Oleh : Jef Rudiantho Saragih
Akhir November lalu, Menteri Pertanian menyatakan bahwa kopi merupakan prioritas utama dalam program revitalisasi perkebunan tahun 2011.
Revitalisasi mengandung makna bahwa selama ini kopi memang sudah vital alias sangat penting dan sangat diperlukan. Cuma sudah lama terlupakan, jadinya perlu di-vital-kan kembali. Revitalisasi!
Ini merupakan kabar gembira bagi petani kopi sebab sejak Permentan 33/2006 yang hanya memasukkan kelapa sawit, karet dan kakao dalam program revitalisasi perkebunan; kopi seakan terabaikan. Meskipun sedikit terlambat, kabar gembira ini patut disambut, didukung dan diberi masukan.
Mengapa kopi begitu penting bagi perekonomian bangsa dan petani? Kopi merupakan komoditas terpenting kedua, setelah minyak bumi, dalam perdagangan global. Hanya tiga wilayah utama penghasil kopi di dunia: Amerika Latin memasok 62 persen, Asia 25 persen dan sisanya dari Afrika. Indonesia merupakan negara produsen kopi utama keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia. Keempat negara tersebut menghasilkan 60 persen produksi kopi dunia.
Berbeda dengan kelapa sawit yang sebagian besar dikelola oleh perkebunan besar negara dan swasta, kopi hampir seluruhnya (96 persen) dikelola oleh rakyat. Artinya, pengembangan kopi akan langsung menyentuh sendi-sendi kehidupan petani di berbagai sentra produksi di Indonesia.
Revitalisasi kopi menjadi sangat strategis. Produktivitas kopi kita masih sekitar 700 kg/ha/tahun, masih 60 persen dari potensi produksi. Lebih rendah dibanding negara pesaing utama: Brazil, Vietnam, Kolombia. Sebabnya? Program-program pengembangan kopi kita masih kalah dengan negara-negara itu, bahkan dengan negara ‘kecil’ Vietnam itu.
Terdapat dua jenis kopi yang utama dikenal di pasar kopi global. Kopi arabika dan robusta. Bagi penikmat kopi, arabika lebih disukai daripada robusta. Dengan begitu, harga kopi arabika pun lebih tinggi dibanding kopi robusta. Sayangnya, dari empat negara utama produsen kopi itu, Indonesia dan Vietnam dominan menghasilkan kopi robusta. Sebagai gambaran, produksi kopi arabika Brazil mencapai 76 persen, Kolombia bahkan 98 persen, sementara Indonesia hanya 18 persen.
Awalnya, petani kopi Vietnam hanya menghasilkan 5 persen arabika dari total produksinya. Namun kini mereka telah melakukan program terarah dalam konversi kopi robusta ke arabika. Dukungan pemerintah Vietnam sangat nyata bagi peningkatan areal dan produktivitas kopi arabika ini. Keberhasilan Vietnam dalam pengembangan kopi didukung peran pemerintah dalam membangun irigasi, jalan-jalan di sentra produksi, penelitian, penyuluhan dan kredit, serta hak pengelolaan lahan tak terbatas hingga 50 tahun. Sesungguhnya, Indonesia perlu belajar banyak ke Vietnam.
Kopi Sumatera UtaraArah pengembangan kopi sebaiknya fokus pada kopi arabika. Kopi arabika asal Indonesia sudah memiliki reputasi baik di pasar internasional sebagai specialty coffee. Sebut saja, misalnya, Gayo Coffee, Mandheling Coffee, Lintong Coffee, Toraja Coffee, Java Coffee, Kintamani Coffee, Kalosi Coffee, Flores Coffee, Papua Coffee. Kopi ini sangat digandrungi oleh para konsumen kopi di manca negara (AS, Jerman, Inggris, Kanada, Singapura dan Jepang).
Sayangnya, hingga kini, porsi harga yang diterima petani masih sangat rendah. Dibandingkan dengan harga f.o.b di pelabuhan ekspor, harga yang diterima petani berkisar 70 persen. Dengan harga di tingkat konsumen di gerai-gerai kopi manca negara, harga yang diterima petani hanya berkisar 10 persen.
Kopi Sumatera Utara terkenal ke manca negara karena citarasa yang sangat baik. Setidaknya ada empat keunggulan kopi Sumut yang menyebabkan ia bercitarasa terbaik: iklim (kombinasi jenis tanah, curah hujan dan temperatur), varietas (Sigarar Utang), manajemen usahatani, dan pengolahan basah yang unik. Kopi tersebut dihasilkan di Simalungun, Tapanuli Utara, Dairi, Humbang Hasundutan dan kabupaten lainnya. Karena begitu strategisnya, tidak kurang dari IFC/World Bank dan AMARTA/USAID telah turun langsung membina petani kopi di Sumatera Utara.
Sumberdaya alam Sumatera Utara sangat cocok untuk menghasilkan kopi arabika spesialti. Tantangannya adalah bagaimana para pemangku kepentingan mengelola sumberdaya itu. Tujuannya peningkatan produktivitas, kualitas, dan berkelanjutan. Terpulang pada pembuat kebijakan (pemerintah), pelaku usahatani (petani), dan pelaku pasar (pedagang dan industri). Artinya, alam sudah memberi kelimpahan.
Bagaimana manusia merespon dengan baik. Apakah kita juga merelakan potensi ini hanya dinikmati orang luar. Petani hanya menerima harga yang relatif rendah? Marilah kita mengembangkan secara serius ‘emas hitam’ ini. Revitalisasi itu sangat dinanti petani kopi Sumatera Utara sebab di sebagian sentra produksi tanaman kopi sudah berumur tua dan tidak produktif lagi.Revitalisasi Perkebunan
Revitalisasi perkebunan telah dimulai sejak tahun 2006 melalui Permentan Nomor 33 tanggal 26 Juli 2006 dengan fokus pada tiga komoditas: kelapa sawit, karet, dan kakao. Setelah empat tahun berjalan, target penyaluran kredit masih jauh dari harapan. Setelah 4 tahun, secara nasional diprediksi hanya berkisar 25 persen, sementara di Sumatera Utara, terealisasi hanya 16 persen.
