Oleh H. Djoemad Tjiptowardojo
Reformasi birokrasi dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam paruh waktu kedua ini, setidaknya belum memberikan harapan yang signifikan. Selain masih tersendatnya persoalan yang berkaitan dengan pelayanan publik, juga akibat karakteristik kepemimpinan birokrasi paternalistis yang dinilai tidak sejalan dengan tuntutan reformasi yang menghendaki transparansi pada setiap penetapan jabatan publik yang masih ada kecenderungan kepentingan politik.
Menurut Max Weber, birokrasi merupakan tipe ideal untuk menjalankan roda organisasi karena menghargai profesionalisme dan hubungan kerja dalam organisasi yang bersifat tidak personal. Dalam pandangan Weber, sulit menghasilkan pemimpin mandiri, profesional, dan memiliki kredibilitas yang dilegitimasi rakyat sebagai pihak yang harus dilayani.
Pada aspek komunikasi nonformal juga sangat mudah terlihat betapa kuatnya akar dalam kepemimpinan birokrasi. Oleh karena itu, reformasi yang menjadi amanah ini tetap harus diperjuangkan dengan serius di tubuh lembaga pemerintah dan harus menitikberatkan langkah-langkah mengubah karakteristik pejabat pemerintah paternalistis agar menjadi profesional dan transparan, sejalan dengan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana mendukung kinerja pemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi yang tepat pada sasaran?
Pertama, birokrasi yang bersih dan efisien. Birokrasi yang bersih difokuskan pada pengurangan secara signifikan praktik-praktik KKN melalui pembenahan pengelolaan anggaran, perbaikan kesejahteraan PNS, peningkatan pengawasan, dan penegakan aturan-aturan hukum. Pembentukan birokrasi yang efisien dilakukan dengan melakukan reorganisasi kelembagaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi, serta kewenangan yang ditujukan untuk mengurangi pemborosan keuangan negara melalui program penghematan bagi pembiayaan operasional birokrasi.
Kedua, birokrasi yang transparan. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik dapat diakses secara luas oleh masyarakat melalui dibukanya ruang publik (misalnya, melalui e-government dan lain-lain) sehingga dapat mempersempit ruang gerak untuk melakukan perbuatan hukum, seperti penyalahgunaan wewenang jabatan.
Ketiga, birokrasi yang melayani. Perubahan orientasi dan paradigma birokrasi yang primordialisme menjadi pelayan masyarakat luas. Esensinya untuk melayani dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat secara adil dan profesional.
Keempat, birokrasi yang netral, dalam arti menciptakan kinerja birokrasi yang bebas dari intervensi politik kepentingan dan tetap memperhatikan hak-hak birokrasi sebagai warga negara.
Sementara itu, pokok-pokok pembenahan dan penataan yang harus diperhatikan dalam rangka reformasi birokrasi yakni menata ulang kewenangan dan tugas pokok/fungsi organisasi dari pusat hingga daerah. Hal itu bertujuan menghilangkan tumpang tindih kewenangan dan memperjelas garis koordinasi vertikal dan horizontal. Efisiensi anggaran operasional pemerintah terukur, terutama pengeluaran pegawai, perjalanan dinas, berbagai fasilitas seperti kendaraan dan perumahan serta sarana prasarana pemerintah melalui reformasi sistem penganggaran.
Selanjutnya, menyederhanakan sistem kerja internal birokrasi sehingga memungkinkan proses perumusan kebijakan, koordinasi, dan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih cepat dan konkret. Pembenahan lainnya, penyederhanaan prosedur peri-zinan guna menumbuhkan pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha, penataan ulang sistem pembinaan PNS, serta memperluas sistem informasi kepada publik untuk menciptakan administrasi yang transparan dan pelayanan umum berkualitas.
Dari sekian banyak kasus besar yang terjadi dalam birokrasi, termasuk persoalan Gayus Tambunan, sebenarnya sudah harus menjadi bahan pemikiran untuk melihat kembali apakah reformasi birokrasi yang dilakukan telah berjalan? Kalau sudah berjalan, mengapa selalu menjadi batu sandungan ketika dibenturkan dengan keinginan rakyat.
Semua orang tentunya berharap reformasi birokrasi benar-benar dilakukan secara profesional dan melahirkan pelayanan publik terbaik. Birokrasi yang profesional dapat dilihat ketika dalam penerapan merit system, yakni dengan memberikan penghargaan kepada para birokrat yang berkualitas, punya integritas dan kredibilitas. Dengan demikian, tidak salah jika diefektifkan mekanisme pengawasan dan feedback dari publik sebagai pihak pengguna jasa birokrasi agar birokrasi tetap berjalan di jalurnya dan tetap optimal.
Pengawasan birokrasi selama ini terlalu bertumpu pada pengawasan internalnya yang justru sering terjadi adanya kompromi ketika pengawasan itu dilakukan sehingga menjadi tidak efektif. Untuk mencegah kasus-kasus penyimpangan terulang kembali, diperlukan sistem pengawasan terpadu terhadap kinerja birokrasi. Pengawasan terpadu ini memadukan internal dan eksternal. Bila perlu mengadopsi pengawasan berlapis, seperti yang berlaku dalam reformasi sektor keamanan, yang dimulai dari instansi birokrasi, kemudian pengawasan institusi hukum, pengawasan parlemen, LSM, masyarakat, dan petinggi di jajaran eksekutif, terutama menteri dan presiden.***
Penulis, Ketua STIA BAGASASI Bandung, juga Ketua Pimda GMNI Jawa Barat.
