SEMANGAT keterbukaan dan pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan dalam proses pengadaan (dan pembelian) barang dan jasa dengan mengumumkan rencana pengadaan dan pembukaan lelang-lelang melalui media massa cetak kini terhenti. Transparansi yang bergulir setelah reformasi, bahkan dikuatkan dengan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah terhenti karena terbitnya Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang secara mendasar mencabut Keppres itu. Termasuk di dalamnya meniadakan kewajiban pengumuman pengadaan atau lelang serta rencana pengadaan melalui media massa cetak.
Berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010, untuk pengadaan barang dan jasa maka kementerian, lembaga, institusi, dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) cukup memasang pengumumannya di website dan papan pengumuman kantor masing-masing. Website memang cukup layak dikembangkan secara teknis, mengingat ke depan pengadaan juga memakai model e-proc (pengadaan secara elektronik). Persoalannya, apakah sudah semua unit kerja (kementerian, lembaga, institusi, atau SKPD) memiliki website memadai? Kalau belum, berarti mengandalkan keterbukaan pada papan pengumuman.
Papan pengumuman seolah fenomena lama yang mendadak dibangkitkan kembali, tanpa alasan kuat. Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang semula sudah cukup terbuka, kembali meredup dengan aturan baru. Ini fenomena melawan arus keterbukaan, yang bisa saja diterjemahkan sebagai sikap atau keinginan sekelompok penguasa dan birokrasi untuk melanggengkan rezim tertutup —satu model yang memberi ruang besar terjadinya KKN.
Sebelum ada mekanisme pengumuman lelang melalui media massa cetak, pengadaan barang dan jasa pemerintah memakai papan pengumuman sebagai media sosialisasi. Namun prosesnya sulit dipertanggungjawabkan, sehingga badan publik —baik itu departemen, lembaga, institusi, dan SKPD— yang merasa perlu melakukan keterbukaan dan membutuhkan vendor yang berkualitas, harus mengiklankan lelang di surat kabar.
Semasa Keppres Nomor 80 Tahun 2003 berlaku muncul banyak keluhan dari kalangan birokrasi dan pemerintahan, di antaranya gejala rendahnya penyerapan anggaran negara ataupun daerah karena ketatnya aturan, banyaknya personel yang takut ditunjuk sebagai pimpinan atau bendaharawan proyek karena adanya gelombang penangkapan pimpro dan bendaharawan proyek oleh KPK atau aparat hukum lainnya. Belum lagi soal proses sanggah banding yang bisa makan waktu hingga 6 bulan.
Lebih Lancar
Munculnya ketakutan aparat birokrasi yang ditunjuk menjadi satuan kerja, kuasa pengguna anggaran atau pimpro cukup beralasan karena intensnya sorotan terhadap mereka yang menangani proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Hadirnya Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentu akan menghilangkan kekhawatiran dan ketakutan orang yang ditunjuk sebagai pengelola proyek pemerintah, misalnya dengan munculnya pembagian tanggung jawab antara pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran (PA/KPA), pejabat pembuat komitmen (PPK), pejabat pengadaan (ULP) dan panitia atau pejabat penerima hasil pekerjaan. Dulu struktur dan alurnya menyatu, sekarang dipisah-pisahkan.
Permasalahan yang sering mengganjal kelancaran pengadaan seperti penyelesaian keberatan (masa sanggah) yang semula bisa memakan waktu sampai 6 bulan, sekarang dipersingkat menjadi 21 hari. Dengan begitu akan makin sedikit proyek pengadaan gagal dilaksanakan karena diterjang batas waktu akibat berbelitnya proses penyelesaian keberatan atau sanggahan.
