Prof Dr Carunia Mulya Firdausy MA APU
Guru Besar Ekonomi Universitas Tarumanagara
Komunitas ekonomi ASEAN atau lebih tegasnya ASEAN Economic Community (AEC) yang dideklarasikan pada pertemuan para pemimpin ASEAN kesembilan pada Oktober 2003 di Bali mendapat perhatian Sekjen ASEAN baru-baru ini. Menurut Surin Pitsuwan, sekjen ASEAN, saat ini: "Jika ASEAN tidak mempercepat proses integrasi perdagangan regional, perwujudan komunitas Ekonomi ASEAN pada 2015 sangat sulit tercapai." (Republika, 2 Desember 2010).
Permintaan tersebut semestinya tidak datang dari Sekretariat ASEAN. Bahkan sebaliknya, justru Sekretariat ASEAN yang sepatutnya banyak berperan dalam membantu terwujudnya komunitas Ekonomi ASEAN 2015. Sebab, Sekretariat ASEAN merupakan institusi yang relatif "netral" sehingga dapat melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi dari berbagai perbedaan kepentingan ekonomi negara ASEAN. Mengapa ASEAN perlu membonsai dalam bentuk komunitas ekonomi?
Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, selain untuk menyikapi kekuatan ekonomi Cina dan India yang semakin tidak terbendung, juga didasarkan pertimbangan kekhawatiran larinya perdagangan dan investasi modal (portfolio investment) serta investasi asing langsung (FDI) dari negara ASEAN ke negara Cina dan India.
Menurut UNCTAD (2010), nilai FDI yang masuk ke Cina pada 2009 mencapai angka 65,5 miliar dolar AS, sedangkan nilai FDI yang masuk ke negara ASEAN hanya mencapai 23,6 miliar dolar AS. Akibatnya, pada saat krisis finansial global (GFC) tahun 2008/2009, Cina mampu menjaga pertumbuhan ekonominya di atas enam persen bersama-sama dengan India. Hal ini jauh berbeda dengan negara ASEAN yang relatif mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi di bawah lima persen.
Alasan kedua, didasarkan pertimbangan besarnya "resource endowments" dalam bentuk sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) di ASEAN yang melebihi 500 juta orang. Besarnya SDA dan SDM yang ada tersebut dapat memberikan alternatif daya tarik perdagangan dan masuknya FDI ke negara ASEAN di satu pihak, dan kemampuan membangun jaringan basis produksi bagi pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi kawasan di lain pihak.
Alasan ketiga, yakni dengan pembentukan komunitas ekonomi ini berarti bentuk kerja sama ekonomi ASEAN yang telah dilakukan sebelumnya, seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), dan ASEAN Investment Area (AIA) dapat lebih diintegrasikan dalam satu atap. Ini berarti pembentukan AEC merupakan satu langkah maju dalam mencapai integrasi ekonomi di ASEAN seperti halnya dalam Komunitas Ekonomi Eropa (EEC).
Pekerjaan rumah
Pembentukan komunitas ekonomi ASEAN dipastikan akan memberikan dampak positif dan negatif bagi pembangunan ekonomi negara ASEAN. Dalam arti positif, pembentukan komunitas tersebut akan memberikan implikasi terciptanya pasar tunggal dan basis produksi akibat bebas dan menyatunya aliran barang dan jasa di satu pihak, dan aliran investasi, modal, dan tenaga kerja terampil di lain pihak. Ini berarti pembentukan komunitas tersebut dapat memacu dan memicu daya saing komoditas barang dan jasa serta kualitas SDM negara ASEAN.
Namun, untuk Indonesia, pembentukan komunitas tersebut dapat "mematikan", khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebab, jumlah UMKM lebih dari 90 persen dari total usaha nasional. UMKM tersebut masih belum memiliki kemampuan untuk bersaing dengan produk barang dan jasa sejenis, terutama yang berasal dari empat negara pesaing dalam ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina).