Reformasi birokrasi dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam paruh waktu kedua ini, setidaknya belum memberikan harapan yang signifikan. Selain masih tersendatnya persoalan yang berkaitan dengan pelayanan publik, juga akibat karakteristik kepemimpinan birokrasi paternalistis yang dinilai tidak sejalan dengan tuntutan reformasi yang menghendaki transparansi pada setiap penetapan jabatan publik yang masih ada kecenderungan kepentingan politik.
Menurut Max Weber, birokrasi merupakan tipe ideal untuk menjalankan roda organisasi karena menghargai profesionalisme dan hubungan kerja dalam organisasi yang bersifat tidak personal. Dalam pandangan Weber, sulit menghasilkan pemimpin mandiri, profesional, dan memiliki kredibilitas yang dilegitimasi rakyat sebagai pihak yang harus dilayani.
Pada aspek komunikasi nonformal juga sangat mudah terlihat betapa kuatnya akar dalam kepemimpinan birokrasi. Oleh karena itu, reformasi yang menjadi amanah ini tetap harus diperjuangkan dengan serius di tubuh lembaga pemerintah dan harus menitikberatkan langkah-langkah mengubah karakteristik pejabat pemerintah paternalistis agar menjadi profesional dan transparan, sejalan dengan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana mendukung kinerja pemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi yang tepat pada sasaran?
Pertama, birokrasi yang bersih dan efisien. Birokrasi yang bersih difokuskan pada pengurangan secara signifikan praktik-praktik KKN melalui pembenahan pengelolaan anggaran, perbaikan kesejahteraan PNS, peningkatan pengawasan, dan penegakan aturan-aturan hukum. Pembentukan birokrasi yang efisien dilakukan dengan melakukan reorganisasi kelembagaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi, serta kewenangan yang ditujukan untuk mengurangi pemborosan keuangan negara melalui program penghematan bagi pembiayaan operasional birokrasi.
Kedua, birokrasi yang transparan. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik dapat diakses secara luas oleh masyarakat melalui dibukanya ruang publik (misalnya, melalui e-government dan lain-lain) sehingga dapat mempersempit ruang gerak untuk melakukan perbuatan hukum, seperti penyalahgunaan wewenang jabatan.
Ketiga, birokrasi yang melayani. Perubahan orientasi dan paradigma birokrasi yang primordialisme menjadi pelayan masyarakat luas. Esensinya untuk melayani dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat secara adil dan profesional.
Keempat, birokrasi yang netral, dalam arti menciptakan kinerja birokrasi yang bebas dari intervensi politik kepentingan dan tetap memperhatikan hak-hak birokrasi sebagai warga negara.
Sementara itu, pokok-pokok pembenahan dan penataan yang harus diperhatikan dalam rangka reformasi birokrasi yakni menata ulang kewenangan dan tugas pokok/fungsi organisasi dari pusat hingga daerah. Hal itu bertujuan menghilangkan tumpang tindih kewenangan dan memperjelas garis koordinasi vertikal dan horizontal. Efisiensi anggaran operasional pemerintah terukur, terutama pengeluaran pegawai, perjalanan dinas, berbagai fasilitas seperti kendaraan dan perumahan serta sarana prasarana pemerintah melalui reformasi sistem penganggaran.
Selanjutnya, menyederhanakan sistem kerja internal birokrasi sehingga memungkinkan proses perumusan kebijakan, koordinasi, dan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih cepat dan konkret. Pembenahan lainnya, penyederhanaan prosedur peri-zinan guna menumbuhkan pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha, penataan ulang sistem pembinaan PNS, serta memperluas sistem informasi kepada publik untuk menciptakan administrasi yang transparan dan pelayanan umum berkualitas.
Dari sekian banyak kasus besar yang terjadi dalam birokrasi, termasuk persoalan Gayus Tambunan, sebenarnya sudah harus menjadi bahan pemikiran untuk melihat kembali apakah reformasi birokrasi yang dilakukan telah berjalan? Kalau sudah berjalan, mengapa selalu menjadi batu sandungan ketika dibenturkan dengan keinginan rakyat.
Semua orang tentunya berharap reformasi birokrasi benar-benar dilakukan secara profesional dan melahirkan pelayanan publik terbaik. Birokrasi yang profesional dapat dilihat ketika dalam penerapan merit system, yakni dengan memberikan penghargaan kepada para birokrat yang berkualitas, punya integritas dan kredibilitas. Dengan demikian, tidak salah jika diefektifkan mekanisme pengawasan dan feedback dari publik sebagai pihak pengguna jasa birokrasi agar birokrasi tetap berjalan di jalurnya dan tetap optimal.
Pengawasan birokrasi selama ini terlalu bertumpu pada pengawasan internalnya yang justru sering terjadi adanya kompromi ketika pengawasan itu dilakukan sehingga menjadi tidak efektif. Untuk mencegah kasus-kasus penyimpangan terulang kembali, diperlukan sistem pengawasan terpadu terhadap kinerja birokrasi. Pengawasan terpadu ini memadukan internal dan eksternal. Bila perlu mengadopsi pengawasan berlapis, seperti yang berlaku dalam reformasi sektor keamanan, yang dimulai dari instansi birokrasi, kemudian pengawasan institusi hukum, pengawasan parlemen, LSM, masyarakat, dan petinggi di jajaran eksekutif, terutama menteri dan presiden.***
Penulis, Ketua STIA BAGASASI Bandung, juga Ketua Pimda GMNI Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 15 Desember 2010