Yang menarik, peserta pengadaan atau pihak lain yang keberatan dengan hasil penetapan pemenang tender, tidak bisa lagi seenaknya mengajukan keberatan. Ada bagian dari tanggung jawab dari pihak-pihak yang mengajukan sanggahan, yakni kewajiban menyetor biaya jaminan 2,5 per mil dari harga patokan setempat (HPS) atau maksimal Rp 50 juta bila nilai proyeknya sangat tinggi, guna menunjukkan keseriusannya. Uang jaminan tersebut dikembalikan jika sanggahan terbukti benar, dan hangus kalau sanggahan tidak terbukti. (10)
— Doktor Nurul Akhmad SH MHum, Kepala Pusat Soshum Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Unnes
Berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010, untuk pengadaan barang dan jasa maka kementerian, lembaga, institusi, dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) cukup memasang pengumumannya di website dan papan pengumuman kantor masing-masing. Website memang cukup layak dikembangkan secara teknis, mengingat ke depan pengadaan juga memakai model e-proc (pengadaan secara elektronik). Persoalannya, apakah sudah semua unit kerja (kementerian, lembaga, institusi, atau SKPD) memiliki website memadai? Kalau belum, berarti mengandalkan keterbukaan pada papan pengumuman.
Papan pengumuman seolah fenomena lama yang mendadak dibangkitkan kembali, tanpa alasan kuat. Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang semula sudah cukup terbuka, kembali meredup dengan aturan baru. Ini fenomena melawan arus keterbukaan, yang bisa saja diterjemahkan sebagai sikap atau keinginan sekelompok penguasa dan birokrasi untuk melanggengkan rezim tertutup —satu model yang memberi ruang besar terjadinya KKN.
Sebelum ada mekanisme pengumuman lelang melalui media massa cetak, pengadaan barang dan jasa pemerintah memakai papan pengumuman sebagai media sosialisasi. Namun prosesnya sulit dipertanggungjawabkan, sehingga badan publik —baik itu departemen, lembaga, institusi, dan SKPD— yang merasa perlu melakukan keterbukaan dan membutuhkan vendor yang berkualitas, harus mengiklankan lelang di surat kabar.
Semasa Keppres Nomor 80 Tahun 2003 berlaku muncul banyak keluhan dari kalangan birokrasi dan pemerintahan, di antaranya gejala rendahnya penyerapan anggaran negara ataupun daerah karena ketatnya aturan, banyaknya personel yang takut ditunjuk sebagai pimpinan atau bendaharawan proyek karena adanya gelombang penangkapan pimpro dan bendaharawan proyek oleh KPK atau aparat hukum lainnya. Belum lagi soal proses sanggah banding yang bisa makan waktu hingga 6 bulan.
Lebih Lancar
Munculnya ketakutan aparat birokrasi yang ditunjuk menjadi satuan kerja, kuasa pengguna anggaran atau pimpro cukup beralasan karena intensnya sorotan terhadap mereka yang menangani proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Hadirnya Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentu akan menghilangkan kekhawatiran dan ketakutan orang yang ditunjuk sebagai pengelola proyek pemerintah, misalnya dengan munculnya pembagian tanggung jawab antara pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran (PA/KPA), pejabat pembuat komitmen (PPK), pejabat pengadaan (ULP) dan panitia atau pejabat penerima hasil pekerjaan. Dulu struktur dan alurnya menyatu, sekarang dipisah-pisahkan.
Permasalahan yang sering mengganjal kelancaran pengadaan seperti penyelesaian keberatan (masa sanggah) yang semula bisa memakan waktu sampai 6 bulan, sekarang dipersingkat menjadi 21 hari. Dengan begitu akan makin sedikit proyek pengadaan gagal dilaksanakan karena diterjang batas waktu akibat berbelitnya proses penyelesaian keberatan atau sanggahan.
Yang menarik, peserta pengadaan atau pihak lain yang keberatan dengan hasil penetapan pemenang tender, tidak bisa lagi seenaknya mengajukan keberatan. Ada bagian dari tanggung jawab dari pihak-pihak yang mengajukan sanggahan, yakni kewajiban menyetor biaya jaminan 2,5 per mil dari harga patokan setempat (HPS) atau maksimal Rp 50 juta bila nilai proyeknya sangat tinggi, guna menunjukkan keseriusannya. Uang jaminan tersebut dikembalikan jika sanggahan terbukti benar, dan hangus kalau sanggahan tidak terbukti. (10)
— Doktor Nurul Akhmad SH MHum, Kepala Pusat Soshum Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Unnes
Opini Suara Merdeka 15 Desember 2010