Hasibullah Satrawi
(Peneliti Moderate Muslaim Society (MMS) Jakarta)
Pada Ahad (28/11), Mesir menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) legislatif putaran pertama. Dari 18 partai peserta pemilu (ditambah jalur independen) yang memperebutkan 508 kursi di parlemen Mesir (majelis sya'ab), tampak hanya lima partai yang berhasil meloloskan kadernya ke parlemen Mesir periode 2010-2015. Yaitu, Partai Nasional Demokrat (217), Partai Wafd (2), Partai Tajamuk (1), Partai al-Ghad (1), dan Partai Keadilan (1). Adapun dari jalur idependen hanya ada tiga orang yang langsung lolos ke gedung parlemen.
Ikhwan Muslimin yang dilarang mengikuti pemilu karena statusnya sebagai ormas terlarang (tapi memajukan para kadernya melalui jalur idenpenden) tidak medapatkan satu kursi pun dalam pemilu legislatif putaran pertama ini. Padahal, Ikhwan Muslimin menjadi kuda hitam pada Pemilu 2005 lalu dan mendapatkan sebanyak 88 kursi (20%) di parlemen Mesir. Nasib buruk yang sama juga dialami oleh Partai Naserris yang selama ini termasuk dari kekuatan oposisi cukup diperhitungkan. Partai loyalis Jamal Abdel Nasser ini tidak mendapatkan satu kursi pun dalam pemilu putaran pertama.
Perolehan suara yang sangat tidak berimbang (antara partai penguasa dan partai-partai oposisi) sebagaimana di atas semakin membesarkan dugaan bahkan tuduhan adanya kecurangan dalam pemilu Mesir kali ini. Sebagai bentuk protes atas dugaan kecurangan yang ada, Ikhwan Muslimin memundurkan diri (alias boikot) dari pemilu legislatif putaran kedua yang akan digelar pada Ahad (05/12) besok. Padahal, ada 26 caleg dari Ikhwan Muslimin yang berpeluang untuk menjadi anggota legislatif Mesir melalui pemilu putaran kedua ini. Dan, beberapa partai oposisi lainnya (seperti Partai Wafd) dikabarkan mengikuti langkah boikot yang dilakukan oleh Ikhwan Muslimin (Ash-Sharq Al-Awsat, 02/12).
Ke mana Ikhwan Muslimin?
Ke mana Ikhwan Muslimin? Inilah pertanyaan yang mengemuka di koran-koran Timur Tengah setelah komisi tinggi pemilihan umum Mesir mengumumkan hasil pemilu putaran pertama sebagaimana di atas. Munculnya pertanyaan bernada curiga seperti di atas sangat bisa dipahami. Tidak semata-mata karena Ikhwan Muslimin berhasil mendapatkan 88 kursi parlemen pada Pemilu 2005 lalu. Lebih dari itu, karena Ikhwan Muslimin mempunyai kekuatan yang sangat besar di Mesir, bahkan juga dunia Arab dan dunia Islam pada umumnya.
Pada tahap tertentu, Ikhwan Muslimin di Mesir tak ubahnya Hizbullah di Lebanon yang menjadi "negara di dalam negara". Bedanya adalah Ikhwan Muslimin selama ini tidak menampakkan diri sebagai kekuatan perlawanan bersenjata perang lengkap sebagaimana yang dialami Hizbullah. Begitu juga, kebesaran Hizbullah di Lebanon tidak melampaui batas teritori "negeri mongil" itu. Sedangkan kebesaran Ikhwan Muslimin menembus batas-batas negara Arab dan dunia Islam, bahkan sampai ke Indonesia.
Dari segi kekuatan, Ikhwan Muslimin hampit tidak ada bedanya dengan Partai Nasional Demokrat (NDP) sebagai partai penguasa. Sebagaimana NDP, Ikhwan Muslimin mempunyai sumber pendanaan yang sangat kuat, mendirikan banyak lembaga pendidikan keagamaan, bahkan juga mempunyai banyak rumah sakit. Bedanya adalah Ikhwan Muslimin tidak cukup kuat menguasai birokrasi negara yang digenggam kuat oleh NDP sebagai partai penguasa. Namun demikian, Ikhwan Muslimin mempunyai kekuatan "birokrasi keagamaan".
Semenjak didirikan oleh Hasan Al-Banna pada 1928 lalu, Ikhwan Muslimin sangat piawai memanfaatkan kelemahan negara-negara Arab, terutama dalam menghadapi persoalan krusial seperti konflik Israel-Palestina. Ikhwan Muslimin juga sangat tajam membaca "detak-nadi" masyarakat Arab dan dunia Islam.