Oleh karena itu, prioritas pekerjaan rumah berikut harus dirampungkan. Pertama, perlu upaya optimal ASEAN untuk saling membantu sesama negara ASEAN. Bantuan tersebut selayaknya diberikan kepada negara anggota ASEAN yang memiliki berbagai kelemahan dalam mengoptimalkan kerja sama komunitas ekonomi dimaksud. UMKM merupakan sektor ekonomi yang perlu mendapat bantuan di bawah komunitas ini.
Dengan bantuan tersebut, pelaku ekonomi dalam kelompok UMKM di negara ASEAN akan menjadi lebih kuat dan efektif, tidak saja dalam lingkup ASEAN itu sendiri, tetapi juga dalam menghadapi persaingan global. Dengan demikian, intensitas negara anggota ASEAN untuk bergabung dengan negara-negara lain di luar ASEAN dapat diperlunak.
Kedua, berbagai kebijakan proteksi yang menghambat kelancaran perdagangan bagi negara ASEAN harus dihilangkan oleh setiap anggota ASEAN sesuai dengan komitmen yang telah ditetapkan, baik dalam hubungannya dengan AFTA maupun dalam rangka komitmen World Trade Organization (WTO). Kebijakan yang sama juga harus dilakukan oleh setiap negara ASEAN di bidang investasi, bisnis, dan keuangan serta tenaga kerja sedemikian rupa sehingga komitmen untuk menjadikan ASEAN sebagai komunitas ekonomi dapat memberikan manfaat besar seperti yang diharapkan.
Akhirnya, penguatan institusí ASEAN juga mutlak perlu dilakukan. Penguatan institusi ini tidak hanya sebatas dengan cara mempromosikan blue print dari AEC, tetapi yang terpenting juga, yakni dalam monitoring dan mengimplementasikan Blue Print AEC tersebut. Di sinilah peran Sekretariat ASEAN dituntut. Jika tidak, Komunitas Ekonomi ASEAN yang diharapkan terbentuk pada 2015 akan merupakan mimpi di siang bolong.
Guru Besar Ekonomi Universitas Tarumanagara
Komunitas ekonomi ASEAN atau lebih tegasnya ASEAN Economic Community (AEC) yang dideklarasikan pada pertemuan para pemimpin ASEAN kesembilan pada Oktober 2003 di Bali mendapat perhatian Sekjen ASEAN baru-baru ini. Menurut Surin Pitsuwan, sekjen ASEAN, saat ini: "Jika ASEAN tidak mempercepat proses integrasi perdagangan regional, perwujudan komunitas Ekonomi ASEAN pada 2015 sangat sulit tercapai." (Republika, 2 Desember 2010).
Permintaan tersebut semestinya tidak datang dari Sekretariat ASEAN. Bahkan sebaliknya, justru Sekretariat ASEAN yang sepatutnya banyak berperan dalam membantu terwujudnya komunitas Ekonomi ASEAN 2015. Sebab, Sekretariat ASEAN merupakan institusi yang relatif "netral" sehingga dapat melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi dari berbagai perbedaan kepentingan ekonomi negara ASEAN. Mengapa ASEAN perlu membonsai dalam bentuk komunitas ekonomi?
Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, selain untuk menyikapi kekuatan ekonomi Cina dan India yang semakin tidak terbendung, juga didasarkan pertimbangan kekhawatiran larinya perdagangan dan investasi modal (portfolio investment) serta investasi asing langsung (FDI) dari negara ASEAN ke negara Cina dan India.
Menurut UNCTAD (2010), nilai FDI yang masuk ke Cina pada 2009 mencapai angka 65,5 miliar dolar AS, sedangkan nilai FDI yang masuk ke negara ASEAN hanya mencapai 23,6 miliar dolar AS. Akibatnya, pada saat krisis finansial global (GFC) tahun 2008/2009, Cina mampu menjaga pertumbuhan ekonominya di atas enam persen bersama-sama dengan India. Hal ini jauh berbeda dengan negara ASEAN yang relatif mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi di bawah lima persen.