Rendahnya pengucuran kredit disebabkan oleh masalah legalitas lahan petani. Perbankan meminta agunan yang umumnya berupa sertifikat tanah. Sementara petani masih mengeluhkan pelayanan dan mahalnya sertifikat tanah.
Persoalan Sumatera Utara lain lagi. Mungkin dialami juga oleh beberapa provinsi lain seperti Riau, Kalimantan Tengah dan lainnya. Masalahnya adalah review dan revisi kawasan hutan yang tak kunjung tuntas.
Saat ini, sebagian besar lahan milik petani di Sumut yang telah berpuluh-puluh tahun dikuasai, masuk ke dalam kawasan hutan. Ini merupakan buah pahit dari SK Menhut Nomor 44 tahun 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara; yang menetapkan 3,7 juta hektar lebih.
Bagaimana mungkin petani mengurus sertifikat tanah kalau lahan milik petani, atau bahkan perkampungan, masuk dalam kawasan hutan. Sedangkan jelaspun kadang sulit, apalagi tak jelas. Sampai hari ini, revisi SK ini masih belum terwujud. Dan sampai hari ini, setelah sekian lama, SK 44 ini telah menimbulkan dampak negatif dalam aspek sosial-budaya, ekonomi, dan kelembagaan. Sebagai gambaran saja, lebih dari 40 nagori/desa di Kabupaten Simalungun masuk dalam kawasan hutan.Revitalisasi Kopi di Sumatera Utara
Sangat tepat kebijakan yang memprioritaskan kopi sebagai komoditas utama dalam revitalisasi perkebunan di tahun depan. Tanpa mengabaikan kopi robusta, revitalisasi ini hendaknya fokus pada petani di sentra produksi kopi arabika berkarakter spesialti. Mau tidak mau, tujuan kita adalah dataran tinggi dengan elevasi di atas 1.000 m di atas permukaan laut. Ada beberapa hal yang perlu dicermati, khususnya di Sumatera Utara.Pertama, program ini pun pasti dihadang oleh permasalahan lahan yang belum bersertifikat. Bagaimana mungkin bank mau menyalurkan kredit jika tak ada agunan? Adakah terobosan untuk masalah ini? Kedua, katakanlah kredit dapat dikucurkan, maka peran pendampingan sangatlah strategis. Untuk menghasilkan kopi bermutu baik (seperti kopi organik), penyuluhan dan pelatihan teknik budidaya dan pascapanen menjadi sangat penting. Sumberdaya alam sangat mendukung, modal sudah punya, dan teknologi tersedia. Selanjutnya, bagaimana aktornya. Ketiga, program dapat diimplementasi dengan mengakomodir karakter sosial budaya masyarakat setempat. Misalnya, untuk wilayah tertentu barangkali peran wanita tani akan lebih diutamakan. Agresifitas etnis tertentu untuk maju perlu menjadi pertimbangan. Masyarakat petani Sumatera Utara umumnya tidak mau kalah dari petani lainnya. Hanya, mungkin sedikit saja yang berjiwa pioneer (pelopor), umumnya masih berjiwa follower (pengikut). Artinya, ‘lihat dulu baru percaya’. Keempat, disamping komponen utama revitalisasi perkebunan (perluasan, peremajaan, rehabilitasi), untuk menghasilkan kopi berkualitas tidak kalah penting untuk komponen penunjang (alat pengolah, infrastruktur, sarana dan prasarana). Komponen penunjang yang dimaksud di sini khusus untuk level petani. Antara lain: mesin-mesin pengolah, lantai jemur, ketersediaan air, dan lainnya. Kelima, sasaran evaluasi sebaiknya mulai ke arah dampak program. Tidak lagi sekedar jumlah kredit, luas areal; tetapi pada kualitas hidup petani. Sejatinya, jumlah kredit yang terkucur, luas yang tanaman diremajakan, banyaknya pelatihan dan kunjungan penyuluh, jumlah mesin pengolah, dan sejenisnya bukanlah tujuan akhir.
Itu semua adalah alat untuk pengembangan wilayah. Tujuan akhirnya adalah peningkatan kualitas hidup petani kopi. Janganlah kita terjebak pada fenomena muddling through: lebih mementingkan alat ketimbang tujuan. Jadi ini bukan pekerjaan biasa. Ini adalah pekerjaan luar biasa dan multidisiplin yang memerlukan komitmen dan kerjasama. Keenam, berkaitan dengan pekerjaan yang multidisplin itu, Tim Pembina Pengembangan Perkebunan Kabupaten (TP3K) yang dibentuk kepala daerah sebaiknya diisi multipihak yang diperluas agar diharapkan benar-benar mampu mengkoordinasikan program ini di tingkat implementasi.
Kita memang menaruh (banyak) harapan pada program revitalisasi kopi di tahun depan. Semoga saja, dengan pengalaman pada tiga komoditas sebelumnya; komoditas kopi Sumatera Utara menjadi lebih harum di manca negara. Lebih dari itu, keharuman itu secara signifikan dinikmati oleh petani yang menanamnya dalam bentuk peningkatan produktivitas dan kualitas serta keberlanjutan produksi. ***
Penulis adalah dosen USI, mahasiswa S3 Perencanaan Wilayah USU
Opini Analisa Daily 14 Desember 2010