Ketika negara-negara Arab dan dunia Islam cenderung tunduk-patuh pada negara-negara Barat, contohnya Ikhwan Muslimin justru "menegakkan" kepala dan menentang negara-negara Barat. Hingga sebagian masyarakat Muslim (terutama di Mesir) kerap mendukung gerakan Ikhwan Muslimin dan memosisikannya sebagai pahlawan nurani umat. Inilah kekuatan Ikhwan Musmilin yang tak dimiliki oleh NDP ataupun partai-partai lain di Mesir, bahkan juga di dunia Islam. Pemilu Mesir kali ini menampakkan adanya tuntutan arus perubahan yang semakin kuat kepada rezim penguasa yang dipimpin oleh Presiden Hosni Mobarak. Arus perubahan ini menjadi kendaraan bersama bagi Ikhwan Muslimin, partai-partai oposisi, lembaga swadaya masyarakat, dan koalisi sipil untuk menyampaikan tuntutan yang sama kepada pihak yang sama pula, yaitu perubahan. Ibarat kendaraan umum, Ikhwan Muslimin, partai-partai oposisi dan koalisi sipil mempunyai tujuan yang sama, yaitu perubahan. Untuk sampai ke tujuan tersebut, mereka tidak memperhatikan "warna-warni" ideologi yang melekat dalam dirinya masing-masing. Karena, yang terpenting adalah kendaraan itu terus berjalan dan menyampaikan mereka ke tujuan bersama.
Inilah yang sangat diantisipasi oleh NDP sebagai partai penguasa dan jajaran pemerintah pada umumnya. Para pemantau dari luar negeri pun tidak diperbolehkan memantau jalannya pemilu Mesir kali ini dengan dalih mencampuri "persoalan nasional" Mesir. Bahkan, Pemerintah Mesir tetap bersikeras pada sikapnya di atas walaupun ada tekanan dari Amerika Serikat (AS) agar para pemantau dari luar negeri diperbolehkan. Terlepas dari semua kekurangan yang ada, pemilu Mesir kali ini tetaplah sebuah langkah maju dalam beradaptasi dengan sistem pemerintahan dan pemilihan modern yang demokratis. Setidak-tidaknya karena "pemilu-pemiluan" seperti ini sulit ditemukan padannya di dunia Arab dan Timur Tengah (kecuali Iran dan Israel). Dengan kata lain, Pemerintah Mesir yang dipimpin oleh Presiden Hosni Mobarak selama 29 tahun (semenjak 1981) memang telah menggulirkan "bola" demokrasi. Tapi, pemerintah tampak tidak mau bola itu bergerak liar di antara "kaki-kaki" oposisi dengan umpan-umpan silang mematikan. Hingga bola itu membobol gawang pemerintah sendiri.
(Peneliti Moderate Muslaim Society (MMS) Jakarta)
Pada Ahad (28/11), Mesir menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) legislatif putaran pertama. Dari 18 partai peserta pemilu (ditambah jalur independen) yang memperebutkan 508 kursi di parlemen Mesir (majelis sya'ab), tampak hanya lima partai yang berhasil meloloskan kadernya ke parlemen Mesir periode 2010-2015. Yaitu, Partai Nasional Demokrat (217), Partai Wafd (2), Partai Tajamuk (1), Partai al-Ghad (1), dan Partai Keadilan (1). Adapun dari jalur idependen hanya ada tiga orang yang langsung lolos ke gedung parlemen.
Ikhwan Muslimin yang dilarang mengikuti pemilu karena statusnya sebagai ormas terlarang (tapi memajukan para kadernya melalui jalur idenpenden) tidak medapatkan satu kursi pun dalam pemilu legislatif putaran pertama ini. Padahal, Ikhwan Muslimin menjadi kuda hitam pada Pemilu 2005 lalu dan mendapatkan sebanyak 88 kursi (20%) di parlemen Mesir. Nasib buruk yang sama juga dialami oleh Partai Naserris yang selama ini termasuk dari kekuatan oposisi cukup diperhitungkan. Partai loyalis Jamal Abdel Nasser ini tidak mendapatkan satu kursi pun dalam pemilu putaran pertama.
Perolehan suara yang sangat tidak berimbang (antara partai penguasa dan partai-partai oposisi) sebagaimana di atas semakin membesarkan dugaan bahkan tuduhan adanya kecurangan dalam pemilu Mesir kali ini. Sebagai bentuk protes atas dugaan kecurangan yang ada, Ikhwan Muslimin memundurkan diri (alias boikot) dari pemilu legislatif putaran kedua yang akan digelar pada Ahad (05/12) besok. Padahal, ada 26 caleg dari Ikhwan Muslimin yang berpeluang untuk menjadi anggota legislatif Mesir melalui pemilu putaran kedua ini. Dan, beberapa partai oposisi lainnya (seperti Partai Wafd) dikabarkan mengikuti langkah boikot yang dilakukan oleh Ikhwan Muslimin (Ash-Sharq Al-Awsat, 02/12).
Ke mana Ikhwan Muslimin?