Alasan kedua, didasarkan pertimbangan besarnya "resource endowments" dalam bentuk sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) di ASEAN yang melebihi 500 juta orang. Besarnya SDA dan SDM yang ada tersebut dapat memberikan alternatif daya tarik perdagangan dan masuknya FDI ke negara ASEAN di satu pihak, dan kemampuan membangun jaringan basis produksi bagi pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi kawasan di lain pihak.
Alasan ketiga, yakni dengan pembentukan komunitas ekonomi ini berarti bentuk kerja sama ekonomi ASEAN yang telah dilakukan sebelumnya, seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), dan ASEAN Investment Area (AIA) dapat lebih diintegrasikan dalam satu atap. Ini berarti pembentukan AEC merupakan satu langkah maju dalam mencapai integrasi ekonomi di ASEAN seperti halnya dalam Komunitas Ekonomi Eropa (EEC).
Pekerjaan rumah
Pembentukan komunitas ekonomi ASEAN dipastikan akan memberikan dampak positif dan negatif bagi pembangunan ekonomi negara ASEAN. Dalam arti positif, pembentukan komunitas tersebut akan memberikan implikasi terciptanya pasar tunggal dan basis produksi akibat bebas dan menyatunya aliran barang dan jasa di satu pihak, dan aliran investasi, modal, dan tenaga kerja terampil di lain pihak. Ini berarti pembentukan komunitas tersebut dapat memacu dan memicu daya saing komoditas barang dan jasa serta kualitas SDM negara ASEAN.
Namun, untuk Indonesia, pembentukan komunitas tersebut dapat "mematikan", khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebab, jumlah UMKM lebih dari 90 persen dari total usaha nasional. UMKM tersebut masih belum memiliki kemampuan untuk bersaing dengan produk barang dan jasa sejenis, terutama yang berasal dari empat negara pesaing dalam ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina).
Oleh karena itu, prioritas pekerjaan rumah berikut harus dirampungkan. Pertama, perlu upaya optimal ASEAN untuk saling membantu sesama negara ASEAN. Bantuan tersebut selayaknya diberikan kepada negara anggota ASEAN yang memiliki berbagai kelemahan dalam mengoptimalkan kerja sama komunitas ekonomi dimaksud. UMKM merupakan sektor ekonomi yang perlu mendapat bantuan di bawah komunitas ini.
Dengan bantuan tersebut, pelaku ekonomi dalam kelompok UMKM di negara ASEAN akan menjadi lebih kuat dan efektif, tidak saja dalam lingkup ASEAN itu sendiri, tetapi juga dalam menghadapi persaingan global. Dengan demikian, intensitas negara anggota ASEAN untuk bergabung dengan negara-negara lain di luar ASEAN dapat diperlunak.
Kedua, berbagai kebijakan proteksi yang menghambat kelancaran perdagangan bagi negara ASEAN harus dihilangkan oleh setiap anggota ASEAN sesuai dengan komitmen yang telah ditetapkan, baik dalam hubungannya dengan AFTA maupun dalam rangka komitmen World Trade Organization (WTO). Kebijakan yang sama juga harus dilakukan oleh setiap negara ASEAN di bidang investasi, bisnis, dan keuangan serta tenaga kerja sedemikian rupa sehingga komitmen untuk menjadikan ASEAN sebagai komunitas ekonomi dapat memberikan manfaat besar seperti yang diharapkan.
Akhirnya, penguatan institusí ASEAN juga mutlak perlu dilakukan. Penguatan institusi ini tidak hanya sebatas dengan cara mempromosikan blue print dari AEC, tetapi yang terpenting juga, yakni dalam monitoring dan mengimplementasikan Blue Print AEC tersebut. Di sinilah peran Sekretariat ASEAN dituntut. Jika tidak, Komunitas Ekonomi ASEAN yang diharapkan terbentuk pada 2015 akan merupakan mimpi di siang bolong.
Opini Republika 15 Desember 2010