik adalah segala aktivitas kekuasaan yang rutin. Politik yang rutin ini memang dimaksudkan untuk membangun klasifikasi, partisi, dan hierarki sehingga oleh karenanya ia pasti menyembunyikan ketaksetaraan. Inilah politik yang ditandai dengan ”kesalahan hitung” itu tadi.
Meski demikian, politik rutin ini tak bisa dimusnahkan. Ia memang menjadi penampang harian dari eksistensi kepolitikan normal. Yang bisa kita lakukan terhadap politik jenis ini adalah dengan terus-menerus mengungkapkan apa yang disembunyikannya dan berupaya sekuat mungkin menghadirkan mereka yang ditekuk dan disembunyikannya untuk muncul sebagai subyek politik. Upaya pengungkapan dan penghadiran kembali mereka yang ”tidak dihitung” dalam demokrasi inilah yang disebut dengan ”yang politis”.
Dengan demikian, dalam kerangka ”yang politis” ini suatu upaya terus-menerus untuk memeriksa dan menguak topeng konsensus yang diproduksi secara nyaman oleh politik rutin menjadi sangat penting dilakukan. Inilah yang disebut Ranciere sebagai disensus.
Dengan disensus, kita diajak mengungkap apa yang disembunyikan oleh klaim-klaim demokrasi kontemporer dan menghadirkan kembali mereka yang terusir dan terlemah ke dalam arena. Dari situ upaya mematahkan hierarki dan partisi sosial yang memapankan ketakadilan juga menjadi mungkin.
Disensus inilah kiranya yang mesti kita jadikan agenda pokok politik demokrasi kontemporer untuk Indonesia. Di dalam disensus kita mendorong dan membuka selebar-lebarnya pintu serta peluang yang disediakan oleh demokrasi justru bagi mereka yang sebenarnya paling membutuhkan.
Indonesia adalah negara demokrasi. Ini fakta yang boleh saja kita terus banggakan dan tak dapat kita bantah. Namun, demokrasi yang hanya menghasilkan puja-puji, sikap pasif yang reseptif, demokrasi yang tanpa gedoran internal di dalamnya adalah demokrasi narsistik yang menyimpan kebusukan ketaksetaraan. Demokrasi membutuhkan disensus dan di dalam disensus pula kita berkemungkinan mencapai apa yang selama ini dicita- citakan untuk Indonesia: kesetaraan untuk semua!
Robertus Robet Pengajar Sosiologi Universitas Negeri Jakarta; Sekjen Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
Opini Kompas 15 Desember 2010