Ke mana Ikhwan Muslimin? Inilah pertanyaan yang mengemuka di koran-koran Timur Tengah setelah komisi tinggi pemilihan umum Mesir mengumumkan hasil pemilu putaran pertama sebagaimana di atas. Munculnya pertanyaan bernada curiga seperti di atas sangat bisa dipahami. Tidak semata-mata karena Ikhwan Muslimin berhasil mendapatkan 88 kursi parlemen pada Pemilu 2005 lalu. Lebih dari itu, karena Ikhwan Muslimin mempunyai kekuatan yang sangat besar di Mesir, bahkan juga dunia Arab dan dunia Islam pada umumnya.
Pada tahap tertentu, Ikhwan Muslimin di Mesir tak ubahnya Hizbullah di Lebanon yang menjadi "negara di dalam negara". Bedanya adalah Ikhwan Muslimin selama ini tidak menampakkan diri sebagai kekuatan perlawanan bersenjata perang lengkap sebagaimana yang dialami Hizbullah. Begitu juga, kebesaran Hizbullah di Lebanon tidak melampaui batas teritori "negeri mongil" itu. Sedangkan kebesaran Ikhwan Muslimin menembus batas-batas negara Arab dan dunia Islam, bahkan sampai ke Indonesia.
Dari segi kekuatan, Ikhwan Muslimin hampit tidak ada bedanya dengan Partai Nasional Demokrat (NDP) sebagai partai penguasa. Sebagaimana NDP, Ikhwan Muslimin mempunyai sumber pendanaan yang sangat kuat, mendirikan banyak lembaga pendidikan keagamaan, bahkan juga mempunyai banyak rumah sakit. Bedanya adalah Ikhwan Muslimin tidak cukup kuat menguasai birokrasi negara yang digenggam kuat oleh NDP sebagai partai penguasa. Namun demikian, Ikhwan Muslimin mempunyai kekuatan "birokrasi keagamaan".
Semenjak didirikan oleh Hasan Al-Banna pada 1928 lalu, Ikhwan Muslimin sangat piawai memanfaatkan kelemahan negara-negara Arab, terutama dalam menghadapi persoalan krusial seperti konflik Israel-Palestina. Ikhwan Muslimin juga sangat tajam membaca "detak-nadi" masyarakat Arab dan dunia Islam.
Ketika negara-negara Arab dan dunia Islam cenderung tunduk-patuh pada negara-negara Barat, contohnya Ikhwan Muslimin justru "menegakkan" kepala dan menentang negara-negara Barat. Hingga sebagian masyarakat Muslim (terutama di Mesir) kerap mendukung gerakan Ikhwan Muslimin dan memosisikannya sebagai pahlawan nurani umat. Inilah kekuatan Ikhwan Musmilin yang tak dimiliki oleh NDP ataupun partai-partai lain di Mesir, bahkan juga di dunia Islam. Pemilu Mesir kali ini menampakkan adanya tuntutan arus perubahan yang semakin kuat kepada rezim penguasa yang dipimpin oleh Presiden Hosni Mobarak. Arus perubahan ini menjadi kendaraan bersama bagi Ikhwan Muslimin, partai-partai oposisi, lembaga swadaya masyarakat, dan koalisi sipil untuk menyampaikan tuntutan yang sama kepada pihak yang sama pula, yaitu perubahan. Ibarat kendaraan umum, Ikhwan Muslimin, partai-partai oposisi dan koalisi sipil mempunyai tujuan yang sama, yaitu perubahan. Untuk sampai ke tujuan tersebut, mereka tidak memperhatikan "warna-warni" ideologi yang melekat dalam dirinya masing-masing. Karena, yang terpenting adalah kendaraan itu terus berjalan dan menyampaikan mereka ke tujuan bersama.
Inilah yang sangat diantisipasi oleh NDP sebagai partai penguasa dan jajaran pemerintah pada umumnya. Para pemantau dari luar negeri pun tidak diperbolehkan memantau jalannya pemilu Mesir kali ini dengan dalih mencampuri "persoalan nasional" Mesir. Bahkan, Pemerintah Mesir tetap bersikeras pada sikapnya di atas walaupun ada tekanan dari Amerika Serikat (AS) agar para pemantau dari luar negeri diperbolehkan. Terlepas dari semua kekurangan yang ada, pemilu Mesir kali ini tetaplah sebuah langkah maju dalam beradaptasi dengan sistem pemerintahan dan pemilihan modern yang demokratis. Setidak-tidaknya karena "pemilu-pemiluan" seperti ini sulit ditemukan padannya di dunia Arab dan Timur Tengah (kecuali Iran dan Israel). Dengan kata lain, Pemerintah Mesir yang dipimpin oleh Presiden Hosni Mobarak selama 29 tahun (semenjak 1981) memang telah menggulirkan "bola" demokrasi. Tapi, pemerintah tampak tidak mau bola itu bergerak liar di antara "kaki-kaki" oposisi dengan umpan-umpan silang mematikan. Hingga bola itu membobol gawang pemerintah sendiri.
Opini Suara Merdeka 15 Desember 2010